Daftar isi
Sebagai negara hukum atau negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan berbangsa dan bernegara tentunya harus dilandasi dengan aspek hukum atau yuridis, Ketika para pendiri negara ini ingin menyusun konstitusi (UUD 1945), maka salah satu perdebatan yang cukup sengit adalah mengenal dibaut atau tidaknya pasal-pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia .
Secara singkat perbedaan pendapat tentang perlu tidaknya dimasukkannya HAM dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1. Soekarno
Soekarno menentang dimasukkannya HAM dalam UUD 1945, karena HAM berdasarkan individualisme yang harus dikikis habis. Hal ini sebagaimana dikatakan :
“Saya minta menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali paham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan “right of the citizen” sebagaimana yang dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa groundweet menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan rapat, jika misalnya tidak ada sosiale rechtvaardigheid yang demikia itu?buat apa kita membikin groundweet, apa guan groundweet itu kalau ia tidak dapat mengsisi perut yang mat kelaparan?Groundweet yang berisi droit des l’homme et du citoye” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong. Paham-paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme, da liberalisme daripadanya”
2. Soepomo
Menurut Soepomo, HAM bersifat individualisme, sehingga bertentangan dengan faham negara kekeluargaan (negara integralistik). Hal ini sebagaimana dikatakan :
“Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima akan menganjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain daripada pengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal-pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya dalam UUD kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan, dikemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi jikalau hal tu kita masukkan, sebetulnya pada hakikatnya UUD bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai konstruksi hukum tidak baik, jikakau ada kejadian bahwa pemerintah bertnidak sewenang-wenang”.
3. Mohammad Hatta
Menurut Moh. Hatta, HAM perlu dimasukkan dalam UUD 1945 untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh negara terhadap warga negara. Hal ini sebagaimana dikatakan :
“Sebab itu ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal mengenail warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepadanya misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formulering-nya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat”.
4. Muhammad Yamin
Meurut Muh. Yamin, HAM perlu dimuat dalam UUD 1945 sebagai perlindungan kemerdekaan terhadap warga negara. Hal ini sebagaimana dikatakan :
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya dan seterusnya dapatlah saya memajukan beberapa alasan pula, selain daripada yang dimajukan oleh anggota yang terhormat Drs. Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru diatas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Reublik Philipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar”.
Dalam perkembangannya, ada tiga aliran sehubungan dengan perlu tidaknya HAM dimuat dalam UUD 1945, yaitu :
1) Aliran kebangsaan (nasionalis), Aliran ini menentang dimasukkannya HAM, karena menganggap dasar HAM adalah individualisme. Seokarno menentang dengan tiga alasan yaitu :
- HAM akan menimbulkan pertentangan dalam masyarakat
- HAM bersumber pada individualisme yang melahirkan liberalisme, kapitalisme da kolonialisme
- HAM tidaka da artinya dibandingkan dengan masalah keadilan sosial
Soepomo menghendaki liberalisme da mengakui adanya HAM tetapi keberatan mencantumkannya dalam suatu UUD yang disusun berdasarkan asas kekeluargaan, karena pencantuman itu dirasakan akan merusak sistematika UUD yang sedag disusun.
2) Aliran modern sekuler, yang diwakili oleh Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin yang tetap menginginkan agar HAM dimasukkan dalam UUD 1945.
3) Golongan agama (Islam), yang menghendaki agr nilai-nilai Islam yang dimasukkan (dalam perdebatan ini tidak banyak turut serta).
Akhirnya disepakakati, yaitu kompromi untuk memasukkan hak-hak pokok tersebut ke dalam UUD 1945 di dalam 7 pasal yaitu : pada bagian batang tubuh pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33, dan 34. Sebagai perbandingan, dalam dua UUD atau konstitusi lain yang pernah dikenal di Indonesia, HAM dimasukkan secara penuh, walaupun dengan nama lain, yaitu hak dan kebebasan dasar manusia, yaitu :
- UUD RIS 1949 terdiri atas 197 pasal, hak-hak dan kebebasan manusia tercantum pada bagian V, pasal 7-33.
- UUD 1950 terdiri atas 146 pasal, hak-hak dan kebebasan manusia tercantum pada bagian V, pasal 7-34.
Mengapa HAM sudah dimasukkan baik dalam konstitusi RIS maupun UUD 1945? perlu diingat bahwa PBB telah mengeluarkan deklarasi. Deklarasi inilah yang besar pengaruhnya pada waktu penyusunan dua UUD (mungkin juga karena pada saat itu penganut modern menjadi lebih kuat).
Untuk diketahui bahwa setelah pemilu 1955 di dalam konstituante terdapat perdebatan mengenai HAM yang inti perdebatannya adalah apakah konstitusi baru akan memuat hak asasi warganegara atau hak warga, negara akan tetapi perdebata ini tidak sampai akhir karena konstituante dibubarkan dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Perlu dikemukaka, bahwa terdapat hal-hal yang signifikan mengenai HAM dalam UUD 1945, yaitu :
- Dalam (pembahasan) UUD 1945 tidak digunakan istilah HAM, yang dipakai adalah hak warga negara
- Di samping hak asasi, sebagian (besar) para pakar menekankan perlunya ada kewajiban asasi.
Ketetapan MPR tentang HAM pada masa orde baru
Dengan berpedoman pada esensi HAM yang terkandung dala UUD 1945 , secara garis besar usaha orde baru untuk mengimplementasikan HAM, dapat dilihat dari aspek yuridis yang telah dikeluarkannya, yaitu antara lain :
- Dalam tahun 1966
MPR membentuk sebuah panitia dengan tugas menyusun sebuah konsep HAM da hak-hak warga negara, namun sayag konsep ini tidak pernah disahkan.
- TAP MPR NO.II/1978 (tentang P4/Ekaprasetya)
Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ii diulang lagi dalam GBHN 1983.