7 Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dinasti Warmadewa merupakan dinasti yang mendirikan kerajaan Bali. Sebagian besar raja Bali berasal dari Dinasti Warmadewa. Kerajaan Bali adalah Kerajaan yang bercorak Hindu-Budha dan telah ada sejak abad ke-10.

Saat itu, agama yang berkembang di Bali adalah agama Buddha. Namun, beberapa tahun kemudian agama Hindu mulai masuk dan dianut oleh banyak warga. Kerajaan Bali memiliki pusat kerajaan yang ada di Bedulu, Gianyar.

Letak Kerajaan Bali sendiri dekat dengan Jawa Timur. Kedekatan lokasi ini membuat keduanya memiliki kedekatan hubungan budaya. Hal ini juga berakibat dengan adanya kedekatan antara ikatan dinasti Warma dewa dengan dinasti Isyana yang ada di Jawa Timur.

Berikut, benda bersejarah yang ditinggalkan adalah sebagai berikut.

1. Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Prasasti Blanjong berada di Pura Blanjong yang ada di wilayah Banjar Blanjong, Desa Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Bali. Prasasti terbuat dari bahan batu Padas yang disebut dengan sila prasasti. Bentuk prasasti ini adalah tiang batu atau berwujud bunga teratai.

Prasasti Blanjong memiliki tinggi 177 cm dengan garis tengah berukuran 62 cm. Pada kedua sisinya terdapat sebuah tulisan yang dipahatkan. Sementara itu, pada bagian barat laut ditulis 6 baris tulisan dengan menggunakan aksara Pee Negari, aksara yang digunakan di India Utara dan Bahasa Bali Kuna.

Sedangkan pada bagian tenggara, terdapat 13 baris tulisan dengan menggunakan huruf Bali Kuna atau Kawi dan memakai bahasa Sansekerta. Prasasti Blanjong dikeluarkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa pada bulan Phalguna atau bulan ke-12 tahun Caka.

Tahun Caka yang tertulis saat itu adalah 835 Caka atau sekitar tahun 911 Masehi. Jika dilihat dari paleografinya, bentuk huruf yang dipakai pada prasasti ini sama dengan prasasti yang ditemukan pada Candi Kalasan yang ada di Jawa Tengah.

Umumnya, huruf tersebut digunakan di India Utara sedangkan di Indonesia sendiri pengguna huruf tersebut berkembang pada abad ke VIII dan IX. Prasasti Blanjong merupakan prasasti tanda kemenangan atau Jaya Stamba atas musuhnya yang ada di daerah Gurun dan Swal.

Jika dilihat dari bahasa, tulisan serta isi prasasti, menunjukkan bahwa prasasti ini mencerminkan sebuah kearifan lokal di bidang IPTEK dan politik. Penggunaan dua bahasa serta dua huruf yang berbeda menunjukkan adanya penguasaan, kemahiran serta pengetahuan masyarakat pada masa Sri Kesari Warmadewa.

Prasasti ini tergolong prasasti yang unik dan hanya satu-satunya yang ditemukan di Bali. Sebab, biasanya prasasti di Bali hanya ditulis menggunakan bahasa Sanskerta huruf Pre Negari atau menggunakan bahasa Bali Kuna. Sementara prasasti Blanjong dibuat dengan menggunakan dua bahasa dan dua aksara.

Prasasti Blanjong memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh prasasti lainnya. Pada prasasti ini penggunaan huruf dan bahasa menggunakan sistem silang. Di mana bahasa Sanskerta ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna sementara bahasa Bali Kuna ditulis menggunakan huruf Per Negari.

Dengan adanya hal tersebut menunjukkan bahwa orang yang membuat prasasti mempunyai pengetahuan bahasa dan tata tulis. Isi prasasti menunjukkan bahwa raja telah berhasil mengalahkan musuhnya yang ada di Gurun dan Swal.

Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan raja pada saat itu cukup luas atau mungkin hampir seluruh wilayah Bali. Selain menceritakan mengenai kemenangan peperangan, prasasti ini menulis sebuah kutukan yang ditujukan kepada orang yang melanggar isi prasasti.

Adanya kutukan tersebut menunjukkan bahwa raja Sri Kesari Warmadewa merupakan sosok raja yang tegas dan bijaksana dalam menjunjung kesamaan hukum.

2. Prasasti Panglapuan

Prasasti Panglapuan, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Peninggalan sejarah selanjutnya adalah prasasti panglapuan. Prasasti ini mengisahkan para penguasa yang memimpin kerajaan dan pernah berkuasa pada masa itu seperti Udayana, Jayapangus, Jayasaktu dan Anak Wungsu.

Anak wungsu adalah adik dari Airlangga yang menggantikan kedudukannya sebagai seorang raja Bali dan Jawa. Ia merupakan raja yang terkenal dengan rasa belas kasihnya kepada rakyat. Begitu baiknya Anak Wungsu sehingga masyarakat menganggap bahwa raja yang masih memiliki satu garis keturunan dengan Raja Udayana ini sebagai penjelmaan dari Dewa Kebaikan atau Dewa Hari.

Pada masa pemerintahan nya, Anak Wungsu meninggalkan banyak peninggalan sejarah yakni sekitar 28 prasasti yang ditemukan di Goa Gajah, Gunung Kawu serta Gunung Panulisan dan Sangit. Prasasti Panglapuan sendiri merupakan salah satu peninggalan sejarah yang sangat penting.

Sebab, prasastu ini memberikan informasi yang lengkap mengenai sejarah kepemimpinan para raja Bali dari awal hingga akhir masa kejayaannya. Sehingga, prasasti menjadi salah satu sumber sejarah yang dicari oleh para sejarawan untuk mengetahui keadaan Kerajaan Bali.

3. Pura Puncak Penulisan

Pura Puncak Penulisan, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Pura Puncak Penulisan merupakan sebuah pura yang berdiri di atas ketinggian sekitar 1.745 mdpl. Pura ini dikenal juga dengan nama Pura Tegeh Koripan. Pura Puncak Penulisan merupakan salah satu pura tertua dan menyimpan banyak sejarah mengenai kerajaan Bali.

Di tempat bersejarah ini, terdapat juga beberapa peninggalan kerajaan Bali lainnya yang masih ada. Seperti arca hingga bangunan yang memiliki nilai arsitektur yang tinggi dan canggih.

Para ahli berpendapat bahwa pura ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 300 Masehi atau pada zaman perunggu. Kemudian, pembangunan pura dilanjutkan sekitar abad ke-10 sampai tahun 1343 Masehi.

4. Candi di Gunung Kawi

Candi di Gunung Kawi, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Candi di Gunung Kawi berada di Sungai Pakerisan, Kabupaten Gianyar, Desa Tampak siring, Dusun Penaka, Bali. Candi ini merupakan sebuah candi yang diukir di sebuah tebing batu padas.

Candi di Gunung Kawi diperkirakan sudah ada sejak abad ke- 11 Masehi atau saat masa pemerintahan Raja Udayana sampai Anak Wungsu.

Candi di Gunung Kawi menarik banyak perhatian masyarakat yang berkunjung karena pahatannya yang unik dan berada di tempat yang asri.

5. Candi Wasan

Candi Wasan, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Candi Wasan berada di daerah Wasan, Sukawati, Gianyar, Bali. Setelah kedatangan J.C Krishman seorang peneliti asal Belanda, candi ini mulai mendapatkan banyak perhatian. Konon, candi pada mulanya ini digunakan untuk tempat pemujaan oleh masyarakat. Candi Wasan diperkirakan dibangun sejak abad ke-15.

6. Pura Agung Besakih

Pura Agung Besakih, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Pura Agung Beskaih adalah komplek pura yang diberikan nama Agung Besakih. Pura ini berada di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali. Hingga saat ini, pura ini masih digunakan untuk tempat pemujaan.

Pura Agung Besakih diketahui merupakan tempat peribadatan Hindu yang biasanya menjadi destinasi para wisatawan lokal maupun mancanegara. Di dalam komplek puranya sendiri terdapat satu pura Penataran Agung Besakih dan 18 pura kecil yang mengelilinginya.

7. Candi Penegil Dharma

Candi Penegil Dharma, Peninggalan Sejarah Dinasti Warmadewa

Candi Penegil Dharma terletak di Desa Kubutambahan, Buleleng, Bali. Candi ini dibangun sekitar tahun 915 Masehi. Candi ini kerap disambungkan dengan Ugrasena yakni anggora keluarga Mataram 1 dan kedatangan Maha Rai Markandeya yang ada di Bali. Menurut pada pakar sejarah, Candi ini sudah ada sebelum kerajaan Majapahit datang ke Bali.

Pada abad ke-10, masyarakat Bali sudah mengenal sistem pertanian yang kemudian menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar. Hal ini pun dilakukan oleh Raja-raja Bali yang memusatkan sektor ekonomi kerajaan pada bidang pertanian.

Sebagain besar masyarakat pada masa itu, berkerja sebagai pengelola sawah, ladang ataupun perkebunan. Selain itu, sama seperti kegiatan perekonomian yang berkembang pada zaman dulu, sektor peternakan dan perburuan juga menjadi alternatif sektor kegiatan ekonomi. Tidak hanya itu, beberapa warga sekitar kerajaan juga bekerja sebagai pengrajin emas dan perak.

Kehidupan sosial masyarakat saat itu tidak bisa dilepaskan dengan adat istiadat yang sudah mengakar. Bahkan sampai detik ini, Bali terkenal kental dengan hal tersebut. Beberapa peninggalan sejarah seperti prasasti yang ditemukan menjelaskan bahwa adat istiadat masyarakat saat itu sama dengan masyarakat Ho-ling atau Kalingga.

Terdapat salah satu tradisi yang masih dipertahankan sampai saat ini yakni upacara ngaben. Ngaben merupakan ritual pemakaman secara Hindu dengan berupa upacara kremasi tradisional kepada orang yang sudah meninggal.

Ngaben ini sudah ada sejak zaman kerajaan Bali. Selain meninggalkan banyak tradisi, kerajaan Bali yang dalam hal ini banyak diisi oleh dinasti Warma dewa juga meninggalkan banyak benda bersejarah.

fbWhatsappTwitterLinkedIn