Daftar isi
Indonesia dahulu kala diwarnai oleh peperangan yang terjadi di seluruh pelosok negeri. Perang-perang tersebut dilakukan demi mengusir penjajah dari tanah nusantara. Peperangan tersebut dilakukan bukan hanya satu atau dua kali melainkan puluhan perang. Berikut ini adalah serangkaian perang terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Penyerbuan Batavia adalah perang yang dipimpin oleh Sultan Agung pada tahun 1628-1629. Penyerbuan sultan Mataram tersebut bertujuan untuk mengusir VOC yang pada saat itu berpusat di Batavia yang saat ini adalah Jakarta. Sultan Agung saat itu membawa 10.000 bala tentara.
Hubungan antara Mataram dengan VOC pada awalnya berjalan dengan baik. Sampai suatu ketika VOC enggan untuk memberikan bantuan kepada Mataram ketika akan menyerang Surabaya. Alasan penolakan tersebut dilandaskan karena sebelumnya Mataram tidak memberikan izin kepada VOC untuk berdagang di Mataram. Sejak saat itulah hubungan diplomatik di antara keduanya terputus bahkan memanas.
Serangan pertama dilakukan di Benteng Belanda pada bulan Oktober 1628 yang dipimpin oleh Adipati Ukur. Sedangkan serangan kedua dipimpin oleh Adipati Juminah dilakukan pada tahun berikutnya. Namun sayangnya Mataram mengalami kekalahan dalam kedua serangan tersebut.
Kekalahan pertama disebabkan karena kurangnya perbekalan sedangkan kekalahan kedua dikarenakan lumbung padi sebagai pasokan bahan pangan mereka berhasil dihancurkan Belanda. Meski kalah namun pada serangan pertama Mataram berhasil membunuh Jenderal J.P Coen yang terkena penyakit kolera akibat dibendungnya sungai Ciliwung oleh.
Perang Jawa disebut juga dengan perang Tionghoa sebab perang ini merupakan gabungan antara pasukan Jawa dan juga Pasukan Tionghoa. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mengusir Belanda yang mulai melakukan tindakan semena-mena terhadap mereka. Perang ini diawali dengan adanya peristiwa berdarah yaitu pembantaian terhadap 10.000 etnis Tionghoa yang berada di Indonesia. Pembantaian tersebut dilakukan oleh pasukan VOC Belanda hanya dalam waktu 2 minggu.
Perang Jawa ini terjadi di wilayah Jawa Tengah dan juga Jawa Timur. Etnis Tionghoa berada di bawah pimpinan Khe Pandjang sudah memperingati Belanda bahwa mereka akan mengadakan aksi balas dendam. Namun peringatan tersebut tidak digubris sama sekali. Mendengar aksi etnik Tionghoa, Jawa yang pada saat itu berada di bawah pimpinan Sunan Mataram Pakubuwono II memutuskan untuk bergabung dengan Khe Pandjang.
Pertempuran pertama terjadi di Pati pada tanggal 1 Februari 1741 kemudian menyebar ke seluruh Jawa Tengah. Meski memiliki puluhan ribu pasukan namun pada saat itu Belanda lebih unggul dalam persenjataan. Sehingga Sunan Mataram Pakubuwono terpaksa mundur pada tahun tahun 1742. Namun beberapa sunan Mataram lainnya masih ingin melakukan perang.
Hingga akhirnya Tionghoa juga benar-benar menyerah pada tahun 1743. Akibat dari perang ini banyak korban berjatuhan dan Belanda juga mengalami kekacauan dan kerugian yang tergolong besar.
Peristiwa Perang Diponegoro tentu sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Perang yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro ini termasuk ke dalam perang terbesar di Indonesia. Perang di latar belakangi oleh ikut campurnya Belanda dalam adat istiadat budaya di Yogyakarta dan Surakarta. Selain itu juga dikarenakan kebijakan-kebijakan Belanda yang menyengsarakan masyarakat pribumi.
Perang meletus ketika pasukan Belanda hendak menangkap Pangeran Diponegoro di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Beruntungnya pangeran dapat menyelamatkan diri ke Desa Selarong sembari menyiapkan strategi penyerbuan. Setelah beberapa minggu kemudian pasukan Diponegoro siap menyerang dan memperluas daerah serangan hingga ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Perang gerilya yang sudah merambah ke seluruh pelosok Jawa berlangsung selama 5 tahun dan berakhir pada 28 Maret 1830.
Akibat dari peperangan tersebut adalah tewasnya 200 ribu pasukan Diponegoro. Belanda juga mengalami kerugian yang sangat besar. Pangeran Diponegoro harus ditangkap dan diasingkan ke Makassar seumur hidup.
Perjuangan dalam mengusir Belanda tidak hanya terjadi di Pulau Jawa saja melainkan juga di Bali. Perlawanan tersebut bahkan dilakukan setelah Indonesia merdeka. Perang terbesar yang pernah terjadi di Bali sekaligus di Indonesia adalah Puputan Margarana yang terjadi 20 November 1946.
Belanda tidak serta merta langsung mengakui kedaulatan Indonesia. Sebab itulah mereka kembali untuk berkuasa namun tentu saja mendapat pertentangan dari seluruh rakyat Indonesia termasuk Bali. Bentrok kecil pun mulai terjadi dimana-mana sesaat setelah NICA sampai di pulau Dewata. Untuk mengatasi hal tersebut pasukan Belanda dengan perwakilannya yaitu Letnan Kolonel J.B.T Konig menawarkan kerjasama kepada I Gusti Ngurah Rai selaku pimpinan TKR Sunda Kecil.
Tawaran tersebut tentu ditolak mentah-mentah oleh Rai dan memilih untuk perang hingga titik darah penghabisan. Perang ini menewaskan seluruh pasukan I Gusti Ngurah Rai termasuk beliau turut menjadi korban jiwa. Namun tentara Belanda juga banyak yang tewas yaitu sekitar 400 tentara.
Peristiwa Bandung Lautan Api tentu saja tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana rakyat Bandung mempertahankan kota agar tidak jatuh ke tangan Belanda diabadikan ke dalam sebuah lagu. Pada tanggal 23 Maret 1946 dini hari pemandangan kota Bandung seketika berubah mencekam dipenuhi dengan api yang berkobar.
Api tersebut berasal dari pembakaran 200.000 ribu penduduk yang dengan sengaja membakar rumah dan gedung yang ada di kota. Aksi tersebut guna untuk menggagalkan rencana Belanda untuk membangun markas di kota Paris van Java tersebut. Akibatnya seluruh kota menjadi rusak parah dan tidak dapat digunakan lagi.
Kota lainya di Jawa yang juga melakukan perlawanan besar-besaran terhadap penjajah adalah Surabaya. Pertempuran Surabaya ini dikenal juga dengan nama Peristiwa 10 November yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya hari pahlawan. Disebut sebagai peristiwa 10 November lantara hari tersebut merupakan puncak dari peperangan antara pasukan Surabaya dan Pasukan AFNEI Inggris yang terjadi pada tanggal 27 Oktober – 20 November 1945.
Peristiwa ini bermula dari seorang tentara Belanda yang mengibarkan Bendera mereka di hotel Yamato. Tentu saja hal tersebut memicu amarah rakyat mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sudah merdeka. Residen Soedirman bersama dua rekannya Sidik dan Hariyono meminta secara baik-baik agar bendera tersebut diturunkan. Namun cara tersebut ternyata tidak membuat jera pasukan Belanda yang kala itu dibantu oleh AFNEI.
Situasi semakin memanas setelah kematian seorang komandan militer Inggris yang bernama Jenderal Mallaby. Inggris yang marah kemudian mengultimatum Surabaya agar menyerahkan seluruh persenjataannya dan menyerah pada tanggal 10 November. Namun justru Surabaya dipimpin oleh Soetomo bersiap untuk bertempur. Pertempuran meletus pukul 6 pagi dan mengakibatkan ribuan pasukan Surabaya tewas namun berhasil mengusir Inggris.
Operasi Tri Komando Rakyat ada yang lebih dikenal dengan nama Trikora adalah suatu upaya pembebasan dan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia. Permasalahan ini dimulai dengan adanya KMB di Den Haag pada 2 November 1949 yaitu soal pengakuan kedaulatan Indonesia. Namun pihak Belanda tidak mengakui Irian Barat sebagai bagian dari NKRI melainkan akan didirikan negara boneka di bawah pimpinan mereka.
Setelah membentuk kemiliteran untuk merebut kembali Irian Barat, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA pada tanggal 19 Desember 1961. Indonesia kala itu sudah memiliki senjata pertempuran seperti senapan, kapal penjelajah, helikopter dan juga bom. Puncak pertempuran terjadi di laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.
Di tengah pertikaian, Amerika Serikat menawarkan bantuan sebagai penengah dan menggunakan jalur diskusi. Penawaran tersebut disetujui oleh kedua belah pihak dengan Dr. Jan Herman van Roijen sebagai perwakilan Belanda, Adam Malik sebagai delegasi dari Indonesia dan Ellsworth Bunker dari Amerika Serikat. Hasil perundingan dapat dicapai pada 31 Desember 1962 yaitu Irian Barat jatuh ke tangan NKRI.
Perang gerilya Jenderal Sudirman merupakan peperangan yang dilakukan oleh Jendral Sudirman bersama dengan pasukannya untuk mengusir Belanda pada tahun 1948-1949. Perang ini terjadi sesaat setelah Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Untuk mengusir Belanda, pasukan Indonesia pun menyiapkan taktik agar pasukan Belanda mundur.
Strategi yang digunakan adalah gerilya dimana para pasukan menyerang dengan cara berpindah-pindah tempat. Cara ini terbukti ampuh untuk memecah belah konsentrasi pasukan Belanda meski harus melewati medan yang sulit. Serangan ini juga dilakukan secara dadakan dan tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Serangan ini ditandai dengan adanya sirine di pagi hari pada tanggal 1 Maret 1949.
Dalam 6 jam kota Yogyakarta kembali ke tangan Indonesia berkat para pemimpin pasukan seperti Ventje Sumual, Letkol Soeharto dan Mayor Sardjono. Serangan ini kemudian dikenal dengan nama serangan 1 Maret.