Daftar isi
Siapa yang tidak kenal dengan Kerajaan Majapahit ? Pada masanya, kerajaan ini dipercaya merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan yang menyatukan Indonesia. Sudah pasti banyak peninggalan dari kerajaan ini. Mari simak prasasti apa saja yang menjadi peninggalan Kerajaan Majapahit.
Prasasti adalah benda bersejarah yang dibuat sebagai piagam atau dokumen yang ditulis pada suatu bahan yang tahan lama. Secara modern prasasti lebih dikenal dengan tulisan bersejarah yang ditulis diatas batu atau sebuah bangunan.
Kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia pada masa 1293 Masehi hingga 1527 Masehi yang berpusat di Jawa Timur. Masa kejayaan kerajaan ini ialah pada masa kekuasaan Hayam Wuruk dimana Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang cukup luas di Nusantara.
Berikut adalah berbagai prasasti yang ditinggalkan oleh Kerajaan Majapahit sebagai bukti keberadaannya yang masih dapat dipelajari oleh generasi sekarang.
Prasasti Kudadu adalah prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit dengan tahun yang tertulis yaitu 1216 Saka atau 1294 Masehi. Prasasti ini mengisahkan mengenai penetapan yang dilakukan pada Desa Kudadu untuk menjadi sebuah sima.
Sima pada masa itu dapat diartikan sebagai sebuah wilayah yang dapat menjalankan dan membuat suatu sistem pemerintahan yang dijalankan dan disepakati oleh masyarakatnya.
Penetapan ini diberikan oleh raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat yang mewakili Desa Kudadu. Pemberian anugrah penetapan ini dikarena para pejabat Desa Kudadu telah membantu Raden Wijaya ketika melakukan pelarian dari pengejaran yang dilakukan oleh Jayakatwang.
Peristiwa ini terjadi ketika masa pemberontakan Jayakatwang kepada Singasari. Disebutkan bahwa Jayakatwang telah membunuh raja dari Kerajaan Singasari yaitu Raja Kertanegara. Prasasti Kudadu ini sendiri ditemukan pertama kali di lereng Gunung Butak yang terletak di Kabupaten Malang dan berdekatan dengan Gunung Kawi.
Prasasti Sukamerta juga kerap kali disebut dengan nama prasasti Raden Wijaya. Hal ini dikarenakan prasasti ini mengisahkan kisah hidup dari seorang Raden Wijaya. Prasasti ini berangka tahun 1208 Saka atau 1296 Masehi.
Dalam prasasti ini dikisahkan mengenai pemberian anugrah tertinggi yang diberikan kepada pejabat tinggi Desa Sukamerta yang telah berjasa membantu pelarian Raden Wijaya hingga tiba di Sumenep dan dapat bertemu dengan Aria Wiraraja.
Dimana Aria Wirajaya ini merupakan penasihat Kerajaan Singasari. Selain itu, prasasti ini juga menyebutkan kisah Raden Wijaya yang menjadikan keempat putri dari Kertanegara sebagai istrinya secara sekaligus. Kertanegara adalah raja terakhir yang memimpin Kerajaan Singasari, dimana dibawah kepemimpinannya dikatakan bahwa Singasari mencapai masa kejayaan.
Kemudian terdapat juga kisah mengenai penobatan Jayanegara (putra Raden Wijaya) sebagai raja muda di Daha atau Kediri pada tahun 1295 Masehi. Jayanegara sendiri dikatakan merupakan raja kedua yang memimpin Majapahit.
Prasasti ini ditemukan di sebuah gunung yang dikenal sebagai gunung keramat dan suci bahkan hingga kini. Gunung tersebut ialah Gunung Penanggungan yang terletak di perbatasan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan.
Prasasti Prapancasapura berangka tahun 1320 Masehi. Prasasti ini dibangun oleh Tribuwanatunggadewi yang mengisahkan mengenai nama yang diberikan kepada Hayam Wuruk sebelum nama Hayam Wuruk.
Prasasti Waringin Pitu adalah prasasti berangka tahun 1447 Masehi yang mengisahkan mengenai sistem pemerintahan dan birokrasi yang dijalankan oleh Kerajaan Majapahit pada masa itu.
Diceritakan dalam prasasti bahwa Kerajaan Majapahit memiliki 14 kerajaan bawahan, dimana masing-masing kerajaan bawahan dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gelar Bhre.
Raja dari kerajaan bawahan itu diantaranya ialah Bhre Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre Daha, Bhre Keling, Bhre Wirabumi, Bhre Tanjung Pura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Tumapel, Bhre Wengker, Bhre Kabalan, Bhre Matahun, Bhre Singapura, Bhre Jagaraga dan Bhre Kelapapel-Singapura.
Prasasti ini berisi kisah Aryya Bharad yaitu seorang brahmana yang membagi tanah Jawa menjadi dua bagian. Hal ini dilakukan oleh sang brahmana karena adanya dua raja yang nyaris berperang hebat.
Kedua kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Janggala. Prasasti Wurare ini tertulis tahun 1289 Masehi atau tahun 1211 Saka.
Prasasti ini bertuliskan tahun 1305 Masehi, dimana prasasti ini ditemukan di Desa Balawi, Kabupaten Lamogan, Jawa Timur. Prasasti ini dikatakan menceritakan kisah yang serupa dengan prasasti Sukamerta. Prasasti ini berkisah mengenai Raden Wijaya yang menikah dengan empat orang putri dari Kertanegara.
Putri-putri Kertanegara itu bernama Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri, Sri Paduka Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari dan Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita.
Prasasti Parung berangka tahun 1350 Masehi dan ditemukan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini berisikan petuah yang ditujukan kepada para pemegang kekuasaan para pemegang pemerintahan dan pejabat agar dapat bijak dan mempertimbangkan segala hal sebelum mengambil suatu keputusan.
Petuah yang tertuang dalam prasasti ini bahkan lebih dikhususkan untuk pejabat pengadilan. Pejabat pengadilan diharapkan untuk mencontoh para pendahulunya dengan membaca buku peraturan, hukum adat, buku sastra dari India serta pendapat tetua sebelum mengambil keputusan pada sebuah kasus.
Prasasti Biluluk adalah prasasti yang ditemukan di Lamogan dengan angka tahun yang tertulis ialah 1366 Masehi hingga 1397 Masehi. Prasasti ini terbuat dari lempengan tembaga dengan terbagi menjadi empat buah sehingga sering kali disebut dengan Prasasti Biluluk I, II hingga IV.
Prasasti Biluluk ini mengisahkan mengenai penganugerahan yang diberikan kepada Desa Biluluk untuk menjadi sebuah sima. Desa Biluluk memiliki sumber air asin sehingga menjadi pusat pertanian garam. Dalam prasasti juga diatur mengenai hukum untuk sumber air tersebut bahkan peraturan pajak.
Prasasti Karang Bogem bertuliskan tahun 1387 Masehi dan ditemukan di wilayah Karang Bogem yang kini menjadi wilayah dari Kabupaten Bungah.
Prasasti ini berbentuk sebuah logam satu keeping yang dipercaya ditulis oleh Batara Parameswara Pamotan Wijayarajasa Dyah Kudamerta seorang raja dari Kedaton Wetan.
Prasasti ini dibuat dua tahun sebelum wafatnya Hayam Wuruk. Prasasti ini berisikan peresmian Desa Karang Bogem sebagai wilayah perikanan.
Prasasti Katiden bertuliskan tahun 1317 Saka atau 1395 Masehi. Prasasti ini mengisahkan pengumuman yang diturunkan oleh Raja Wikramawardhana yang tidak lain adalah menantu Hayam Wuruk, yang ditujukan kepada Pacatanda yang berkuasa di Turen dan para same Katiden.
Same Katiden adalah masyarakat yang mendiami wilayah timur Gunung Kawi, baik di barat atau timur sungai. Dalam prasasti tersebut dijelaskan bahwa titah yang diberikan raja adalah agar masyarakat menjaga dan melestarikan hutan di lereng Gunung Lejar. Selain itu, masyarakat juga dibebaskan dari pembayaran pajak dan diperbolehkan menggunakan hasil hutan.
Prasasti Canggu memiliki nama lain yaitu Prasasti Trowulan I, yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan raja Hayam Wuruk sekitar tahun 1358 Masehi. Prasasti ini berisikan mengenai peraturan yang berlaku untuk aktifitas penyeberangan yang dilakukan di sekitar Sungai Berantas dan Sungai Bengawan Solo.
Prasasti Jiwu atau Prasasti Jiyu merupakan prasasti berangka tahun 1416 Saka atau 1486 Masehi. Prasasti ini mengisahkan mengenai penghargaan yang diberikan kepada Sri Paduka Brahmaraja Ganggadara oleh Sri Maharaja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Anugrah ini berupa pemberian tanah di Talasan, Pung dan Batu untuk dibangun dan dijadikan asrama Trailokyapuri.
Prasasti Marahi Manuk adalah prasasti yang ditemukan di daerah Mojokerto. Prasasti ini berisikan kisah sengketa tanah yang kemudian diselesaikan dengan pemberian keputusan yang dilakukan oleh pejabat yang memahami hukum dari adat setempat.
Prasasti Alasantan dipercaya merupakan prasasti tertua dengan angka tahun 939 Masehi. Prasasti ini ditemukan Kabupaten Mojokerto tepatnya di Desa Bejijong, Trowulan.
Prasasti ini berisi perintah untuk menjadikan tanah di kawasan Alasantan untuk dijadikan tanah sima dengan kepemilikan kepada Rakaryan Kabayan. Titah ini diberikan oleh Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama.
Prasasti ini bertuliskan tahun 1264 Masehi. Cerita yang dikisahkan dalam prasasti ini mengenai pemberian hak. Hak yang diberikan ialah hak untuk mendirikan sebuah desa yang dinamakan Desa Maribong. Pemberian hak ini diberikan oleh Raja Wisnuwardhana.
Prasasti Hara-hara memiliki nama lain yaitu prasasti trowulan VI yang berangka tahun 966 Masehi. Prasasti ini berisi penjelasan mengenai Mpu Mano yang memberikan tanah yang ia miliki kepada Mpungku Nairanjana dan Mpungku Susuk Pager agar tanah tersebut dipakai untuk membiayai rumah doa.
Prasasti ini mengisahkan mengenai Desa Kamban yang diberikan anugrah menjadi sima atau daerah perdikan. Penganugrahan ini diberikan oleh Rake Hino Sri Maharaja Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa. Prasasti ini tergolong cukup tua karena angka tahun yang tertulis adalah tahun 941 Masehi.