Bahasa Indonesia

5 Sastrawan Angkatan 70 Beserta Karya Sastranya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Angkatan ’70 merujuk kepada para pengarang atau sastrawan yang muncul pada sekitar tahun 1970. Istilah Angkatan ’70 diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dan Sketsa yang diajukan pada Mei 1977 dalam diskusi sastra memperingati HUT ke-5 Majalah Tifa Sastra UI.

Karya sastra yang lahir pada angkatan ini banyak bersifat eksperimental. Para sastrawannya sering membuat trobosan yang berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya.

Selain itu, karya sastra Angkatan ’70 mempunyai karakteristik penuh improvisasi. Pada periode ini pula, muncul sastrawan yang mengusung gaya surealis. Sementara dari segi kebahasaan, banyak menggunakan konotasi yang cukup kuat.

Para penerbit juga mulai bangkit dan menujukkan taringnya pada era ini. Para sastrawan yang termasuk dalam Angkatan ’70 di antaranya yakni:

1. Iwan Simatupang

Iwan Simatupang merupakan salah satu tokoh penting sastra Indonesia dari Angkatan ’70. Pemilik nama lengkap Iwan Martua Dongan Simatupang ini lahir di Sibolga pada 18 Januari 1928.

Semasa hidup, ia mendedikasikan diri kepada kesusastraan Indonesia. Iwan dikenal sebagai seorang novelis, penyair, dan esais berpengaruh.

Mantan redaktur Warta Harian ini memulai karirnya lewat menulis sajak. Kemudian merambah ke cerpen, drama, roman, dan esai. Ia memberikan kebaruan lewat karya yang ditulis, terutama roman. Jalan cerita serta pewatakan dalam karyanya tidak terikat logika dan meninggalkan cara berpikir yang konvensional.

Iwan banyak mendapatkan penghargaan untuk karyanya, seperti novel Merahnya Merah yang mendapatkan hadiah sastra Nasional pada 1970, novel Ziarah mendapatkan hadiah roman ASEAN terbaik pada 1977, novel Kooong menerima hadiah dari Yayasan Buku Utama Departemen P & K pada 1975, dan lain sebagainya.

Esainya juga memperolah banyak apresiasi. Salah satunya yang berjudul Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air mendapatkan hadiah kedua majalah Sastra pada 1963. Beberapa karyanya yang popular yakni sebagai berikut:

  • Bulan Bujur Sangkar (drama)
  • RT Nol /RW Nol (drama)
  • Petang di Taman (drama)
  • Merahnya Merah (novel)
  • Ziarah (novel)
  • Kering (novel)
  • Kooong: Kisah Tentang Seekor Perkutut (novel)
  • Ziarah Malam (sajak-sajak)
  • Tegak Lurus dengan Langit (kumpulan cerpen).

2. Arifin C. Noer

Arifin Chairin Noer atau yang lebih akrab dengan nama Arifin C. Noer merupakan salah satu sastrawan sekaligus sutradara teater dan film yang berprestasi.

Tokoh sastra yang lahir pada 10 Maret 1941 ini pernah menyabet Piala Citra untuk film terbaik, sutradara terbaik, dan penulis skenario terbaik selama beberapa kali.

Ia terlibat dalam kelompok-kelompok teater sampai pada akhirnya ia mendirikan dan memimpin kelompok Teater Kecil pada 1968. Empat tahun setelahnya, Arifin mendapat kesempatan mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa Amerika Serikat selama setahun.

Semasa hidup, ia banyak menyuarakan isu sosial utamanya kemiskinan lewat karangannya. Sang sastrawan wafat pada 18 Mei 1995 saat berusia 54 tahun. Sejumlah karya sastranya yang popular yakni:

  • Nurul Aini (kumpulan puisi)
  • Siti Aisah (kumpulan puisi)
  • Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi-Puisi (kumpulan puisi)
  • Nyanyian Sepi (kumpulan puisi)
  • Lampu Neon (drama)
  • Matahari di Sebuah Jalan Kecil (drama)
  • Mega-Mega (drama)
  • Kapai-Kapai (drama)
  • Sumur Tanpa Dasar (drama)
  • Kasir Kita (drama)
  • Orkes Madun (drama).

3. Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang lebih familiar dengan nama Putu Wijaya merupakan seorang sastrawan yang banyak melahirkan cerpen, novel, dan naskah drama. Ia juga merupakan penulis skenario film dan sinetron. Esainya juga banyak yang telah dipublikasikan.

Ia lahir di Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Tercatat sudah ada kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, dan ribuan cerpen yang ia tulis. Belum lagi ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama.

Cerita pendeknya sering dipublikasi lewat Harian Kompas dan Sinar Harapan. Dua skenario filmnya yakni Perawan Desa dan Kembang Kertas telah meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI).

Geliatnya dalam seni drama pun juga tidak diragukan lagi. Ia memimpin kelompok Teater Mandiri sejak 1971. Bersama tim, Putu Wijaya telah sukses menampilkan banyak pementasan teater baik di dalam maupun luar negeri salah satunya Amerika.

Adapun beberapa judul karya yang ia publikasikan di antaranya:

  • Bila Malam Bertambah Malam (novel)
  • Telegram (novel)
  • Keok (novel)
  • Dag-dig-dug (novel)
  • Lho (novel)
  • Dar Der Dor (novel)
  • Tiba-Tiba Malam (novel)
  • Merdeka (novel)
  • Dang Dut (novel)
  • Cas-Cis-Cus (novel)
  • Dalam Cahaya Bulan (drama)
  • Lautan Bernyanyi (drama)
  • Bila Malam Bertambah Malam (drama)
  • Front (drama)
  • Aib (drama)
  • Aut (drama)
  • Dar-Dir-Dor (drama)
  • Bom (kumpulan cerpen).

4. Budi Darma

Budi Darma merupakan seorang akademisi sekaligus sastrawan Indonesia yang berpengaruh. Karyanya yang berjudul Olenka mendapat hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1980 serta memperolah Hadiah Sastra DKJ pada 1983.

Setahun setelahnya, sastrawan yang kini menjadi guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menerima Hadiah Sastra ASEAN. Serta masih banyak lagi apresiasi yang ia terima atas karyanya.

Lahir di Rembang, 25 April 1937, ia telah menulis banyak karya yang berpengaruh terhadap kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya banyak mempermainkan logika sehingga terkadang sukar dipahami oleh masyarakat awam.

Budi Darma sendiri serius menggeluti dunia kepenulisan mulai 1968. Sejak saat itu ia aktif melahirkan karya-karya yang sampai sekarang masih dibaca dan ditelaah. Selain Olenka, beberapa karyanya yang lain di antaranya:

  • Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen)
  • Rafilus (novel)
  • Ny Talis (novel)
  • Kritikus Adinan (kumpulan cerpen).

5. Sutardji Calzoum Bachri

Puisi Indonesia tidak bisa lepas dari sosok Sutardji Calzoum Bachri. Penyair yang berasal dari Riau ini sangat berperan terhadap puisi modern Indonesia.

Karya-karyanya sangat revolusioner. Bahkan, ia dijuluki sebagai presiden panyair Indonesia. Salah satu sastrawan pelopor Angkatan ’70 ini memulai karirnya dalam bidang kepenulisan lewat sajak-sajak dan esai yang ia kirim ke surat kabar seperti Kompas, Pikiran Rakyat, dan Horison.

Namanya melejit berkat manifiesto Kredo Puisi yang mengatakan bahwa kata-kata bukan sekadar sarana menyampaikam pengertian, melainkan kata-kata itu sendiri merupakan pengertian. Sutardji menganggap bahwa kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, beban ide, penjajahan gramatika, dan tabu bahasa.

Dirinya beberapa kali menerima penghargaan, salah satunya Hadiah Puisi DKJ 1976/1977 untuk kumpulan puisi Amuk. Sutardji juga pernah mendapatkan Hadiah Sastra ASEAN pada 1979 dan Anugerah Sastra Chairil Anwar pada 1998. Beberapa karyanya berjudul:

  • O (kumpulan puisi)
  • Amuk (kumpulan puisi)
  • O Amuk Kapak (kumpulan puisi)
  • Hujan Menulis Ayam (kumpulan cerpen).