Stoikisme: Pengertian – Sejarah & Penerapannya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pengertian Stoikisme

Secara terminologi, stoikisme berasal dari bahasa Yunani stoikos atau stoa, yang memiliki arti serambi atau beranda.

Dalam konteks awam, stoikisme sering disebut dengan istilah “menderita dalam kesunyian”, beserta etika-etika yang berkaitan dengan hal tersebut.

Stoikisme merupakan salah satu aliran filsafat yang mengajarkan kita tentang cara menciptakan sebuah kebahagiaan nyata dalam hidup.

Sebuah pola pikir untuk mencapai self mastering (penguasaan diri), ketekunan, dan kebijaksanaan, yang mana merupakan sesuatu yang digunakan seseorang untuk menjalani kehidupan yang ideal dan bahagia.

Dengan memahami keadaan apa saja yang tidak bisa kita ubah dan apa yang bisa kita ubah adalah cakupan yang ada dalam aliran stoikisme.

Intinya, kita dilatih agar dapat memandang dan merespon segala sesuatu secara rasional.

Stoic adalah sebutan untuk mereka yang menganut pola pikir stoikisme.

Sejarah Stoikisme

Stoikisme merupakan sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno sekitar tahun 301 SM di mana pada saat itu ia hampir kehilangan segalanya saat melakukan pelayaran untuk berdagang.

Pada tahun ke 5 M, Zeno pindah ke daerah yang disebut dengan Stoa Poikile, dan mendirikan sebuah sekolah Stoa yang kemudian terus dikembangkan oleh Kleanthes dan Chrysippus.

Kleanthes mampu menyumbangkan gagasan baru tentang hubungan etika dengan iman, yang biasa disebut dengan teologi. Sedangkan Chrysippus telah menulis sebanyak 705 buku literatur yang berisi tentang telaah perbintangan astronomi.

Stoikisme tetap populer hingga kurang lebih selama lima abad (301 SM – 3 M), yang selanjutnya banyak mempengaruhi pemikiran agama Kristen, baik di bidang akademis maupun aturan dalam hidup.

Tokoh dan Pandangan Stoikisme

Tokoh dan pandangan Stoikisme dapat dibagi menjadi tiga perkembangan, antara lain:

  • Stoikisme Awal

Awal mula dicetuskannya istilah Stoikisme oleh Zeno sekitar tahun 301 SM hingga 262 SM, dibantu oleh Chrisipus dari tahun 280 SM hingga 206 SM, dan  Cleanthes (331-232).

  • Stoikisme Perantara (Middle Stoicism) 

Tokoh-tokoh yang berpengaruh di era pertengahan antara lain Panaetius sekitar tahun 185 SM hingga 110 SM, Posidonius di tahun 135 SM hingga 50 SM, dan yang terakhir adalah Cicero sekitar tahun 106 SM hingga 43 M.

  • Stoikisme Akhir atau  Stoa Romawi (Roman Stoicism)

Di era Romawi, stoic yang berpengaruh dan ikut mengembangkan paham stoikisme antara lain Cicero dari tahun 106 SM hingga 43 M, Seneca Muda di tahun 1 sampai 65 M, Epictetus tahun 55 M sampai dengan 135M, dan yang terakhir adalah Marcus Aurelius  dari tahun 121 M hingga 180 M.

Sedangkan jika di era sekarang, stoikisme sering digunakan sebagai psikoterapi untuk mengatasi gangguan depresi.

Cara Penerapan Stoikisme

Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa menjadi seorang stoic berarti kita paham bahwa kita hanya harus fokus terhadap terhadap apa yang bisa membuat kita bahagia.

Namun, prinsip tersebut tidak serta merta menjadikan diri kita sebagai pribadi yang dingin dan mengisolasi diri dari lingkungan.

  • Menerima Hal di Luar Kendali Kita 

Beberapa hal, seperti masa lalu, perasaan dan persepsi orang lain terhadap kita adalah hal diluar kendali kita. Jangan membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan hal-hal tersebut.

Terkadang dengan ada peristiwa di masa lalu yang menurut kita kurang menyenangkan, dan kita berharap bisa memutar ulang waktu agar bisa memperbaikinya.

Sering melihat ke masa lalu dan menyesalinya hanya akan membuat kita semakin terpuruk dan mearasa tidak bergairah untuk melanjutkan hidup.

Daripada menengok kembali ke belakang, bukankah alangkah lebih baik jika kita mempersiapkan sesuatu yang lebih besar untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

Begitu pula dengan perasaan dan persepsi orang lain terhadap kita. Hanya karena kita ingin orang lain melihat kita dengan perspektif berbeda, kita rela berpura-pura menjadi orang lain.

Kita tidak perlu merasa harus menyesuaikan diri dengan standar orang lain, terutama jika itu harus mengorbankan moral diri sendiri. Tidak semua orang harus menyukai kita, dan itu wajar.

Semakin kita berani berhenti menyenangkan semua orang, semakin baik pula terhasap fokus kita terhadap kebahagiaan diri sendiri.

  • Berpikir sebelum Berbicara dan Bereaksi

Memiliki pandangan yang berbeda adalah sebuah kewajaran. Namun jika kita terlalu memaksakan prinsip dan nilai yang kita yakini ke orang lain, maka akan berakibat buruk terhadap hubungan kita dengan orang tersebut.

Karena yang kita anggap benar belum tentu dianggap benar pula oleh orang lain. Dengan menjaga sikap dan tutur kata kita kepada orang lain, hal tersebut akan membantu mengurangi frekuensi penyesalan kita di kemudian hari.

Kita tidak pernah tahu seberapa besar dampak ucapan dan perilaku kita terhadap lawan bicara kita. Mungkin saja ucapan kita menambah beban dan ketakutan dalam diri mereka.

Selain untuk menjaga perasaan orang lain, dengan berpikir sebelum berbicara dan bertindak, secara tidak langsung kita menunjukkan siapa diri kita melalui perkataan yang keluar dari mulut kita.

Dengan sikap seperti ini pula akan menjadikan orang lain segan terhadap kita. Sebab, kita telah menunjukkan perhatian dengan ucapan-ucapan yang baik.

  • Selalu Rendah Hati

Merasa haus akan pujian merupakan tanda tidak adanya sifat rendah hati.

Dengan menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri akan membuat kita lebih bisa mengahargai orang lain dan tidak merasa diri superior.

Selalu memposisikan diri sebagai orang lain juga akan membangun memecah pola yang terlalu fokus terhadap diri sendiri, serta rasa empati kita kita terhadap orang lain akan terbangun sehingga kita akan lebih mudah terkoneksi dengan orang lain.

Pada akhirnya, dengarkanlah apa kata hati anda. Menjadi pribadi rendah hati akan lebih menenangkan dan menyenangkan daripada sibuk ke sana ke mari mencari validasi dan apresiasi dari orang lain.

  • Menjadi Pribadi Pemaaf 

Menjadi stoic, bukan berarti merubah diri menjadi pribadi yang dingin dan mengisolasi diri. Mereka tetap senang dengan diskusi dan konfrontasi, namun mereka tidak akan tertarik terhadap konflik yang mengarah pada  tindakan pembalasan dendam.

Sadar jika semua orang pasti pernah berbuat salah. Selalu melihat sebuah masalah dari perspektif orang lain akan membuat kita paham, mampu menerima dan memaafkan orang lain.

Ketika orang lain bereaksi negatif kepada kita, selalu ingat ucapan Albert Einstein, “anda tidak bisa menyelasaikan masalah dengan tetap di energi yang sama”.

  • Terbuka Terhadap Pengetahuan Baru

Selain memperbaiki hubungan dengan sesama, otak juga memerlukan latihan rutin agar tetap sehat dan kuat.

Dengan membaca buku self improvement, mendengarkan podcast, dan menonton film dokumenter akan menambah wawasan serta mengasah imajinasi kita.

Dalam sebuah penelitian bertajuk “Journal of College Teaching and Learning”, membaca buku selama 30 menit setiap hari dapat menurunkan tekanan darah, frekuensi detak jantung, dan stress.

Selain itu, denga rutin membaca buku akan meningkatkan usia harapan hidup seseorang sebanyak 20%.

  • Dikotomi Kendali

Dikotomi kendali dibedakan menjadi dua, yaitu dikotomi internal dan eksternal.

Dikotomi eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar kendali dan tanggung jawab kita. Hal ini seperti persepsi dan reaksi orang lain terhadap kita.

Dikotomi internal merupakan segala hal yang berada di bawah kendali dan tanggung jawab kita. Seperti persepsi kita, emosi kita, sikap kita, reaksi kita, dan ucapan kita terhadap suatu hal. Semua itu berada di bawah kendali kita sepenuhnya.

Orang bijak akan lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk fokus terhadap apa yang bisa ia kendalikan. Semakin kita berusaha mengendalikan hal di luar kontrol kita, semakin sering kita merasa tertekan.

  • Selalu Bersiap untuk Kemungkinan Terburuk

Saat kita memiliki sebuah rencana yang matang, pasti kita mengharapkan hasil yang sempurna. Namun terkadang, hidup tidak bisa selalu sesuai dengan prasangka dan keinginan kita.

Kita harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, entah itu hasil sesuai yang diharapkan atau bahkan hasil terburuk yang mati-matian kita hindari.

Tujuan dari ini semua agar kita tetap memiliki kendali diri saat hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

  • Amor Fati (Mencintai Takdir)

Dalam menjalani hidup, selain diharuskan untuk selalu berusaha dan berproses, manusia diharapakan mampu mencintai dan menerima takdir yang telah ditetapkan kepadanya.

Sepahit dan sememilukan apapun takdir, kita harus mampu menerimanya secara lapang dada. Karena dibalik setiap kejadian baik atau buruk, pasti ada hikmah yang selalu bisa dipetik.

Sebagaimana perkataan Epictetus yang selama hidupnya banyak ditempa hal memilukan, “jangan berharap segala sesuatunya terjadi seperti yang kita inginkan. Berharaplah apa yang terjadi, terjadi sebagaimana mestinya”.

fbWhatsappTwitterLinkedIn