Daftar isi
Logika merupakan teori berpikir yang pertama kali dipelajari dan dikembangkan ileh para filsuf Yunani, dan penalarannya bersifat tradisional atau selogistik. Lalu kemudian masuk ke dunia Arab pada masa kejayaan hingga keruntuhan Islam, dan dikenal dengan nama ilmu manthiq.
Masuk ke dunia Barat, logika mencapai puncaknya ang kemudian dikenal dengan istilah logika simbolik. Sementara di Indonesia, logika pertama kali masuk dari dunia Arab dengan dipelajaringa logika di berbagai institusi pendidikan Islam.
Alam Pikiran Zaman Yunani
Awal pertumbuhan logika dirumuskan dan dikembangkan oleh para filsuf Yunani. Aristoteles (384-322 SM) merupakan ahli pertama yang merumuskannya sebagai ilmu tentang berbagai hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kesalahan. Di sini logika berperan sebagai alat untuk membimbing dan menuntun seseorang agar berpikir lebih teliti.
Aristoteles
Aristoteles menciptakan ilmu baru berupa logika, yang awalnya disebut dengan “analitika” dan “dialektika”. Analitika merupakan nama dari sistem penalaran yang berdasarkan pada pernyataan yang dianggap benar. Sedangkan dialektika merupakan nama dari suatu sistem penalaran yang berdasarkan pada pernyataan yang belum pasti kebenarannya.
Ada sekitar enam buku karya Aristoteles mengenai logika yang oleh muridnya digabungkan menjadi satu dengan dinamai Organon. Enam bagian tersebut antara lain, Categoriae, De Interpretatione, Analytica Priora, Analytica Posteriora, Topica, dan Sophistici Elenchi.
Theoprastus
Theprastus merupakan salah satu murid terbaik Aristoteles, dan menggantikannya mengepalai Peripatetik. Selain itu, Theoprastus juga berjasa dalam penyempurnaan teori logika yang diwariskan oleh gurunya, Aristoteles.
Sumbangan terbesar Theoprastus adalah penafsirannya tentang suatu “pengertian yang mungkin”, serta tentang “sifat asasi dari setiap kesimpulan”. Definisi pengertian yang mungkin menurutnya adalah “sesuatu yang tidak memuat kontradiksi dalam artinya.
Kaum Stoik dan Megaria
Logika mengalami kemajuan pesat hingga pada puncaknya ketika ditulis oleh kaum Stoik dan Megaria. Di mana kaum Megaria merupakan aliran yang didirikan oleh Euclid (abad 3), salah seorang murid Socrates. Eubilides merupakan salah satu murid terkenal Euclid yang melahirlan teori Liar Paradox dalam logika, serta Ichtyas yang menggantikan Euclid menjadi kepala aliran Megaria.
Aliran logika pada masa ini lebih cenderung mengarah pada pembahasan susun kata sebagai penjelmaan pikiran dan masalah aktual pada masa ini, yaitu berbagai masalah Paradox. Teori Paradox yang disusun oleh Chrysippus konon terdiri dari 28 buku. Akibat terlampau dalam pemikirannya dalam menyelasaikan masalah paradox tersebut, dikabarkan Philetos daro Cos meninggal dunia secara mendadak.
Porphyrius
Porphyrius merupakan ahli pikir terkenal dari Iskandariah dalam bidang logika, dan tercatat jasanya karena menambahkan satu bagian baru dalam bidang logika.
Bagian tersebut bernama Eisagoge yang menjadi pengantar Categoriae. Dalam bagian tersebut, membahas tentang berbagai lingkungan dari zat dan berbagai lingkungan dari sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi.
Sidang Besar Nicae
Sidang tersebut bertujuan menyelesaikan berbagai pertentangan keyakinan dalam dunia Kristiani. Pertentangan keyakinan tersebut terjadi antara Arius dari Iskandariah yang berprinsip bahwa Yesus memiliki zat berbeda dari zat Tuhan (heter-ousis) dan Alexander dari Konstantinopel yang berpkeyakinan bahwa keduanya memiliki zat serupa (homo-ousius).
Sidang Besar Nicae juga memberikan putusan terhadap penghapusan ratusan ragam Injil yang tersebar kala itu, serta meresmikan empat Injil (Matius, Lukas, Markus, dan Yahya) beserta Kisah Para rasul. Selain itu, juga memutuskan untuk menghapus pelajaran alam pikiran Yunani di dua pusat, yaitu Athena dan Antiokia. Sedangkan Iskandariah diberikan kelonggaran karena di situ lah filsafat Plotinus atau Neo Platonism (204 – 270 M) memiliki pengaruh sangat kuat dan sesuai dengan ajaran Nasrani.
Komentator Terakhir Roma
Berbagai keputusan dalam Sidang Besar Nicae membawa dampak hebat terhadap perkembangan logika di Yunani. Manlius Severnius Boethius (480-524 M) menjadi ahli pikir terakhir di Roma, di mana ia menyalin Logika dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Salinan tersebut menjadi buku Logika pertama yang berbahsa Latin termasuk sebagian merupakan “bab-bab terlarang”.
Hingga akhirnya, pada 524 M Boethius dijatuhi hukuman mati, yang berakibat pada padam hingga matinya pelajatan logika di dunia Barat selama hampir lebih dari seribu tahun lamanya. Masa tersebut dikenal dengan istilah “Dark Ages”.
Logika Zaman Islam
Penyalinan buku-buku logika Yunani kuno, Parsi, dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab dimulai pada pertengahan abad ke-8 oleh para Khalif Al-Mukmin dari dinasti Abbasiah di Bagdad, dan Khalif Abdul-Rahman dari dinasti Umayyah di Cordova.
Penyalinan Berbagai Buku Logika
Penyalinan pertama tentang buku Logika dilakukan oleh Johana bin Patrik, yaitu dengan judul “Kategori Karangan Aristo” (Maqulatul-Asyarat li-Aristu), yang disusul oleh Ibnu Sikkit Jakut Al-nahwi dengan memberikan beberapa tambahan dalam buku “Perbaikan dalam Logika” (Ishlah fil-Manthiqi). Kemudian penyalinan berbagai bagian dalam logika oleh Jakub bin Ishak Al-Khindi.
Penyalinan masih terus berlanjut, seperti yang dilakukan oleh Ishak bin Hunain yang menyalin Categoriae dab De Interpretatione (Maqulat li-Aristu dan Kitabu Arishthathalis: Bari Arminias). Eisagoge dan Topica oleh Said bin Jakuh yang dinamai (Isaguji wa Tupiqa Aristu). Abubisyri Matta Al-Mantiqi yang menyalin Analytica.
Penyalinan pada masa itu masih bagian demi bagian dengan penggunaan berbagai istilah pada setiap salinan yang terkadang masih kurang cermat. Oleh Abu-Nasar Muhammad bin Muhammad bin Ozluq bin Thurchan Al-Farabi berbagai kekurangan tersebut diperbaikinya.
Abu Abdillah Al-Khwarizmi yang merupakan salah satu tokoh logika kala itu juga merupakan penyususn dan pencipta Aljabar, memberi komentar tentang keseluruhan logika dalam bukunya yang bejudul Mafatihul-Ulum fil Manthiqi. Selain itu, ada buku karangan Ibn Sina yang khusus membahas tentang logika, yaitu Isyarat wal Tanbihat fil Manthaqi.
Abu Ali Muhammad bin Hasan bin Al-Haitsman, di Eropa lebih dikenal dengan Al-Hazem telah menulis dua buku mengenai logika, antara lain Muchtasharul Manthiqi dan Talchisu Muqaddamati Purpurius wa Kutubi Aristhathalis.
Logika pada Masa Kemunduran Islam
Memasuki awal abad ke-14 telah terjadi reaksi negatif dari berkembangnya logika dalam dunia Islam. Dianggap terlalu memuja akal dalam mencari sebuah kebenaran, sehingga melahirkan berbagai paham ekstrimis dan disusul dengan berbagai tuduhan seperti zindiq, ilhad, dan kufur bagi para penganutnya.
Hingga pada abad ke-14, di mana Islam mengalami kemunduran kekuasaan, Ibnu Taimiah menentang keras pelajaran logika dan membuat buku dengan judul Fashihtu ahlil-Imam fil-Raddi ‘ala Manthiqil Yunani (Ketangkasan Pendukung Keimanan Menangkis Logika Yunani).
Kemudian disusul oleh karya tulis Saaduddin Al-Taftazani yang berjudul Tahzibul-Manthiqi wal-Qalam, yang memuat tentang haramnya mempelajari logika. Menjelang akhir abad ke-14 kegiatan ilmiah meredup sejalan dengan pelarangan terhadap pelajaran logika, ditambah pula oleh jatuhnya Andalusia ke tangan Ferdinand dan Isabella di pertengahan abad ke-15.
Pada awal abad ke-20, Ibnu Kaldun mengeluarkan karya berjudul Muqaddamah yang di dalamnya memuat dasar-dasar logika bernama Al-Manthiq. Kemudian disusul oleh Abdurrahman Al-Akhdhari yang menyusun dasar-dasar pelajaran logika dalam bentuk sajak, dengan judul Sullam fil-Manthiqi. Muhibullah Al-Bisyari Al-hindi mengarang tentang logika dengan judul Sullamul-Ulum fil-Manthiqi.
Pada awal abad ke-20 muncul gerakan pembaruan dunia Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sejalan dengan itu, kegemaran terhadap logika kembali muncul di Mesir dan meluas hingga ke seluruh Islam di dunia.
Perkembangan Logika di Negara Barat
Setelah melewati fase “Dark Aged”, pada abad ke-12 bangsa Eropa mulai menggali kembali pelajaran logika. Peter Abelard menjadi orang pertama yang menghidupkan kembali logika di perguruan tinggi yang dibangunnya di paris.
Logika Tua (Ars Vetus)
Logika pada masa ini masih terbatas sekitar Categoriae, De Interpretatione, dan Eisagoge. Namun, dikarenakan ketekunan dan kesungguhan Peter Abelard menggali berbagai naskah tua, hingga dipertemukannya ia dengan peninggalan Cicero tentang Topica dan berbagai komentar dari Apuleus mengenai Perihermenias, buah tangan Boethius tentang De Syllogismo Hypothetico, De Syllogismo Categorico, dan De Interpretatione.
Logika Baru (Ars Nova)
Karya Aristoteles tentang Logika dalam bentuk buku Organon baru dikenal dunia Barat secara lengkap setelah berbagai proses penyalinan yang luas dari berbagai karya ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Beberapa karya Ibn Sina tentang logika banyak disalin ke dalam bahasa Latin di penghujung abad ke-12. Banyaknya proses penyalinan buku-buku logika membuka kembali mata dunia Barat akan alam Yunani kuno.
Beberapa ahli pikir seperti Albertus Magnus, Robert Grosseste, St. Thomas Aquinas, dan Giles of Rome banyak memberikan sumbangan baru dalam perkembangan logika. Semenjak itu, literatur mengenai logika mengalami perkembangan pesat di dunia barat kala itu.
Kemunduran Logika Kaum Scholastik
Menuju akhir abad ke-14 pengaruh logika kaum Scholastik mulai mengalami kemunduran dikarenakan banyaknya perdebatan tidak bernilai antara kaum Nominalis dan kaum rasionalis. Logika makin lama makin terasa hampa dan kosong untuk digunakan sebagai alat berpikir. Sehingga banyak menimbulkan kemuakan pada sebagian orang.
Logika Golongan Port Royal
Pada 1658, karya Ibn Sina tentang logika disalin oleh Napier ke dalam bahasa Perancis. Dari sini mulai terlihat kebangkitan logika di tangan para tokoh terkenal dengan sebutan Golongan Port Royal. Diterbitkannya buku ou I’art de Pencer pada 1662 oleh Antoine Arnauld dan Pierre Nicole dibantu beberapa penulis lainnya dari golongan Port Royal.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh penulis-penulis lain, seperti Gottfried Wilhem von Leibniz dengan bukunya Dissertatio de Arte Combinatoria (1666), dan Giovanni Giralamo Saccheri dengan bukunya Logika Demonstrativa (1501).
Kemudian disusul oleh Leonhard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss dengan bukunya Lettres a une princesse d’Allegmane. George Wilhelm Friedrich Hegel dengan bukunya Wissenschaft der Logik. Bernard Bolzano menerbitkan buku dengan judul Wissenschoftlehre (1837), dan yang terakhir adalah John Stuart Mill (1843) yang menerbitkan buku dengan judul A System of Logic.
Perkembangan Logika-Simbolik
Logika Simbolik
Gagasan mengenai logika simbolik sebenarnya sudah dimulai sejak diusulkannya ars combinatoria oleh Leibniz dengan menurunkan berbagai definisi rumit dari penggabungan sejumlah kecil konsep sederhana yang kemudian dijadikan pangkal.
Lalu terdapat usulan program mengenai bahasa dan penalaran dalam segenap ilmu. Program tersebut meliputi beberapa pengembangan, diantaranya characteristica universalis (bahasa semesta) dan calculus ratiocinator (logika matematika).
Pelopor dan Tokoh Logika-Simbolik
Diperkenalkan oleh Leibniz, tujuan utama logika simbolik adalah untuk menjabarkan logika agar menjadi sebuah ilmu pasti. Setiap definisi atau pengertian, pernyataan, dan hubungan digantikan dengan berbagai simbol. Namun baru mendapatkan perhatian sekitar pertengahan abad ke-19.
Pengembangan dimulai pertama kali ketika George Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik menggunakan berbagai simbol yang cukup luas dengan metode analisis menurut matematika. Sedangkan Augustus de Morgan yang merupakan ahli matematika Inggris memberikan sumbangan berupa pemikirannya mengenai relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik lain yaitu John Venn yang berusaha menyempurnakan analisis logika milik Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran, yang kini dikenal dengan diagram Venn, untuk menggambarkan berbagai hubungan dan memeriksa sahnya sebuah simpulan dari suatu silogisme.
Hingga pada puncaknya sekitar awal abad ke-20, perkembangan logika simbolik telah menghasilkan dua filsuf besar asal Inggris, yaitu Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell dan tiga jilid karya tulis berjudul Principia Mathematica (1910 – 1913) dengan 1992 halaman.
Perkembangan Logika di Indonesia
Pada 1950, sebuah buku logika berbahasa Jawa namun dengan huruf Arab berjudul Ilmu Manthiq, yang merupakan terjemahan dari kitab nadhom As-Sullamul-Munauroq karya Abdurrahman Al-Akhdhari (abad ke-16), disusun oleh K.H. Bisyri Musthofa Rembang, beredar luas tidak hanya di seluruh Jawa, namun juga luar Jawa seperti Lampung.
Pada 1954, penerbit W. Versluy N. V di Jakarta menerbitkan buku dengan judul “Logika” atau “Ilmu Pikir”, yang merupakan karya Joesoef Sou’yb digadang-gadang menjadi buku logika pertama dalam bahasa Indonesia.
Namun, saat ini logika mulai mengalami perkembangan sejalan dengan dibukanya Fakultas Filsafat di Universitas Gadjah Mada (1967). Logika yang dikembangkan di fakultas tersebut mengikuti perkembangan berbagai teori terakhir logika yang juga beriringan dengan berkembangnya teori himpunan.