Perbedaan nilai, norma, dan identitas setiap kelompok manusia tentu berbeda-beda. Perbedaan tentu memberi keunikan dan keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, tidak jarang perbedaan juga menimbulkan masalah sosial, salah satunya adalah konflik sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik adalah percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik berasal dari bahasa latin ‘configure‘ yang berarti memikul.
Dilihat maknanya dari sisi sosiologi, konflik adalah proses sosial antara dua orang atau lebih dengan kondisi salah satu pihak yang berusaha menyingkirkan pihak lain. Oleh karena itu, konflik sosial adalah perselisihan antar anggota dalam kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Terdapat beberapa penyebab terjadinya konflik sosial, seperti perbedaan antar perorangan, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, hingga adanya perubahan sosial.
Apabila konflik sosial terjadi, terdapat dampak positif dan negatif yang muncul. Dampak positif konflik sosial adalah lahirnya norma baru di masyarakat hingga meningkatkan solidaritas antar anggota kelompok. Namun, tidak menampik bahwa konflik sosial menimbulkan dampak negatif, seperti munculnya aksi kekerasan, muncul aksi balas dendam, hingga retaknya persatuan kelompok.
Istilah teori konflik atau ‘Conflict Theory’ bermula dari pertentangan kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok yang saling bertentangan ini terdiri dari kelompok tertindas dan kelompok penguasa yang mengarah pada perubahan sosial.
Konflik sosial memiliki beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli. Beberapa ahli tersebut antara lain Karl Marx, Max Weber, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf, dan George Simmel. Dengan metode pendekatan masing-masing, teori konflik yang dilahirkan oleh para ahli tersebut berbeda-beda. Berikut penjelasan teori konflik sosial menurut para ahli.
Sebagai pelopor awal teori konflik, Karl Marx berpendapat bahwa tujuan dari kehidupan masyarakat adalah kondisi masyarakat tanpa kelas (sosialisme). Oleh karena itu, pendapat Karl Marx berkaitan dengan konflik kelas sosial yang merupakan sumber paling penting dan berpengaruh dalam perubahan sosial. Menurut Karl Marx, kelas sosial terjadi karena pertentangan pada sistem sosial masyarakat yang terbagi menjadi dua kasta, yakni prolentar dan borjuis.
Contoh teori konflik Karl Marx yakni kasus buruh dan majikan. Di dalam hubungan ini, terdapat status sosial dan peran sosial yang dapat memperdalam jaringan-jaringan konflik masyarakat. Dalam kondisi tersebut, dapat dilihat kasus majikan yang memberi perintah, sedangkan buruh akan mematuhi perintah majikannya. Kondisi ini dapat membentuk keseimbangan meski tidak memungkiri keinginan buruh untuk berada di posisi majikan.
Menurut Max Weber, konflik dalam teori sosiologi klasik tidak dapat dihindari karena masyarakat bergerak secara dinamis, bukan statis. Artinya konflik dapat menjalankan peran sosial yang positif dengan alasan untuk memupuk rasa persatuan.
Contoh dari teori konflik Max Weber adalah kasus pengangguran. Tingginya angka pengangguran dalam kehidupan masyarakat akan memicu dampak buruk lainnya, seperti kriminalitas yang meningkat. Apabila jumlah pengangguran sangat tinggi, maka mendorong peran sosial yang positif dari para investor untuk membuka lapangan pekerjaan yang melimpah bagi masyarakat.
Lewis A Coser melihat konflik sebagai proses sosial dan interaksi sosial yang membentuk penyatuan sekaligus pemeliharaan struktur sosial. Dengan adanya penyatuan, maka identitas masing-masing kelompok akan semakin kuat. Dalam teori ini, Coser menyebutkan bahwa perubahan bisa terjadi setelah datangnya konflik dalam kehidupan masyarakat.
Contoh teori konflik dari Lewis A Coser adalah dunia politik yang menggambarkan penguasaan serta mempertahankan kekuasaan. Politik yang dijalankan oleh pemerintah menjadi sumber konflik paling ditakuti. Hal tersebut dapat memicu konflik pada segi kehidupan yang lain, seperti ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.
Perebutan kekuasaan dalam lingkungan pemerintah termasuk isu yang dapat dikaji dalam teori konflik. Isu yang dapat dikaji seperti pendapat bahwa kekuasaan hanya bagi individu yang memiliki uang. Dari kondisi tersebut, masyarakat akhirnya memilih tokoh yang tidak hanya mengandalkan uang untuk membeli kekuasaan.
Teori konflik menurut Ralf Dahrendorf menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi setelah adanya konflik kelas di lingkungan masyarakat. Dahrendorf meyakini bahwa konflik dan pertentangan menjadi bagian yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa prinsip yang mendasari teori konflik adalah konflik sosial dan perubahan sosial yang tersedia dalam struktur kehidupan masyarakat.
Salah satu contoh teori konflik dari Dahrendorf adalah arti kemiskinan. Kemiskinan biasanya menjadi pendorong masyarakat untuk bergerak dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan ini terbentuk karena masyarakat miskin terus berupaya mencari penghasilan atau pendapatan agar keluar dari jurang kemiskinan.
Misalnya saja seperti orang miskin melakukan tindakan kriminalitas untuk naik kelas, sementara orang kaya memperluas jaringannya agar dapat mempertahankan kekayaan.
Akan tetapi, jika kondisi ini terus dibiarkan dalam kehidupan masyarakat, maka muncul kesenjangan sosial. Dari hal tersebut, masyarakat terus mengalami konflik karena terjadi perebutan status antara si kaya dan si miskin.
George Simmel berpandangan bahwa konflik dalam masyarakat merupakan bagian dari dampak individu untuk melakukan interaksi sosial. Interaksi tersebut nantinya menghasilkan integrasi sosial melalui kompromi atau mungkin menghasilkan disintegrasi sosial karena tidak menemukan solusi yang tepat.
Contoh dari teori konflik menurut George Simmel adalah kajian terkait konflik budaya. Biasanya, konflik terjadi dalam masyarakat yang memiliki sejumlah kebudayaan khusus dengan sifat tertutup. Pandangan masyarakat dengan kebudayaan yang bersifat tertutup ini akan menolak perubahan sosial.
Akan tetapi apabila masyarakat memiliki pandangan terbuka, mungkin saja kebudayaan yang tertutup tersebut adalah bagian dari kearifan lokal.