Daftar isi
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang ada di Pulau Jawa. Kota ini memiliki berbagai sejarah yang menghasilkan berbagai macam kebudayaan dan tradisi yang menarik untuk dibahas. Berikut adalah tradisi kota Yogyakarta yang masih bertahan hingga saat ini.
1. Upacara Sekaten
Tradisi yang pertama yaitu upacara sekaten yang biasa diadakan ketika akan memperingati maulid nabi pada 12 Rabiul Awal. Tradisi yang juga diadakan di Surakarta ini dilangsungkan satu kali dalam satu tahun dan selalu menjadi tradisi yang paling dinantikan oleh masyarakat di sana. Kata dari sekaten sendiri berasal dari “Syahadatain” yang memiliki makna persaksian sekaligus menjadi hal yang paling utama bagi umat Islam. Kata tersebut kemudian diserap menjadi suhadatain hingga akhirnya menjadi sekaten.
Tradisi ini sudah dimulai sejak abad ke 15 dan diprakarsai oleh Sunan Kalijaga mengajak masyarakat untuk merayakan hari lahir Rasulullah SWT.
Dua hari sebelum diadakannya upacara sekaten diadakan tradisi numplek wajik terlebih dahulu. Numplek wajik adalah tradisi memainkan lagu dengan iringan dan kentongan di depan atau halaman keraton Yogyakarta. Selanjutnya upacara akan diadakan dalam kurun waktu satu minggu dengan puncak acaranya yaitu grebek muludan. Dalam grebek muludan akan ada makanan yang disusun menggunung untuk dibagikan kepada masyarakat. Makanan tersebut merupakan sedekah dari keluarga keraton.
2. Siraman Pusaka
Siraman pusaka merupakan tradisi membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan oleh pihak keraton Yogyakarta. Kata siraman sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu “siram” yang artinya “mandi”. Tradisi ini dilakukan satu tahun sekali yaitu pada bulan sura di hari selasa kliwon dan jum’at kliwon. Benda-benda tersebut antara lain yaitu tombak, keris, regalia, ampilan, panji-panji, gamelan hingga kereta. Benda pusaka tersebut biasanya dikenal sebagai “ngarsa dalem”. Tak hanya sakral benda-benda tersebut bahkan mempunyai nama.
Tradisi ini biasanya dilakukan selama dua hari dan bertempat di dalam dan di luar keraton serta bersifat tertutup. Beberapa pusaka bahkan dibersihkan secara pribadi oleh sultan dan keluarga sultan di tempat khusus di dalam keraton. Air yang digunakan pun bukan sembarangan air yaitu wajib menggunakan air kembang. Sisa air siraman pusaka ini biasanya dikais oleh masyarakat sebab dianggap sakral dan diharapkan akan mendatangkan berkah.
3. Saparan Bekakak
Saparan bekakak adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Jogja khususnya desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping. Upacara ini dilakukan tahunan setiap bulan sapar yaitu salah satu bulan pada penanggalan Jawa. Tradisi ini merupakan budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu tepatnya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Perayaannya selalu berlangsung dengan meriah sebab diikuti oleh berbagai macam kelompok budaya.
Sejarah dari tradisi ini bermula ketika Kecamatan Gamping dilanda musibah longsor yang memakan korban jiwa warga setempat. Anehnya musibah tersebut terus berulang setiap tahun pada bulan sapar yang mengakibatkan masyarakat setempat berpikir arwah korban masih tertinggal di gunung Gamping.
Untuk mengatasi hal tersebut akhirnya warga memutuskan untuk melakukan cara agar terhindar dari musibah tersebut dengan mengadakan ritual bekakak. Ritual bekakak menggunakan ornamen laki-laki dan perempuan yang merupakan pasangan suami istri. Ornamen tersebut terbuat dari campuran beras ketan kemudian akan disembelih di kawasan gunung Gamping. Sepasang boneka pengantin tersebut merupakan representasi dari kyai dan nyai Wirasuta yang juga merupakan korban bencana longsor pada saat itu.
4. Upacara Labuhan parangkusumo
Tradisi ini merupakan tradisi leluhur warga Jogja yang dilaksanakan di gunung Merapi, gunung Lawu, Desa Dlepih serta pantai Parangkusumo. Tempat tersebut tidak dipilih secara acak melainkan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Keempat tersebut pada zaman dahulu merupakan tempat pertapaan para sultan Mataram.
Kata labuhan berasal dari kata “labuh” yang merupakan serapan dari kata “laruh” yang artinya adalah membuang. Jadi upacara ini adalah dimaksudkan untuk membuang sesuatu ke dalam air atau sumber air.
Pelaksanaan tradisi ini berbeda-beda tergantung daerahnya. Di gunung merapi sesaji akan diletakkan di tengah gunung sedangkan di desa Dlepih, Wonogiri diletakkan di atas meja yang tersusun dari batu. Tidak seperti upacara adat lainnya yang diadakan setiap tahun, tradisi labuhan parangkusumo diadakan pada saat acara-acara tertentu seperti Penobatan Sultan, Ulang tahun penobatan Sultan atau Tingalan Panjenengan, serta peringatan hari “Windo” yaitu ulang tahun penobatan Sultan “Windon” yang diadakan setiap 8 tahun sekali.
5. Upacara Nguras Enceh
Upacara nguras enceh adalah upacara membersihkan gentong yang ada di makam para Raja di Jawa. Upacara ini dilakukan oleh warga Imogiri, Bantul, Yogyakarta setiap hari selasa kliwon dan jumat kliwon bulan Suro. Gentong yang akan dibersihkan ada 4 buah dimana masing-masing gentong memiliki nama dan asalnya masing-masing. Keempat gentong tersebut adalah gentong Kyai Danumaya yang berasal dari kerajaan Palembang, gentong Kyai Danumurti dari kerajaan Aceh, Kyai Mendung dari kerajaan Turki, dan Nyai Siyem yang berasal dari negeri gajah putih atau Thailand.
Setelah gentong dibersihkan sejumlah rombongan kemudian mengisi kembali gentong-gentong tersebut dengan air yang diambil dengan menggunakan siwur. Siwur adalah gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa. Siwur yang bawa berjumlah dua buah yang melambangk dua kerajaan Mataram Islam yaitu kesultanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.
Tradisi ini merupakan simbol untuk membersihkan diri dari hal-hal negatif. Upacara adat ini sudah berlangsung sejak kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang begitu disegani. Beliau berhasil menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
6. Upacara Rebo Pungkasan
Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Jogja yang berada di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Jogja. Upacara ini lebih dikenal oleh masyarakat lokal sebagai tradisi rebo wekasan yang mempunyai arti “rabbu terakhir”. Nama tersebut diambil dari waktu pelaksanaan dari upacara adat ini yang jatuh pada hari rabu terakhir pada bulan Sapar yaitu sistem penanggalan Jawa.
Tradisi ini berdasarkan catatan sejarah sudah hadir sejak tahun 1784 silam. Upacara ini berawal dari seorang tokoh masyarakat bernama mbah kyai Faqih Usman. Kabarnya beliau mampu menyembuhkan segala penyakit dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-quran yang dibacakan pada air yang akan diminum oleh penderita. Metode Mbah KyaI Faqih Usman inilah yang digunakan pada saat desa Wonokromo terserang Pagebluk.
Masyarakat semakin ramai mendatangi Mbah Kyai dan akhirnya memutuskan untuk mendoakan air di telaga agar dapat diambil oleh masyarakat. Keramaian inipun dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengais rezeki. Oleh sebab itulah pada malam sebelum tradisi ini digelar pasar malam dadakan. Sedangkan dipilihnya hari terakhir pada bulan Sapar yaitu hari tersebut merupakan hari dimana Mbah Kyai dan Sultan Hamengkubuwono I bertemu.
7. Upacara Adat Pembukaan Cupu Panjala
Tradisi ini merupakan tradisi ramalan yang sudah ada sejak zaman dahulu. Media yang digunakan dalam membaca ramalan tersebut adalah kain kafan yaitu kain yang biasa digunakan untuk membungkus jenazah. Tradisi ini biasanya diadakan pada pasaran Kliwon pada musim kemarau yang jatuh pada bulan Ruwah penanggalan Jawa. Acara yang banyak dikunjungi oleh masyarakat luar kota gudeg ini dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Sebelum melakukan ritual ini para abdi dalem diwajibkan untuk berpuasa terlebih dahulu.
Cupu Panjala merupakan 3 buah kendi yang disimpan di dalam peti selama ratusan tahun. Kendi tersebut terbungkus oleh kaif kafan yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Konon katanya kain tersebut akan memberikan ramalan atau tanda yang akan terjadi dalam waktu satu tahun ke depan.
8. Upacara Kupatan Jolosutro
Upacara kupatan jolosutro merupakan tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Jolosutro, Bantul, Yogyakarta. Tradisi ini dipercaya sudah ada sejak zaman sunan Geseng masih hidup yaitu seseorang yang sangat berpengaruh di dusun tersebut. Tujuan dari diadakannya tradisi ini adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi keselamatan dan kesejahteraan bagi manusia.
Pada zaman dahulu masyarakat Jolosutro selalu mengadakan rasulan setiap kali musim panen. Acara tersebut selalu mengundang banyak tamu dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa hingga keluarga keraton. Melihat banyaknya orang yang datang maka masyarakat Jolosutro menjamu mereka dengan makanan. Maka dipilihlah kupat atau ketupat lengkap dengan lauk pauknya.
Ketupat yang ada dalam upacara kupatan Jolosutro berbeda dengan ketupat lainnya. Ketupat tersebut dibungkus dengan daun gebang dengan ukuran hingga mencapai 365×35 cm.
9. Upacara Bathok Alas Ketonggo
Upacara adat bathok bolu alas ketonggo merupakan salah satu upacara adat yang diadakan oleh masyrakat di Sambiroto, desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Upacara yang diadakan setiap tanggal 10 Suro ini dilakukan untuk memperingati nilai-nilai luhur dari putra Sultan Hamengku Buwono V yaitu Pangeran Ganthi atau Sujono.
Upacara bathok alas ketonggo biasanya dilaksanakan pada malam hari yaitu sekitar pukul sembilan. Upacara diawali pengambilan air sendang panguripan di desa sendang panguripan untuk kemudian di kirab keliling dusun. Upacara ini semakin meriah dengan adanya prajurit atau dikenal juga sebagai Bregada seperti Bregada Ganggeng , Samodra, Bregada Bathok Bolu, dan Bergada Penderek yang terdiri dari tokoh ulama.
Kirab upacara ini dimulai dari masjid di dusun dan berakhir di keraton bathok ketonggo. Setelah sampai di keraton maka acara selanjutnya adalah penyerahan simbolis “banyu panguripan” kepada punggawa adat. Tak hanya kiran, ziarah ke makan juga merupakan bagian dari upacara ini.
10. Upacara Jodhangan Goa Cerme
Setiap minggu pahing pada bulan Suro, masyarakat Selopamioro, Imogiri, Bantul rutin mengadakan upacara adat yang dikenal sebagai upacara jodhangan goa cerme. Sesuai dengan namanya upacara ini dilaksanakan di depan goa cerme yang berada di bukit Imogiri. Upacara ini diselenggarakan sebagai bentuk syukur masyarakat kepada Pencipta selama satu tahun sebelumnya sekaligus meminta keselamatan untuk tahun berikutnya.
Sebelum upacara adat ini diselenggarakan, warga setempat biasanya akan melakukan bersih desa bersama-sama. Upacara dimeriahkan dengan kirab yang dilakukan berjalan kaki sepanjang satu kilometer. Masyarakat yang mengikuti tradisi ini sebagian besar mengenakan baju tradisional khas Jawa. Dipilihnya goa cerme bukan secara sebarangan melainkan karena warga meyakini goa tersebut adalah tempat musyawarah para wali zaman dahulu.