Biografi Basuki Rahmat: Peran dan Perjuangannya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Mayor Jendral TNI Basuki Rahmat merupakan seorang anggota Tentara Nasional Indonesia yang memiliki peran penting selama era perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Diantaranya, ia menjadi saksi dalam peristiwa monumental yang mengawali peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, yaitu penandatanganan Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret tahun 1966.

17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: Basuki Rahmat - Tribunnewswiki.com Mobile

Kelahiran Basuki Rahmat

Basuki Rahmat lahir di Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, pada tanggal 4 November 1921. Ayahnya merupakan seorang asisten residen (Wedono) di Kecamatan Senori yang bernama Raden Soedarsono Soemodihardjo. Sedangkan ibunya yang bernama Soeratni meninggal sepuluh hari setelah melahirkan adiknya, yaitu pada tahun 1925 ketika Basuki Rahmat masih berusia 4 tahun.

Masa Remaja dan Masa Dewasa Basuki Rahmat

Basuki Rahmat memasuki Sekolah Dasar pada saat ia berusia tujuh tahun.  Pada tahun 1932, yaitu ketika usianya menginjak 11 tahun ayahnya meninggal dunia. Hal tersebut menyebabkan pendidikan Basuki Rahmat terpaksa  berhenti.

Pada akhirnya, Ia tinggal bersama pamannya dan berhasil menamatkan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1939. Selepas SMP, ia kemudian melanjutkan ke jenjang SMA, yakni ke SMA Muhammadiyyah Yogyakarta dan lulus pada tahun 1942.

Peran dan Perjuangan Basuki Rahmat

Pengalaman militer Basuki Rahmat dimulai pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1943.  Kala itu, Basuki Rahmat bergabung dengan Tentara PETA atau Pembela tanah Air bentukan Jepang yang didirikan untuk melatih rakyat sebagai tambahan dalam menghadapi invasi tentara Amerika Serikat ke Pulau Jawa. Di PETA, Basuki Rahmat diangkat menjadi Komandan Kompi.

Setelah  proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana mayoritas pemuda lainnya, Basuki bergabung ke dalam kelompok milisi yang dipersiapakan untuk pembentukan tentara Angkatan Darat republik Indonesia. Pada saat dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat, pada tanggal 5 Oktober 1945, Basuki Rahmat turut mendaftar sebagai anggotanya di Kota Ngawi, Jawa Timur. Ia kemudian ditempatkan di KODAM VII / Brawijaya (yang kemudian dikenal dengan Wilayah Militer V/Brawijaya), yakni komando militer  yang bertanggung jawab atas keamanan provinsi Jawa Timur.

Dalam karir militernya bersama TKR, Basuki Rahmat menjabat sebagai Komandan Batalyon di berbagai wilayah, yaitu di Ngawi (1945–1946), Ronggolawe (1946–1950), dan Bojonegoro (1950–1953). Kemudian ia diangkat sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium V/Brawijaya (1953–1956) dan Penjabat Panglima Daerah Militer V/Brawijaya (1956).

Pada bulan September 1956, Basuki Rahmat diutus pergi ke Melbourne, Australia untuk bertugas sebagai atase militer di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia pada bulan November tahun 1959 , ia diangkat sebagai Asisten IV / Logistik di bawah Kepala Staf Angkatan Darat kala itu, Abdul Haris Nasution.

Pada tahun 1960,  Basuki kembali ke KODAM VII/Brawijaya sebagai Kepala Staf sebelum akhirnya menjadi Panglima pada tahun 1962.

Pada tahun 1965 , terjadi banyak ketegangan politik di Indonesia, khususnya di dalam tubuh Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Jelang bulan September tahun 1965, Basuki yang semakin mewaspadai kegiatan PKI di Jawa Timur  segera bertolak ke Jakarta untuk melaporkan hasil pengamatannya kepada Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani, pada tanggal 30 September 1965. Ia bertemu dengan Ahmad Yani tepat beberapa jam sebelum terjadinya peristiwa penculikan terhadap Ahmad Yani dan beberapa anggota dewan Jenderal lainnya.

Keesokan paginya pada tanggal 1 Oktober, Basuki diberitahu oleh Markas Besar Angkatan mengenai penculikan  para Jendral Angkatan Darat, termasuk Ahmad Yani. Mendengar hal tesebut, ia langsung mencoba mencari tahu situasi yang terjadi. Ia kemudian melihat  Batalyon 530, yang merupakan pasukannya dari Jawa Timur, tengah menjaga Istana Kepresidenan tanpa memakai identitas apapun.

Basuki kemudian mendapat panggilan ke markas Kostrad. Disana dia mengetahui bahwa Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto telah mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat guna mengendalikan situasi. Dari Soehartolah, Basuki mengetahui bahwa  Gerakan September 30 menggunakan pasukan dari Batalyon 530 yang dipimpinnya untuk menempati titik-titik strategis di Jakarta.

Kemudian  Soeharto memerintahkan Basuki  agar bernegosiasi dengan pasukan tersebut dan memberi mereka pilihan untuk menyerahkan diri sebelum pukul 06.00 atau akan ditindak dengan tegas. Dengan segera, basuki menemui pasukan tersebut dan menyampaikan ultimatum Soeharto. Upaya negosiasi berhasil, dan pasukan Batalyon 530 menyerahkan diri ke Kostrad pada pukul 16.00.

Siang harinya, kelompok Gerakan G-30S mengumumkan tentang adanya Dewan Revolusi yang hendak melakukan makar. Diantara nama-nama yang disebut sebagai dewan tersebut adalah Basuki Rahmat. Basuki dengan cepat menyangkal keterlibatannya dalam Dewan Revolusi.

Setelah 1 Oktober, semua pihak menuding  PKI sebagai dalang dibalik aksi G-30S. Sejak saat itu, di berbagai wilayah Tanah Air dan utamanya di Jawa, terjadi banyak aksi yang bertujuan untuk menumpas PKI.

Meski demikian, Basuki tidak serta merta memerintahkan pasukannya untuk memberantas PKI sebagaimana yang dilakukan oleh komandan-komando yang lain. Bahkan, hingga berminggu-minggu tidak ada kejadian apapun di Surabaya terkait penumpasan PKI tersebut.

Kurangnya komitmen untuk menumpas PKI ini dan disebutkannya nama Basuki sebagai salah satu anggota Dewan Revolusi, menimbulkan banyak orang menaruh curiga bahwa Basuki adalah simpatisan PKI. Akhirnya, dengan paksaan beberapa stafnya, Basuki mulai membekukan kegiatan-kegiatan pro-PKI di Surabaya dan Jawa Timur

Pada bulan November 1965, Basuki dipindahkan ke Jakarta dan diangkat sebagai anggota staf Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat. Basuki diberikan jabatan sebagai Deputi Bidang Keuangan dan Hubungan Sipil. Pada bulan Februari 1966, Soekarno melakukan Reshuffle Kabinet. Basuki rahmat ditunjuk sebagai Menteri Urusan Veteran.

Tanggal 11 Maret 1966, pada saat rapat kabiner pertama setelah resuffle, Soekarno tiba-tiba meninggalkan ruangan setelah menerima sebuah catatan dan komandan pengawalnya. Tak lama berselang, Basuki diberitahukan bahwa Soekarno telah bertolak ke Bogor dengan menggunakan helikopter karena situasi Jakarta yang tidak aman.

Atas persetujuan Soeharto, Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan Jusuf segera menyusul Soekarno ke Bogor untuk memberitahukan bahwa Soeharto telah siap memulihkan keamanan bila Soekarno memerintahkan.

Di Bogor, ketiga jendral tersebut bertemu dengan Soekarno dan mulai mendiskusikan pilihan-pilihan yang mungkin bisa dilakukan untuk mengendalikan situasi. Basuki dan Jusuf diam, namun Amir Machmud menyarankan agar Soekarno memberikan beberapa kewenangan dan bersama-sama memerintah Indonesia sehingga semuanya dapat diamankan. Atas saran tersebut, Soekarno mulai mempersiapkan Surat Keputusan Presiden.

Pada sore harinya,  Surat Keputusan yang kemudian dikenal sebagai Supersemar itu akhirnya siap dan hanya menunggu tanda tangan dari Soekarno. Awalnya Soekarno merasa ragu, tetapi ketiga Jendral dan orang-orang terdekat Soekarno dalam Kabinet yang juga telah tiba di Bogor meyakinkannya untuk menandatangani surat keputusan itu. Akhirnya Soekarno menandatangani surat itu.  Soekarno kemudian mempercayai  Basuki Rahmat untuk mengantarkan surat keputusan tersebut kepada Soeharto. Malam itu juga, ketiga Jendral segera kembali ke Kostrad di Jakarta untuk menyampaikan Supersemar kepada Soeharto.

Peristiwa supersemar sendiri masih menyimpan kontrovesi akan kebernaran yang terjadi kala itu. Sebuah versi lain menyebutkan bahwa pada saat itu ada empat Jendral yang pergi ke Bogor, yakni Basuki Rahmat, Amir Mahmud, Jusuf, dan Maraden Panggabean. Menurut versi ini, Basuki dan Panggabean menondongkan senjata ke arah Soekarno dan memaksanya untuk menandatangani dokumen Supersemar yang telah dipersiapkan sebelumnya dan dibawah Jusuf dalam sebuah map merah muda.

Setelah menerima Supersemar, Soeharto segera mengambil langkah dengan menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang. Mengetahui hal ini, pada tanggal 13 Maret 1966, Soekarno memanggil Basuki, Jusuf, dan juga Amir Machmud. Soekarno merasa marah karena Soeharto mengeluarkan larangan atas PKI dan ia juga menyatakan bahwa Supersemar yang ditulisnya tidak memuat hal tersebut.

Soekarno kemudian meminta untuk membawa Surat Keputusan itu ke hadapannya untuk kembali diperiksa, akan tetapi salinan surat itu tidak ditemukan kecuali yang ada di tangan mantan Duta Besar Kuba,  A.M Hanafi.

Terlepas dari kontroversi kisah Supersemar yang sesungguhnya, yang pasti penyerahan Supersemar secara defacto telah memberi kekuasaan eksekutif kepada Soeharto untuk membentuk kabinet yang sesuai dengan keinginannya. Dalam kabinet bentukan Soeharto, Basuki Rahmat dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Wafatnya Basuki Rahmat

Basuki Rahmat wafat pada  9 Januari 1969 saat ia masih memegang jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri dan posisinya kemudian digantikan oleh Amir Machmud.

fbWhatsappTwitterLinkedIn