Faisal bin Abdulaziz lahir pada 14 April 1906 di Riyadh. Ia merupakan putra ketiga dari seorang Emir Najd Arab Saudi, Abdulaziz bin Abdulrahman, dan istrinya Tarfa binti Abdullah Al Sheikh. Faisal menjadi Raja Arab Saudi dari 2 November 1964 hingga pembunuhannya pada 25 Maret 1975.
Setelah ayahnya meninggal pada 1953, tahta jatuh ke tangan saudara tirinya Saud, dan ia diangkat menjadi Putra mahkota, dan dalam posisi tersebut perbudakan di Arab Saudi ia hapus. Faisal dianggap sebagai salah satu Raja paling berpengaruh dalam sejarah modern dunia Arab.
Di bawah bimbingan kakeknya, Faisal telah menyelesaikan pembelajaran dalam membaca Al Qur’an dan hukum-hukum dalam Islam di usia 9 tahun. Sementara dari ayahnya ia belajar tentang ilmu politik dan menunggang kuda. Karena pengaruh politik dan militer yang diberikan oleh Abdulaziz sangat kuat, Faisal terpilih menjadi wakil ayahnya di forum Internasional di usia yang masih muda.
Tidak seperti kebanyakan saudara tirinya yang lain, Faisal fasih berbicara dalam bahasa Inggris dan Prancis. Namun demikian, dia lebih suka berbicara dalam bahasa Arab ketika berada dalam sebuah forum internasional. Ketika penerjemah membuat kesalahan dalam menerjemahkan pembicaraannya, Faisal akan memperbaikinya dengan menggunakan bahasa Inggris.
Dalam kesehariannya, orang-orang mengenal Faisal sebagai pribadi yang berintegritas, rendah hati, bijaksana, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dia juga tidak terlalu suka dengan kemewahan-kemewahan yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Akibatnya ia lebih memilih menghabiskan waktu sendiri berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan di pemerintahan.
Faisal menjadi bangsawan Arab Saudi pertama yang berkunjung ke London, Inggris menggantikan ayahnya, Raja Abdulaziz, guna memenuhi undangan dari pemerintah Inggris pada 1919. Selama periode yang sama, Faisal juga melakukan kunjungan ke Prancis, sekali lagi menjadi bangsawan Arab Saudi pertama yang melakukan kunjungan resmi ke sana.
Pada 1922, Raja Abdulaziz mengirim Faisal bersama hampir 6000 pejuang untuk merebut kedua provinsi Ha’il dan ‘Asir. Faisal mampu mengambil kendali penuh atas provinsi ‘Asir pada akhir 1922. Kemudian diangkat menjadi raja muda Hijaz pada 9 Februari 1926 setelah Raja Abdulaziz mengambil alih Provinsi Ha’il dan ‘Asir. Faisal juga merangkap sebagai presiden majelis konsultatif dan menteri dalam negeri.
Dalam pengumuman yang disampaikan Majlis al Wukala pada Desember 1931, Faisal diangkat menjadi presiden dewan empat anggota dan menteri luar negeri, dengan tetap menjabat di tiga gelar dan jabatan sebelumnya.
Pada 23 September 1932, secara resmi Faisal mengumumkan pendirian Kerajaan Arab Saudi atas nama Raja Abdulaziz yang menggantikan nama sebelumnya, yaitu Kerajaan Hijaz dan Najd. Selama perang Saudi-Yaman (1934) berlangsung, Faisal memerintahkan untuk mengadakan kampanye yang akhirnya menghasilkan kemenangan bagi Saudi.
Atas undangan Presiden AS Franklin D. Roosevelt, pada Oktober 1943, Faisal dan Khalid (saudara tirinya) berkunjung ke Amerika Serikat, dan menjadi kontak awal antara Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Setelah Raja Abdulaziz meninggal pada 9 November 1953, kepemimpinan diambil alih oleh Saud sekaligus jabatan sebagai perdana menteri (1954), sedangkan Faisal diangkat menjadi putra mahkota. Selama menjabat, Saud banyak mengalami tekanan, baik dari dalam maupun luar kerajaan, akibat kebijakan-kebijakan yang ia buat sendiri.
Khawatir jika Saud membawa negara ke ambang kehancuran, pada 1958, anggota senior keluarga kerajaan dan para ulama menekan Saud untuk mengangkat Faisal menjadi perdana menteri, yang memberikan kekuasaan eksekutif yang luas bagi Pangeran Faisal.
Perebutan kekuasaan terus terjadi antara Saud dan Faisal, hingga pada 18 Desember 1960, Faisal mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri sebagai bentuk protes dengan alasan bahwa Saud menggagalkan reformasi keuangannya.
Saud kembali mengambil kekuasaan eksekutifnya, dan pada Juli 1958, mengangkat Pangeran Talal, yang membelot ke Mesir, menjadi menteri keuangan. Faisal mengumpulkan cukup dukungan dari keluarga kerajaan untuk menempatkannya kembali sebagai perdana menteri untuk kedua kalinya pada 1962.
Perbudakan di Arab Saudi saat itu juga tidak akan hilang sampai pada 1962, Faisal mengeluarkan keputusan mengenai penghapusan total sistem perbudakan.
Sekitar 1682 budak telah dibebaskan dengan biaya masing-masing 2.000 dolar AS kepada pemerintah. Kebijakan ini tidak lepas dari peran John F. Kennedy yang membujuk Saud untuk menghapuskan perbudakan di Arab Saudi pada 1962.
Faisal membantu mendirikan badan amal dunia “Liga Dunia Muslim” pada 1962, dengan menyumbangkan lebih dari 1 miliar dolar AS. Pada 1963, Faisal mendirikan stasiun televisi pertama Arab Saudi, meski pun siaran perdana baru dimulai dua tahun setelahnya.
Selama periode ini, perjuangan Saud banyak dilakukan di belakang layar kerajaan. Ketidakhadiran Saud tersebut dimanfaatkan oleh Faisal untuk mengumpulkan dukungan lebih besar untuknya ketika keadaan politik dan ekonomi Arab Saudi memburuk akibat ulah Saud yang telah mempermalukan keluarga kerajaan dengan terlibat dalam rencana membunuh presiden Mesir, Gamal Abdel Nasir.
Faisal mengadakan pertemuan dengan semua anggota senior keluarga kerajaan, kecuali Saud, para ulama, dan tetua suku. Dalam pertemuan tersebut majelis mengusulkan agar Saud digulingkan dari tahta dan digantinkan oleh Faisal. Muhammad bin Ibrahim Al ash-Sheikh, Mufti Besar Arab Saudi sekaligus seupu dari pihak ibu Faisal, mengeluarkan dekrit yang meminta Saud untuk memenuhi tuntutan saudaranya.
Namun, Faisal berlaku sebaliknya, dengan mendesak agar Saud tetap mempertahankan gelarnya karena ia merasa terikat oleh sumpah kepada ayahnya bahwa untuk mengakui Saud sebagai Raja. Karena banyaknya tekanan dari keluarga kerajaan, Saud mengerahkan pengawal kerajaan di istana Nasriyah untuk mendorong Faisal menarik mundur pengawal nasional Arab Saudi yang mengepung istana yang ditempatinya.
Pada 4 Maret 1964, karena kurangnya jumlah dan persenjataan pada loyalisnya, Saud mengaku kalah dan mundur. Di akhir tahun tersebut diadakan pertemuan para tetua keluarga kerajaan dan ulama, yang diakhiri dengan dikeluarkannya dekrit kedua dari mufti agung yang meminta Saud untuk turun tahta dengan alasan kesehatan yang terus memburuk. Saud menyanggupinya dan memilih melarikan diri ke Mesir sebelum akhirnya menetap di Yunani.
Faisal, secara resmi diproklamirkan sebagai raja Arab Saudi pada 2 November 1964. Sesaat setelah penobatan, dalam pidatonya Faisal mengatakan bahwa, “Saya mohon kepada saudara-saudara untuk memandang saya sebagai saudara sekaligus pelayan. Keagungan hanya diperuntukkan bagi Tuhan, Allah SWT, dan tahta adalah singgasana milik-Nya, Langit dan Bumi”. Konstitusi yang Faisal terapkan di Arab Saudi adalah Al-Qur’an.
Faisal tetap melanjutkan aliansi dekat dengan Amerika Serikat, karena Saudi masih sangat bergantung pada Amerika Serikat perihal persenjataan dan pelatihan angkatan bersenjata mereka. Faisal juga raja yang anti komunis, jadi dia menolak ikatan politik dengan Uni Soviet dan negara-negara blok Komunis lainnya karena melihat ketidakcocokkan antara Islam dan Komunisme.
Di awal pemerintahannya, Faisal mengeluarkan dekrit tentang kewajiban bagi semua pangeran Saudi untuk menyekolahkan anak-anak mereka di dalam negeri. Hal ini sebagai upaya untuk menarik minat keluarga kelas atas agar menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah milik Kerajaan.
Faisal juga memperkenalkan sistem wilayah administratif negara saat ini dan menjadikannya dasar bagi sistem kesejahteraan di era modern. Kementerian Kehakiman juga didirikan (1970), dan meresmikan kebijakan “rencana lima tahun” pertama negara dalam upaya pembangunan ekonomi.
Salah satu upaya modernisasi lain yang dilakukan Faisal adalah mengeluarkan UU baru tentang media, penerbitan, pengarsipan dan protokol kerjasama budaya bilateral dengan arsip asing, dan pendirian perusahaan yang menyimpan catatan sekitar pertengahan abad ke-20 di Arab. Pada 1965, siaran televisi resmi Arab Saudi resmi dimulai.
Antara tahun 1950-an dan 1960-an, banyak terjadi kudeta di wilayah Arab. Salah satunya adalah penggulingan monarki pemerintahan Libya yang dipimpin oleh Muammar Gaddafi pada 1969, yang saat itu juga ikut mengancam teritorial dan kedaulatan Arab Saudi sebagai negara yang sama-sama kaya akan minyak.
Ratusan perwira militer, termasuk beberapa jenderal, ditangkap atas perintah Faisal pada musim panas 1969 buntut dari rencana kudeta untuk menggulingkan monarki dan mendirikan rezim Nasserist di Arab Saudi.
Dua tahun sebelum itu, pada September 1964, Nasser dan Faisal bertemu di KTT Arab yang diadakan di Alexandria, Mesir membicarakan tentang Perang Saudara Yaman Utara yang berkobar dari 1962 hingga 1970. Keduanya berkomitmen dalam deklarasi resmi untuk bekerja sama dalam menyelesaikan konflik tersebut, serta bekerja sama dalam mencegah bentrokan senjata yang lebih brutal di Yaman, dan mencapai kesepakatan damai.
Dari 23 hinga 25 Desember 1969, Faisal mengadakan sebuah konferensi di Rabat, Maroko yang membahas tentang serangan pembakaran Masjid Al Aqsa yang terjadi pada 21 Agustus 1969. Konferensi tersebut dihadiri oleh 25 pemimpin dari negara Muslim dan menyerukan peringatan kepada Israel untuk menyerahkan wilayah yang mereka caplok pada 1967. dalam konferensi tersebut juga menghasilkan keputusan berupa pendirian sebuah Organisasi Kerjasama Islam yang menjajikan dukungannya terhadap Palestina.
Pada 1970, setelah Nasser meninggal, karena Faisal yang sedari awal sudah anti-komunisme, ia menjadi lebih dekat dengan penerus Nasser, Anwar Sadat, di mana keduanya merencanakan pemutusan hubungan dengan Uni Soviet dan bergerak menuju kubu Amerika Serikat.
Namun, setelah Sadat melancarkan Perang Arab-Israel pada 1973, Faisal membuat keputusan untuk menarik minyak Saudi dari pasar dunia yang menjadi alasan utama di balik krisis minyak 1973, sebagai protes atas dukungan Barat ke Israel.
Awalnya embargo hanya diberlakukan di Kanada, Belanda, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat, dan Jepang, namun kemudian diperluas ke Rhodesia, Portugal, dan Afrika Selatan. Hal ini menyebabkan harga minyak meningkat sekitar 300% secara global di akhir embargo pada Maret 1974. Embargo tersebut tidak hanya berpengaruh pada krisis minyak, namun juga berimplikasi dalam jangka pendek dan jangka panjang bagi dunia politik dan ekonomi.
Kebijakan embargo minyak tersebut dianggap sebagai tindakan yang menentukan karier dan prestise abadi Faisal di antara bangsa Arab dan Muslim di seluruh dunia. Pada 1974, Faisal dinobatkan sebagai “Man of The Year” oleh majalah Times, dan keuntungan yang luar biasa besar bagi Arab Saudi, bahkan setelah kematiannya.
Selama Faisal menjadi Raja, peran dan otoritas ulama di Arab Saudi menurun. Faisal berusaha menekan pengaruh ulama-ulama yang dianggapnya radikal di lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Senior, dan jabatan Mufti Besar Arab Saudi.
Mereka (para ulama) menantang beberapa interpretasi teologis yang diterima dan diadopsi oleh rezim baru Saudi. Salah satu tokoh paling berpengaruh adalah Sheikh Abdulaziz Bin Baz, yang saat itu menjadi rektor perguruan tinggi teologi Al Medina (yang kemudian menjabat sebagai mufti agung negara).
Semasa hidupnya, Faisal memiliki 7 istri dan beberapa dari mereka dinikahinya secara bersamaan. Istri-istri Faisal berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh kuat di dalam maupun di luar Arab Saudi, seperti keluarga Al Kabir, Al Sudairi, al Jiluwi, dan Al Thunayan. Istri pertamanya bernama Sultana binti Ahmed Al Sudairi, di mana pernikahan keduanya merupakan bentuk perjodohan keluarga namun mereka bercerai setelah memiliki 1 putra dan 3 putri.
Istri kedua Faisal bernama Iffat binti Mohammad Al Thunayan, yang lahir dan dibesarkan di Turki. Keduanya bertemu ketika Faisal ke Istanbul untuk kunjungan resmi pada 1932. Dari pernikahan keduanya memiliki 9 anak, termasuk Pangeran Mohammed, Pangeran Saud, dan Pangeran Turki.
Al Jawhara binti Saud Al Kabir merupakan istri ketiga sekaligus sepupu Faisal. Mereka menikah pada Oktober 1935 dan memiliki seorang putri, Mashail. Istri keempat Faisal bernama Haya binti Muhammad bin Abdullah Al Muhanna Aba Al Khail, yang merupakan ibu dari Puti Noura, Pangeran Saad, dan Pangeran Khalid.
Dari istri kelimanya Hessa binti Muhammad bin Abdullah Al Muhanna Aba Al Khail, Faisal memiliki 2 putri, yaitu Putri Al Anoud dan Putri Al Jawhara. Dengan istri keenamnya Munira binta Suhaim bin Hitimi Al Thunayan Al Mahasher, Faisal memiliki seorang putri bernama Hessa. Istri terakhir Faisal bernama Fatima binti Abdulaziz bin Mushait Al Shahrani, keduanya memiliki seorang putri bernama Munira.
Di pemerintahan, putra sulung Faisal, Pangeran Abdullah pernah memegang di posisi pemerintahan Saudi untuk sementara waktu sebelum memutuskan berhenti. Pangeran Khalid menjabat sebagai gubernur Provinsi ‘Asir selama lebih dari 3 dekade sebelum menjadi gubernur Provinsi Mekah pada 2007. Antara 1975 dan 2015, Pangeran Saud adalah menteri luar negeri Saudi.
Pangeran Turki pernah menjabat di berbagai posisi, seperti Kepala Intelijen Saudi, duta besar Saudi untuk Inggris, dan duta besar untuk Amerika Serikat. Pangeran Abdul Rahman merupakan lulusan Akademi Militer Sandhurst, meninggal pada Maret 2014. Pangeran Mohammed yang meninggal pada 2017 merupakan seorang pengusaha.
Sementara anak-anak perempuan Faisal juga memiliki peran penting dalam masyarakat Saudi. Putrinya Sara, Lolowah, Latifa, dan Haifa merupakan aktivis terkemuka untuk pendidikan perempuan dan masalah sosial di Arab Saudi dari 2013 hingga 2016. Pada 1962, Putri Sara mendirikan organisasi amal pertama, Al Nahda, yang pada 2009 memenangkan hadiah Chaillot pertama untuk organisasi Hak Asasi Manusia di Teluk.
Pernikahan salah satu putri Faisal, Haifa dengan Bandar, yang merupakan anak dari saudara tiri Faisal bernama Sultan dengan salah satu selirnya, memaksa Pangeran Sultan mengakui Bandar sebagai Pangeran Saudi yang sah. Bahkan, salah satu cucu perempuan Faisal dari pernikahan antara putrinya Mishail dengan Pangeran Muhammad (putra Raja Saud) merupakan duta besar wanita pertama Arab Saudi.
Pada 25 Maret 1975, Raja Faisal ditembak mati oleh Faisal bin Musaid, salah satu putra saudara tirinya Musaid bin Abdulaziz. Pembunuhan itu terjadi di sebuah majelis sekembalinya ia dari Amerika Serikat. Sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, Pangeran Faisal sedang berbincang dengan perwakilan Kuwait di ruang tunggu yang sama-sama sedang menunggu kedatangan Raja Faisal.
Ketika Raja Faisal datang dan membungkuk untuk mencium keponakannya (sesuai kebiasaan Saudi), Pangeran Faisal menyambut dan memeluknya. Namun, saat itu juga Pangeran Faisal mengeluarkan pistol dan menembaknya.
Tembakan pertama mengenai dagu Raja Faisal, dan yang kedua mengenai telinganya. Seorang pengawal mencoba menghentikan Pangeran Faisal dengan memukulnya menggunakan pedang bersarung, sedangkan Zaki Yamani (Menteri Perminyakan) berulang kali berteriak kepada pengawal agar pangeran tidak ikut terbunuh.
Saat itu juga Raja Faisal segera dibawa ke rumah sakit. Raja masih hidup saat dokter memijat jantungnya dan memberinya transfusi darah. Namun, segala upaya mereka tidak berhasil, dan Raja dinyatakan meninggal tak lama kemudian. Tiga hari setelah tragedi pembunuhan tersebut, Riyadh berkabung dan menghentikan semua kegiatan di pemerintahan.
Raja Faisal dimakamkan di kompleks pemakaman Al Oud pada 26 Maret 1975 setelah dilakukan solat jenazah di Masjid ‘Id Riyadh. Raja Khalid yang baru saja naik tahta terlihat menangis sepanjang pemakamam saudaranya, Raja Faisal. Sementara pembunuhnya, Pangeran Faisal, langsung ditangkap setelah penyerangan yang dilakukannya.
Salah satu sumber menyatakan bahwa pembunuhan Raja Faisal adalah upaya balas dendam atas kematian Pangeran Khalid bin Musaid (saudara Pangeran Faisal bin Musaid). Kejadian bermula ketika Raja Faisal melembagakan reformasi sekuler pada pemasangan televisi, yang memicu protes keras dan serangan di sebuah stasiun televisi pada 1966. Dalam serangan tersebut, Pangeran Khalid bin Musaid bertindak sebagai pemimipin, namun dia ditembak oleh seorang polisi.
Menurut keterangan keluarga dan teman terdekat Raja, sebelumnya Raja Faisal telah mengetahui rencana pembunuhan Pangeran Faisal terhadap dirinya dari Wafta binti Muhammad Al Rashid (Ibu Pangeran Faisal), yang juga telah diberitahu oleh pangeran sebelumnya. Namun, Raja Faisal memberikan respons yang tidak terduga dengan berkata, “jika itu adalah kehendak Allah, maka itu akan terjadi”.
Meski pun demikian, masyarakat umum di Arab Saudi dan bangsa Arab lainnya lebih percaya bahwa pembunuhan Raja Faisal akibat embargo minyak yang dilakukannya pada 1973 silam, melalui konspirasi negara-negara Barat.