Biografi Idham Chalid: Pendidikan – Perjuangan Hingga Masa Wafatnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info
Idham Chalid

Kelahiran Idham Chalid

Dr. KH. Idham Chalid adalah seorang politik Indonesia yang berpengaruh pada masanya, beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda, serta pernah menjabat sebagai Ketua MPR ke-40 dan Ketua DPR ke-6. Tidak hanya itu beliau juga pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984.

Idham Chalid lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Idham Chalid merupakan anak sulung dari lima bersaudara, ayahnya H. Muhammad Chalid adalah seorang penghulu asal Amuntai yang sekitar 200 kilogram dari Kota Banjarmasin.

Ketika usianya enam tahun, keluarganya pindah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, yaitu kampung halaman leluhur ayahnya. Ayahnya merupakan seorang yang berdarah Melayu Banjar Asli, sedangkan ibunya campuran darah Banjar dan Melayu dan juga darah Bugis.

Keluarganya berasal dari kalangan bangsawan, namun Idham Chalid mempunyai cara dan penilaian mengenai keturunan dan nasab. Didikan keras ayahnya dan ajaran Islam mengajarkan kepada Idham Chalid bahwa kemuliaan seseorang tidak dilihat dari darahnya, melainkan dari amal perbuatan dan darma baktinya. Idham Chalid menikah dengan Hj. Masturah yang berasal dari Kalimantan Selatan dan dikaruniai 8 orang anak.

Masa Remaja dan Pendidikan Idham Chalid

Sejak kecil Idham dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR bahkan ia langsung duduk di kelas dua dan bakatnya dalam berpidato mulai terlihat dan terasah. Karena keahliannya dalam berorasi kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam menjalani karier di jagat politik.

Setelah lulus SR, Idham Chalid lalu melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada tahun 1922. Di Madrasah ini, Idham mendapatkan banyak kesempatan untuk lebih mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Lalu Idham Chalid melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Saat belajar di Gontor, Idham mendapatkan kesempatan untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

Setelah lulus dari Gontor pada tahun 1943, Idham Chalid kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Jakarta. Saat di ibukota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum kepadanya.

Bahkan pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah membuat Idham menjadi akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

Peran dan Perjuangan Idham Chalid

Sejak remaja, Idham Chalid sudah meluncur dan berkarier di PBNU. Idham Chalid menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang Kaliman Selatan ketika NU masih bergabung dengan Masyumi pada tahun 1950.

Ia juga menjadi anggota DPR RIS tahun 1949 sampai 1950. Dan dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU tahun 1952 sampai 1956. Kemudian pada tahun 1956, Idham Chalid dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan saat itu beliau masih berusia 34 tahun.

Jabatan tersebut didudukinya selama 28 tahun dan menjadikannya sebagai ketua umum PBNU paling lama. Perannya di bidang eksekutif cukup banyak, ia beberapa kali menjadi menteri pada masa orde lama maupun orde baru. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo ll dan kabinet Djuanda, Idham Chalid menjabat sebagai wakil Perdana Menteri.

Dan saat bung Karno jatuh pada 1966, ia menjadi menteri utama dalam bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera l dan Menteri Negara Kesejahteraan dalam Kabinet Anpera ll dan Kabinet Pembangunan l.

Lalu setelah itu, ia baru diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1972-1977, dan beliau pernah juga mengemban tugas sebagai DPA.

Tidak hanya itu, sebelum menjadi ketua MPR/DPR, Idham Chalid diangkat menjadi anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai wakil Kalimantan Selatan untuk menggantikan anggota yang awalnya dipilih Dewan Daerah Banjar.

Pada masa ini, Idham Chalid masih orang Masyumi, namun ketika NU keluar dari Masyumi di tahun 1952, Idham Chalid memilih ikut NU. Pada tahun 1954, setahun sebelum pemilu pertama, Idham Chalid diangkat menjadi Ketua Lajnah Pemilihan Umum atau Lapunu, yang bertugas mengawal dan memenangkan pemilu.

Sebenarnya para petinggi NU kurang yakin akan nasib partai mereka dalam pemilu tahun 1955. Namun kenyataannya NU berada di urutan ke tiga, sedikit lebih mujur dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di urutan ke empat, dan NU mendapatkan kenaikan kursi parlemen sekitar 462 persen suara dengan 45 kursi di DPR, dan 91 kursi di Konstituante. Dan NU mendapatkan kursi parlemen lebih besar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.

Kemenangan NU ini memengaruhi karier politik Idham Chalid. Saat kabinet Ali Sastroamidjojo dibentuk, tiga besar partai pemenang pemilu masing-masing dapat 5 kursi menteri.

Ali Sastroamidjojo menjadi perdana menteri, Mohamad Roem wakil Masyumi dan Idham Chalid dari NU menjadi wakil perdana menteri.

Namun kabinet Ali Sastroamidjojo hanya bertahan setahun, dan berganti menjadi kabinet Djuanda. Tetapi Idham Chalid tetap bertahan sebagai wakil perdan menteri sampai Dekret Presiden tahun 1959.

Beliau kemudian dipilih menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian Idham Chalid menjadi wakil ketua MPRS.

Pada Muktamar NU ke-21 di Medan, tepatnya bulan Desember 1956. Memilih Idham Chalid menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Karena Idham Chalid merupakan figur-figur puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU.

Pada pertengahan tahun 1966, Orde Lama jatuh dan digantikan dengan Orde Baru. Namun posisi Idham Chalid di pemerintahan tidak ikut jatuh. Justru dalam Kabinet Ampera l, Kabinet Ampera ll, dan Kabinet Pembangunan l yang dibentuk oleh Soeharto,  Idham Chalid dipercaya menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat sampai 28 Oktober 1971.

Dan kemudian, pada akhir tahun 1970 beliau juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial untuk melanjutkan tugas dari mendiang A.M Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970 sampai dengan 11 September 1971.

Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang kesuksesan. Namun setelah itu pemerintah meleburkan seluruh partai menjadi hanya tiga partai yaitu Golkar, PDI, dan PPP, sedangkan NU bergabung di dalam PPP.

Lalu Idham Chalid menjabat sebagai presiden PPP sampai tahun 1989. Beliau juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI periode 1971-1977. Jabatan terakhir Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Idham Chalid juga mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama yang sekarang menjadi Universitas Islam Nusantara pada 30 November 1950 bersama dengan K.H Subhan Z.E. (Alm.), K.H. Achsien (Alm.), K.H. Habib Utsman Al-Aydarus (Alm.), dan lain-lain dengan K.H.E.Z Muttaqien (Alm.).

Wafatnya Idham Chalid

Idham Chalid meninggal dunia saat berusia 88 tahun, di Jakarta pada tanggal 11 Juli tahun 2010. Beliau mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 7 November 2011.

fbWhatsappTwitterLinkedIn