Daftar isi
Deforestasi di Indonesia sudah mencapai angka yang memprihatinkan. Ditambah lagi dengan kebakaran hutan yang melanda di beberapa kawasan hutan di Indonesia, menyebabkan Pemerintah dibantu dengan lembaga terkait untuk segera mengatasi Deforestasi.
Penyebab utama deforestasi ini ternyata perladangan berpindah dan konversi untuk pertanian skala kecil di luar proyek-proyek pembangunan. Perladangan berpindah adalah adaptasi rasional atas lahan yang kurang subur.
Dalam sistem ini, vegetasi ditebang dan dibakar agar banyak sumber kesuburan terlepas ke tanah. Ketika kesuburan tanah menurun, lahan ditinggalkan sehingga semak belukar kembali tumbuh.
Karena para petani umumnya lebih menyukai menebang hutan sekunder ketimbang hutan primer, mereka kembali ke lahan yang sama setelah 10-20 tahun. Menyadari pentingnya peran hutan terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan termasuk perannya dalam mitigasi perubahan iklim, pemerintah telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain :
Penetapan kawasan lindung dan kawasan konservasi tidak secara langsung menghasilkan keuntungan berupa kayu, akan tetapi hal ini akan mengkonservasi karbon di hutan, mempertahankan biodiversity dan bermanfaat dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir.
Perbaikan praktek pengelolaan hutan diantaranya dilakukan melalui kegiatan teknik silvikultur dan pemanenan hutan yang lebih baik (reduce impact logging). Untuk mengurangi dampak merugikan akibat pemanenan hutan dan memudahkan pemantauan, pemerintah menetapkan peraturan sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan di Indonesia.
Pada periode tahun 1972-1980, sistem silvikultur yang diterapkan adalah sistem tebang pilih. Sejak tahun 1980, peraturan diubah dan sistem yang dipakai adalah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Saat ini juga sedang dikembangkan sistem silvikultur intensif yang didasarkan kepada tiga unsur utama yakni jenis yang sesuai dan kualitas bibit yang dipakai (pemuliaan jenis), manipulasi lingkungan dari areal yang akan ditanam dan pengendalian hama terpadu.
Lahan gambut mempunyai cadangan karbon yang tinggi. Gambut dengan kedalaman 1 meter mempunyai kandungan karbon sekitar 600 ton C/ha (Page et al., 2002 dalam Agus, 2007), sedangkan biomas hutan gambut hanya mengandung sekitar 200 ton C/ha.
Mengingat kandungan karbon yang sangat tinggi di hutan gambut, perlu penanganan lahan gambut yang lebih hati-hati. Diperlukan upaya konservasi lahan gambut, dan untuk itu pemerintah telah mengeluarkan aturan yaitu Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang larangan pengembangan di lahan gambut yang lebih tebal dari 3 m.
Upaya konservasi di lahan gambut dilakukan dengan menghindari deforestasi hutan gambut dan memperbaiki sistem pengelolaan lahan.
Berbagai kegiatan kehutanan yang telah dilaksanakan selama ini berupaya untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hutan melalui kegiatan penanaman. Kegiatan penanaman yang penting diantaranya adalah pembangunan HTI, reboisasi (penghutanan kembali kawasan hutan yang telah rusak), penghijauan (penanaman tanaman tahunan di lahan milik).
Secara nasional kegiatan yang menyangkut penanaman pohon telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan dengan kegiatan Gerakan Kemakmuran dilanjutan dengan Instruksi Presiden tentang Reboisasi dan Penghijauan selama Orde Baru dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) sejak tahun 2003.
Bahkan sejak 20 tahun yang lalu di Jawa Barat, para masyarakat mengadakan gerakan yang disebut ”Gerakan Gandrung Tatangkalan”. Sementara itu di kabupaten lain yang tersebar di seluruh Indonesia, juga ada gerakan yang disebut ”Penanaman satu juta pohon”, dan gerakan ”Penanaman 80 juta pohon” sebelum diselenggarakannya CoP 13 Desember 2007.
Salah satu upaya untuk menurunkan luas lahan deforestesi di Indonesia dengan dana besar adalah Gerakan National Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/GERHAN). Kegiatan Gerhan adalah kegiatan multisektoral yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten. Dari target program tahun 2003-2006 seluas 2,1 juta ha, realisasi penanaman hanya mencapai 1,4 juta ha atau sekitar 67 persen (Murniati, 2007).
Pembangunan HTI merupakan upaya untuk meningkatkan potensi hutan produksi agar dalam jangka panjang dapat mendukung penyediaan bahan baku industri hasil hutan secara terus-menerus dan lestari, disamping menyediakan lapangan kerja dan lapangan berusaha serta peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Tujuan pembangunan HTI adalah meningkatkan produktivitas kayu dari lahan hutan yang kurang produktif agar dapat memenuhi kebutuhan kayu di dalam negeri.
Program reboisasi bertujuan untuk menghutankan kembali lahan kritis dan padang alang-alang. Rata-rata tiap jenis tumbuhan yang ditanam adalah 7-25 t/ha/tahun.
Satu rotasi berumur 7-40 tahun, dengan biomas rata-rata 175-280 ton/ha/rotasi. Sebagian besar pohon yang ditanam untuk reboisasi pada lahan kritis tidak dieksploitasi tetapi diutamakan untuk kepentingan konservasi tanah.