Daftar isi
Pemerintah dan DPR telah menyetujui bersama rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada tanggal 1 Agustus 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, semua peraturan perundng-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip yang diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak berlaku oleh Udang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah :
- Undang- Undang tanggal 10 Februari 1910 tentang peraturan kewarganegaraan Belanda bukan Belanda.
- Undang_Undang Nomor 3 tahun 1946 tentang kewarganegaraan dan penduduk negara Junto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947, dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1948.
- Persetujuan Perihal pembagian warga negara antara republik Indonesia serikat dan kerajaan Belanda
- Keputusan presiden nomor 7 tahun 1971 tentang pernyataan digunakannya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Un.dang nomor 3 tahun 1946 tentang warganegara dan penduduk republik Indonesia untuk menetapkan kewarganegaraan RI bagi penduduk irian barat.
- Perturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
Pernyataan dicabutnya dan tidak berlakunya Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah demi adanya kepastian hukum agar para pelaksana dan pihak yang berkepentingan tidak lagi mengacu pada peraturan perundang-undangan lama. Dengan demikian tidak ada keragu-raguan dalam menerapkan hukum di bidang kewarganegaraan.
Mengapa Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI di ubah? Ada tiga alasan penting yang mendasarinya, yaitu :
- Secara filosofi
Undang-Undang nomor 62 tahun 1958 masing-masing mengandung ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila antara lain karena :
- Bersifat diskriminatif
- Kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara
- Kurang memberikan perlinduangan terhadap perempuan dan anak-anak
- Secara yuridis
Landasan konstitusional pembentukan Undang-Udang nomor 62 tahun 1958 adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.
- Secara biologis
Undang-Undang nomor 62 tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebaga bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warganegara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan demokratis daripada Undang-Unang nomor 62 tahun 1958. Karena, dalam pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai warganegaranya dengan memperhatikan pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Tetapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran samapi dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut.
Ia diwajibakn memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya. Dalam peraturan perundang-undang sebelumnya (Undang-Undang nomor 62 tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak diatur karena status anak hasil perkawinan campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya.
Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, yaitu asa ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran itu menghendaki kewarganegaraan Indonesia, ia diharuskan melakukannya melalui proses naturalisasi setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).
Solusi permasalahan dalam UU nomor 12 tahun 2006
UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan adalh undang-undang yang melahirkan suatu kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dimana problem-problem itu diselesaikan, jadi problem bukan dibiarkan sebagai problem.
Latar belakang mengapa undang-undang bertentangan dengan prinsip HAM karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan tidak memberikan perlindungan maksimal kepada warga negaranya. Untuk itu, undang-undang tersebut dibentuk untuk memberikan solusi terhadap problem kewarganegaraan, sehingga kepentingan masyarakat kita ada berbagai problem yang terkait dengan kewarganegaraan, antara lain :
1. Terkait dengan problem etnisitas
Sebagaimana terkandung dalam UUD negara RI tahun 1945 yang menyatakan
“Bahwa yang menjadi warganegara Indonesia adalah orang-orang yang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang diakui kewarganegaraannya karena undang-undang”.
Orang-orang bangsa Indonesia asli menyiratkan ada orang bangsa Indonesia asli dan ada orang bangsa Indonesia yang bukan asli. Dulu orang menerjemahkan pribumi dan non pribumi, sehingga bisa saja orang India dianggap tidak asli walaupun dia warganegara Indonesia, orang arab dianggap tidak asli walaupun warganegara Indonesia.
Orang Tionghoa dianggap tidak asli padahal dia warganegara Indonesia sejak lahir. Karena itu Undang-Undang ini berupaya mencari solusinya kewarganegaraan seseorang tidak dapat dipisah-pisahkan berdasarkan latar belakang primordial.
Untuk itu, solusinya adalah bahwa jika bicara tentang warganegara Indonesia pendekatannya, perspektifnya, dan cara pandangnya harus satu yaitu car pandang umu. Oleh karena itu, undang-undang ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang bangsa Indonesia asli” adalah mereka yang sejak kelahirannya sudah menjadi warganegara Indonesia dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri.
Dengan demikian problem etnisitas yang selama ini mengganggu, bahkan memecah masyarakat dengan terbitnya UU no 12 tahun 2006 persoalan tersebut dianggap telah selesai. Jadi, siapa pun dia, apakah dia keturunan Bugis, Jawa, India, Arab dan sebagainya apabila sejak lahir warganegara Indonesia sendiri, dia adala orang bangsa Indonesia.
2. Terkait dengan problem yang lahir (transcouple)
Problem lahir dari adanya transcouple (pasangan yang melintasi negara dan melintasi kebangsaan atau melintasi kewarganegaraan) banyak yang terjadi misalnya di Bali. Karena di Bali adalah daerah yang sangat terbuka, daerah di mana masyarakat global berada terjadi pergaulan antar anggota masyarakat.
Contoh nya seperti gadis-gadis Indonesia bertemu dengan pria asing lalu jatuh cinta, apakah hal itu perlu di larang? pertanyaannya sekarang adalah ketika transcouple ini kemudian memiliki keturunan, dua berkewarganegaraan apa ?
Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut asas atau prinsip ius sanguinis yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan atau darah. Akibatya kelelakian, sehingga anak-anak yang lahir dari transcouple tersebut tidak diakui eksistensinya.
Untuk itu undang-undang kewarganegaraan yang baru menawarkan penyelesaiannya. Penyelesaian problem tersebut dilakukan dengan cara yaitu setiap orang yang lahir dari ibu Indonesia, adalah asli menjadi warganegara Indonesia dan sekaligus memberikan status kepada anak yang bersangkutan.
Karena undang-undang di negara asal bapaknya mengakui dia sebagai warganegara maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Jadi prinsip dasarnya bahwa karena ibunya warganegara Indonesia maka anaknya adalah warganegara Indonesia sampai dengan umur 18 tahun.
Ketika anak tersebut mencapai umur 18 tahun diberi kesempatan untuk memilih. Dalam waktu 3 tahun yang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk menimbang-nimbang apakah akan terus menjadi warganegara Indonesia atau akan melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dan mengakui kewarganegaraan bapaknya.
3. Terkait dengan problem dalam masyarakat
Problem yang berkaitan dengan masalah yang secara faktual kita dapat dalam masyarakat. Yaitu adalanya sekelompok komunitas yang hidup dan lahir di Indonesia. Mereka itu, menjadi tidak jelas kewarganegaraannya karena sistem hukum yang berlaku selama ini tidak memungkinkan mereka diberi status kewarganegaraan Indonesia.
Dalam kaitan ini, ada satu segmen masyarakat kita yang selama ini tidak jelas kewarganegaraannya padahal mereka secara turun temurun lahir dan hidup di negara Indonesia. Untuk itu, undang-undang ini menyelesaikannya, mereka yang lahir di Indonesia dan tidak jelas kewarganegaraan kedua orangtuanya itu diakui sebagai warganegara Indonesia.
Jadi, dengan berlakunya UU nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, ke depan tidak ada anak yang lahir dari kedua orangtua yang sudah lama tinggal di Indonesia, mereka lahir dan hidup secara turun-temurun di Indonesia tetapi tidak jelas kewarganegaraannya, sehingga mereka selalu mengalami kesulitan.
4. Terkait dengan problem politik
Problem yang dialami warganegara kita yang ada di luar negeri karena masalah politik, misalnya pada tahun 60-an banyak warganegara kita yang bersekolah di luar negeri tetapi karena situasi politik sebagian darinya kesulitan pulang.
Oleh karenanya mereka menjadi warganegara di negara tempat mereka tinggal, menjadi warganegara Belanda, warganegara Perancis dan bahkan ada yang tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali. Terhada problem seperti itu harus ada pemecahannya, yaitu dengan memberi kemudahan jika mereka ingin kembali menjadi warganegara Indonesia.
Perolehan kembali kewarganegaraan tersebut tentu harus melalui proses memperoleh kewarganegaraan tetapi tidak melalui proses naturalisasi sebagaimana orang asing yang ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
5. Terkait dengan problem pemberian perlindungan
Pemberian perlindungan kepada warganegara baik di dalam maupun luar negeri. Banyak warganegara Indonesia yang secara yuridis sering tidak memperoleh perlindungan sewajarnya ketika mereka berada di luar negeri bahkan juga di dalam negeri sekalipun mereka sering tidak memperoleh perlindungan hukum secar maksimal.
Untuk itu, undang-undang ini mengatur asas perlindungan hukum secara maksimal jika warganegara Indonesia ditangkap di suatu negara misalnya dia menjadi teroris tetap dia juga harus dilindungi secara hukum, misalnya diberi pembelaan dan sebagainya, walaupu kita sama sekali tidak setuju perbuatannya sebagai teroris, ikut jaringan terorisme, atau ikut penyelundupan narkoba.
Orang-orang tersebut jika mereka adalah warganegara Indonesia, maka kita wajib memberikan perlindungan maksimum melalui jalur hukum. Dengan berlakunya UU no 12 tahun 2006, setiap WNI terutama yang berada di luar negeri harus mendapat perlindungan maksimal.
Termasuk perempuan Indonesia yang kawin dengan orang asing. Ketika mereka bercerai kemudian mereka pulang ke Indonesia dan jika mereka bertemu dengan anaknya di suatu daerah atau kota di luar negeri, atau ketika ke sekolah anaknya karena ke rumahnya tidak boleh, dia dianggap menculik anaknya sendiri.
Menghadapi kasus yang demikian ini kedutaan atau perwakilan RI harus melindungi ibu-ibu tersebut, mereka tidak boleh dibiarkan menghadapi perkaranya sendiri. Kemudian problem lain adalah ketidakjelasan tentang orang-orang Indonesia yang justru terputus atau melahirkan di negara-negara yang menganut asa ius soli seperi di Amerika.
Orang Indonesia yang lahir di Amerika otomatis diakui sebagai warganegara Amerika, bagaimana undang-undang melindungi mereka ? Apakah dia akan diakui dengan memberikan status berkewarganegaraan ganda ? bagi mereka itu dalam UU No.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan secara tegas diakui juga kewarganegaraan Indonesia di samping kewarganegaraan Amerika dimana mereka dilahirkan.
Karena itu dengan mendalami problem-problem tersebut makan terbitlah UU kewarganegaraan, yaitu UU nomor 12 tahun 2006, karena undang-undang sebelumnya, yaitu UU no.62 tahun 1958 tidak bisa menjawab bahkan menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Secara empiris, ada suatu suku bangsa yang selama ini diberlakukan secara diskriminatif, ada anak-anak bangsa yang lahir dari ibu-ibu Indonesia juga diperlakukan secara diskriminatif, mereka yag tinggal disini harus memakai paspor bahkan kalau melanggar harus di deportasi, disuruh pergi dulu.
Ada bintang film punya anak setiap tahun harus pura-pura ke Singapore supaya bisa memperoleh visa dan sebagainya itu sesuatu yang tidak riil itu yang dicoba untuk diselesaikan melalui undang-undang ini. Dengan demikian undang-undang ini adalah solusi strategis terhadap kondisi warganegara kita agar tidak ada problem-problem yang berakibat memecah belah bangsa.
Asas dalam Undang-Undang No.12 tahun 2006
Sehubungan dengan beberapa problem tersebut diatas, dalam UU no.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat beberapa perubahan asas yang dianut oleh undang-undang sebelumnya. Dalam UU no.62 tahun 1958 penerapan asas ius sanguinis, lebih diperketat bahkan cenderung rigit, sekarang degan UU no.12 tahun 2006 kita menganut asas sanguinis dan sekaligus asas ius solli secara terbatas.
Begitu juga asas kewarganegaraan ganda dengan undang-undang lama sama sekali menolak dwi kewarganegaraan dengan undang-undang ini Indonesia mengakui kewarganegaraan ganda, secara terbatas untuk anak yang lahir dari ibu WNI.
Selama asas-asas tersebut ada asas yang berkaitan degan kepentingan nasional, yaitu kewarganegaraan Indonesia dapat ini mengisyaratkan bahwa undang-undang ini bertujuan menyatukan bersatu. Dengan bersatu kita sama-sama mencintai negeri ini, sama-sama memiliki hak dan kewajiban sehingga punya pengertian-pengertian yang sama untuk masalah bangsa dan negara.
Asas dalam hukum dan pemerintahan untuk semua warganegara tanpa sekat-sekat etnik, untuk hak-hak hukum, hak-hak pemerintahan tidak semua orang dengan latar belakang apapun mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum da pemerintahan. Di samping itu, ada lagi asas kebenaran subtantif yaitu surat-surat harus lengkap tidak boleh asli tapi palsu.
Ada asas non diskriminatif, yaitu tidak boleh ada perbedaan dengan latar belakang etnik, agama, golongan, dan jenis kelamin. Kemudian asas keterbukaan, setiap hal tentang warganegara itu harus secara terbuka kita sosialisasikan.
Ketika mengurus kewarganegaraan jika permohonannya ditolak, maka penolakan tersebut harus jelas alasannya, jika diterima sebagai warganegara baru itu harus dimuat dalam lembaran negara republik Indonesia.
Asas-asas yang dipakai dalam Undang-Undang no.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI meliputi :
- Ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran.
- Ius solli secara terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diperuntukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
- Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang no.12 tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenai adanya kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan pada anak-anak merupakan suatu pengecualian.