PPKN

Omnibus Law: Pengertian – Sejarah dan Dampaknya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Beberapa saat yang lalu, ada kejadian yang menghebohkan dan sempat membuat rancu situasi. Karena disahkannya Omnibus Lawa menimbulkan banyak demonstrasi untuk menolak RUU tersebut.

Lalu, apa pengertian dari Omnibus Law itu sendiri? Sehingga sampai menimbulkan aksi demo dimana mana dan menyebar di seluruh Indonesia? Berikut ini penjelasannya.

Pengertian Omnibus Law

Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah undang-undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah.

Karena memiliki panjang 1.187 halaman[1] dan mencakup banyak sektor, UU ini juga disebut sebagai undang-undang sapu jagat atau omnibus law.

Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik karena dikhawatirkan akan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan. Rangkaian unjuk rasa untuk menolak undang-undang ini masih berlangsung dan menuntut agar undang-undang ini dicabut.

Sejarah Omnibus Law

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, menyampaikan rencananya mengenai perumusan omnibus law bersama DPR. Ia menyebutkan ada dua undang-undang yang akan tercakup di dalamnya, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.

Pada Februari 2020, pemerintah Indonesia mengajukan undang-undang sapu jagat ke DPR dengan target musyawarah yang selesai dalam tempo 100 hari.

Versi draf RUU dikritik oleh elemen media Indonesia, kelompok hak asasi manusia, serikat pekerja, dan organisasi lingkungan hidup karena mendukung oligarki dan membatasi hak-hak sipil rakyat.

Di lain pihak, Kamar Dagang dan Industri Indonesia mendukung RUU ini. Setelah revisi yang dilakukan terhadap beberapa pasal, RUU Cipta Kerja disahkan DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, tiga hari lebih cepat dari tanggal pengesahan yang dijadwalkan.

Pengesahan RUU juga dilakukan sebelum hari unjuk rasa selanjutnya yang telah direncanakan oleh serikat pekerja. Beberapa jam sebelum disahkan, 35 perusahaan investasi mengirim surat yang memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi berbahaya dari RUU tersebut bagi lingkungan.

Pengesahan RUU Cipta Kerja didukung oleh tujuh partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan sementara dua partai yang menolak adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.

Dampak Omnibus Law

Berikut ini kami merangkum beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.

Di antaranya adalah :

  • Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
    UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
  • Hari libur dipangkas (Pasal 79)
    Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
  • Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
    UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
  • Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
    Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
  • Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
    UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.