Sejarah

Pendudukan Indonesia di Timor Timur (1975-1999): Latar Belakang dan Akhir Kekuasaan

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pendudukan dan invasi yang dilancarkan Indonesia ke Timor Timur dari 1975 hingga 1999, dengan dalih anti-kolonialisme dan anti-komunisme guna menggulingkan rezim FRETILIN yang muncul pada 1974. Itu semua tentu saja tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan politik dalam maupun luar Indonesia.

Dimulai ketika terjadi kudeta di Lisbon, Portugal, yang menyebabkan ketidakstabilan negara-negara jajahannya, termasuk Timor Timur, hingga referendum tahun 1999 yang mengantarkan Timor Timur pada kemerdekaan.

Latar Belakang

Sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia tidak mengklaim kendali atas Timor Timur meski berada dalam satu kawasan dengan Indonesia. Pernyataan ini termaktub dalam dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1962 dan berlanjut hingga 1965 ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan Indonesia.

Kudeta Lisbon pada 1974 menyebabkan perubahan signifikan pada hubungan Portugal dengan koloninya, yang memicu timbulnya perang saudara berskala kecil di Timor Timur.

Ketidakstabilan ini dilihat sebagai peluang aneksasi Timor Timur oleh kaum nasionalis dan militer Indonesia, khususnya para pemimpin badan intelijen KOPKAMTIB dan unit operasi khusus (OPSUS).

Jenderal Ali Moertopo, Kepala OPSUS, dan Brigjen Benny Murdani adalah pihak yang mempelopori dan memimpin operasi militer pendudukan Indonesia di Timor Timur. Rencana ini awalnya ditentang oleh Soeharto, mengingat di dalam negeri sedang terjadi skandal keuangan seputar produsen minyak Pertamina (1974-1975).

Selain itu, ada kekhawatiran jika Timor Timur merdeka akan terbentuk sentimen separatis di berbagai provinsi di Indonesia. Indonesia kemudian banyak menggalang dukungan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.

Rezim Orde Baru yang saat itu berkuasa di Indonesia, berencana melakukan invasi ke Timor Timur tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan pihak Timor Timur.

Pada awal September 1975, setidaknya ada 200 pasukan khusus Indonesia yang melancarkan serangan ke Timor Timur, disusul serangan militer konvensional pada Oktober. Lima reporter asal Australia, dikenal dengan “Five Balibo”, ikut dieksekusi oleh pasukan Indonesia di perbatasan kota Balobo pada 16 Oktober 1975.

Terdapat tiga alasan utama mengapa Indonesia melakukan invasi ke Timor Timur, menurut John Taylor, antara lain:

  • Menghindari “contoh negatif” dari sebuah provinsi merdeka
  • Sebagai akses ke wilayah dengan konsentrasi minyak dan gas alam yang tinggi, terutama di bawah Laut Timor Timur (namun pernyataan ini keliru karena tidak pernah terbukti)
  • Menjadi mitra militer utama Amerika Serikat di Asia Tenggara, terutama setelah jatuhnya Vietnam Selatan.

Hegemoni dan Invasi Indonesia ke Timor Timur

Operasi Seroja (1975-1977)

Dengan supply persenjataan dari Amerika Serikat dan desakan Australia, Indonesia mulai melancarkan invasi ke Timor Timur pada 7 Desember 1975, yang dikenal dengan Operasi Seroja, operasi militer terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebanyak 641 pasukan penerjun Indonesia tiba di Dili dan bertempur selama 6 jam melawan pasukan FALINTIL, dan berhasil merebut kota tersebut pada siang hari.

Pada 10 Desember 1975, dilakukan invasi kedua dan berhasil merebut kota Baucau, disusul tepat di hari natal, sekitar 10 ribu hingga 15 ribu tentara Indonesia mendarat di Liquisa dan Maubara. Hingga April 1976, Indonesia telah menempatkan setidaknya 35 ribu pasukannya di Timor Timur. Kalah secara jumlah, banyak dari pasukan FALINTIL yang melarikan diri ke pegunungan dan melanjutkan operasi gerilya.

Pada awal pendudukan Indonesia, radio FRETILIN banyak mengirimkan siaran tentang kekejaman tentara Indonesia terhadap masyarakat sipil Timor Timur. Banyak sumber menyebut, setidaknya lima ratus orang tewas di hari pertama invasi. Peristiwa ini menarik publisitas internasional dan menurunkan reputasi Indonesia di mata dunia.

Pembentukan Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT)

Pada 17 Desember 1975, Indonesia membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) dengan menunjuk Arnaldo dos Reis Araujo dari APODETI sebagai presiden dan Lopez da Cruz sebagai wakilnya. Kegiatan pertama PSTT adalah membentuk Majelis Perwakilan Rakyat lewat pemilu penduduk Timor Timur. Lembaga ini dibentuk sebagai alat propaganda militer Indonesia.

Sejak saat itu, Indonesia menutup Timor Timur dari dunia luar, kecuali antara tahun 1980-an hingga 1990-an. Pemerintah dan media Indonesia mengklaim bahwa mayoritas rakyat Timor Timur mendukung upaya integrasi Indonesia terhadap mereka. Beberapa tahun berselang diketahui bahwa Timor Timur menjadi tempat pelatihan korps militer Indonesia.

Kebuntuan Pasukan Indonesia

Pada bulan-bulan awal invasi, kendali Indonesia hanya terbatas pada kota-kota besar seperti Dili, Baucau, Aileu, dan Same. Sementara penduduk Timor Timur banyak yang meninggalkan kota-kota tersebut menuju daerah pedalaman dan pegunungan guna membatasi kendali pasukan Indonesia di Timor Leste.

Sepanjang tahun 1976, pasukan militer Indonesia mengubah strategi mereka dengan berusaha masuk ke daerah pedalaman dan pesisir bergabung dengan pasukan penerjun yang ada di sana.

Namun, strategi ini gagal dan mendapat perlawanan keras dari pasukan FALINTIL, yang terdiri dari 2.500 tentara bersenjata dan terlatih bekas pasukan kolonial Portugis.

Soeharto menilai bahwa pasukan FRETILIN masih didukung oleh banyak pihak luar, termasuk Portugis. Pada April 1977, militer Indonesia menghadapi kebuntuan, di mana selama 6 bulan pasukan Indonesia tidak melakukan serangan darat.

Sebagai tindakan preventif dalam kekalahan invasi, militer Indonesia melarang semua pihak asing dan penduduk Timur Barat memasuki Timor Timur.

Pengepungan & Pemusnahan FRETILIN

Pada Januari 1977, Indonesia memesan kapal patroli penembak rudal dari AS, Belanda, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan, serta kapal selam dari Jerman Barat.

Sebulan kemudian, sedikitnya 13 pesawat tempur tipe Bronco dari AS beroperasi di Timor Timur, dibantu 10 ribu pasukan tambahan guna menentukan posisi pasukan FRETILIN.

Operasi ini melibatkan dua taktik utama, yakni pengepungan dan pemusnahan yang melibatkan pengeboman desa dan daerah pedalaman di pegunungan  dari pesawat. Penduduk yang berhasil turun dan lolos dari pengeboman akan ditembak begitu saja oleh pasukan Indonesia.

Sementara korban selamat akan ditempatkan di kamp penampungan dan dilarang melakukan kegiatan apa pun. Pada awal 1978, hampir seluruh dari masyarakat sipil desa Arsaibai, daerah perbatasan Indonesia, tewas dibombardir dan dibiarkan kelaparan karena mendukung FRETILIN.

Meski menelan biaya dan korban lebih banyak dari operasi-operasi sebelumnya, operasi pengepungan dan pemusnahan berhasil mematahkan pondasi utama FRETILIN, yakni tewasnya Nicolau Lobatu, Presiden dan komandan militer Timor Timur yang dikenal cakap.

Operasi Keamanan (1981–1982)

Pada 1981, militer Indonesia melancarkan “Operasi Keamanan” atau disebut “Pagar Betis”, di mana sebanyak 50 ribu hingga 80 ribu pria dan anak laki-laki Timor Timur berbaris di sepanjang pegunungan di depan pasukan TNI bertindak sebagai perisai manusia guna mencegah serangan balik FRETILIN.

Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengumpulkan pasukan gerilya Timor Timur ke tengah pegunungan, sehingga mereka mudah untuk diberantas. Ketika “pagar betis” berkumpul di desa-desa, pasukan Indonesia akan membantai sejumlah warga sipil, seperti pada September 1981, sekitar 400 penduduk desa Lacluta dibantai oleh pasukan angkatan darat Indonesia Batalion 744.

Operasi Sapu Bersih (1983)

Kegagalan berturut-turut dari operasi kontra pemberontakan Indonesia membuat elit militer Indonesia menginstruksikan Kolonel Purwanto untuk memulai pembicaraan damai dengan Xanana Gusmao, Komandan FRETILIN, pada Maret 1983.

Indonesia yang dipimpin Panglima ABRI Benny Meordani berkhianat dengan melakukan gencatan senjata “Operasi Sapu Bersih” pada Agustus 1983, ketika Xanana meminta Portugal berunding dengan PBB.

Disusul dengan pembantaian, ekseskusi berdurasi singkat, dan “penghilangan” oleh pasukan Indonesia. Setidaknya ada 200 orang di desa Creras yang dibakar hidup-hidup dan 500 lainnya tewas di sungai terdekat pada Agustus 1983. Antara Agustus dan Desember 1983, tercatat lebih dari 600 orang telah “dihilangkan”, dan diketahui mereka dikirim ke Bali.

Gerakan Klandestin Fretilin (1980-1999)

Setelah kematian Nino Konis Santana, milisi FRETILIN, dalam penyergapan Indonesia pada 1980, digantikan oleh Taur Matan Ruak. Ia dan 200 pejuang gerilya lainnya yang berada di pegunungan, berada di jalur yang sejajar dengan politik Indonesia.

Meski ada beberapa yang diam-diam dalam gerakan klandestin. Sebagian besar operasi atau gerakan klandestin berhasil dilumpuhkan oleh agen-agen Indonesia melalui taktik penyusupan.

Prospek kemerdekaan bagi Timor Timur masih belum jelas hingga jatuhnya Soeharto pada 1998. Hingga dibuatnya keputusan mendadak oleh Presiden Habibie terkait referendum di Timor Timur pada 1999.

Hegemoni dalam Ranah Demografi dan Ekonomi

Selama Indonesia berkuasa, bahasa Portugis dilarang dan Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pemerintahan, pendidikan, perdagangan umum di Timor Timur. Pancasila menjadi ideologi resmi dan diterapkan di semua aspek kehidupan penduduk Timor Timur.

Konversi massal ke agama Kristen banyak dilakukan terhadap penduduk Timor Timur, karena sistem kepercayaan awal mereka yang tidak sesuai dengan monoteisme konstitusional Indonesia. Selain itu, pendeta Portugis diganti dengan pendeta Indonesia.

Saat itu, Timor Timur menjadi fokus program transmigrasi pemerintah Indonesia. Sensor rezim Orde Baru terhadap media membuat konflik di Timor Timur tidak diketahui para transmigran, sehingga setibanya di sana, mereka mendapati diri mereka berada di bawah ancaman gencatan senjata secara terus menerus.

Pada 1993, tercatat ada sekitar 662 keluarga transmigran (2.208 orang) yang menetap di Timor Timur, dan ada sekitar 150 ribu pemukim bebas Indonesia yang tinggal di Timor Timur pada pertengahan tahun 1990-an. Meski banyak yang menyerah dan kembali ke daerah asal mereka, para transmigran yang berada di turut andil dalam upaya integrasi Indonesianisasi di Timor Timur.

Pada awal Januari 1989, perbatasan antara Timor Barat dan Timur dibuka yang mengakibatkan banyaknya petani Timor Barat dan investasi swasta yang masuk ke Timor Timur.

Kehidupan ekonomi di kota-kota kemudian banyak yang berada di bawah kendali pengusaha pendatang dari Makassar, Bugis, dan Buton. Semua produk dari Timor Timur diekspor melalui kemitraan antara pejabat militer dan pengusaha Indonesia.

Sebagian besar perusahaan di Timor Timur kala itu, banyak yang dikendalikan oleh militer Indonesia, seperti ekspor kayu cendana hotel, dan impor produk konsumen. Dari semua bisnis yang ada tersebut, ekspor kopi adalah bisnis paling menguntungkan.

Namun, semua keuntungan yang didapat digunakan untuk mendanai kepentingan militer Indonesia. Hal ini menyebabkan separuh penduduk dari 61 kabupaten yang ada di Timor Timur hidup dalam kemiskinan pada 1993, meski pada 1976 sudah dilakukan perbaikan.

Akhir Kekuasaan Indonesia di Timor Timur

  • Transisi Pemerintah Indonesia

Krisis Keuangan Asia tahun 1997 menjadi salah satu sebab turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan Indonesia, di mana sekaligus ia menjadi pihak yang menentang keras upaya Kemerdekaan Timor Timur atau bahkan otonomi terbatas daerah. Periode reformasi selanjutnya yang relatif lebih terbuka serta adanya transisi politik, termasuk hubungan Indonesia dengan Timor Timur.

Pada beberapa bulan terakhir tahun 1998, dilakukan forum diskusi antara Indonesia, Portugal, dan di Dili menuju pengesahan referendum. Setelah tiga minggu menjabat, pada 8 Juni 1998, Presiden B. J. Habibie mengumumkan bahwa Indonesia akan segera menawarkan rencana otonomi khusus pada Timor Timur.

Pada 5 Mei 1999, Indonesia dan Portugal mengumumkan akan mengadakan pemungutan suara bagi penduduk Timor Timur untuk memilih antara rencana otonomi atau kemerdekaan. Pemungutan suara tersebut direncanakan akan diselenggarakan pada 8 Agustus 1999, namun ditunda hingga 30 Agustus 1999.

  • Referendum Kemerdekaan Timor Timur 1999

Pada Mei 1999, terjadi serangan paramiliter di Liquica yang menyebabkan puluhan penduduk Timor Timur tewas. Pada 16 Mei 1999, komplotan bersenjata yang dikawal pasukan Indonesia menyerang aktivis kemerdekaan Timor Timur di desa Atara.

Disusul serangan lain di kantor UNAMET di Maliana pada Juni 1999. Bahkan beberapa hari mendekati pemungutan suara, laporan tentang kekerasan anti-kemerdekaan terus bertambah.

Pada 30 Agustus 1999, pemungutan suara secara umum berlangsung tenang dan damai. Sebanyak 98,6% pemilih terdaftar memberikan suara mereka. Pada 4 September 1999, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengumumkan bahwa sebanyak 78,5% suara memilih untuk diberikan kemerdekaan.

Hasil tersebut disetujui oleh Presiden Habibie, dan menuai banyak kecaman khususnya dari rakyat Indonesia sendiri. Mereka mengira bahwa Presiden Habibie terlalu banyak menerima tekanan dari pihak luar, terutama PBB dan Australia.

  • Penarikan Pasukan Indonesia dari Timor Timur

Krisis ekonomi yang parah di Indonesia menjadi salah satu alasan Presiden Habibie menarik pasukan Indonesia dari Timor Timur pada 12 September 1999, dan mengizinkan pasukan “penjaga perdamaian internasional” di bawah pimpinan Australia memasuki Timor Timur.

Pada 20 Mei 200, Timor Timur secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan mereka dan Xanana Gusmao dipilih sebagai presiden pertama Timor Timur. Empat bulan berselang, 27 September, Timor Timur bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai negara anggota ke-191.

  • Konsekuensi Pendudukan & Invasi Indonesia

Jumlah kematian terkait konflik di Timor Timur menurut CAVR sepanjang periode 1975 hingga 1999 mencapai 102 ribu, termasuk 18.600 pembunuhan dengan jalan kekerasan dan 84,2000 kematian akibat penyakit dan kelaparan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70% pembunuhan merupakan tanggung jawab pasukan Indonesia dan gabungan pembantu mereka.

Pada 2005, dibentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Timur yang bertujuan mengungkap kebenaran terkait konflik pendudukan Indonesia di Timor Timur, serta memperbaiki hubungan antar keduanya. Namun, upaya tersebut mendapat kritik dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, dan ditolak oleh PBB karena menawarkan impunitas.