Daftar isi
Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang ada di Jawa Timur dan memiliki corak Hindu-Budha. Kerajaan Kahuripan memiliki ibu kota di Kahuripan, yakni dekat dengan lembah Gunung Penanggungan, Sidoarjo. Kerajaan ini didirikan oleh Prabu Airlangga pada tahun 1009 masehi atau sekitar abad ke-11.
Selain menjadi pendiri, Raja Airlangga juga menjadi satu-satunya raja yang memimpin kerajaan Kahuripan. Semula, wilayah kekuasaan kerajaan Kahuripan terdiri dari Sidoarjo, Pasuruan, serta sebagian daerah Mojokerto.
Di bawah kepemimpinan Raja Airlangga, Kerajaan Kahuripan berada di puncak kekuasaan. Kerajaan ini mampu melalukan pembangunan seperti bendungan, pelabuhan serta jalan. Selain itu juga, Raja Airlangga menerapkan kebijakan pengurangan pajak bagi rakyat yang terkena musibah.
Pada tahun 1025, Kerajaan Sriwijaya berada di masa kelemahan. Hal ini berakibat, pesatnya perluasan wilayah yang dimiliki kerajaan Airlangga. Raja Airlangga melakukan perluasaan dan menanamkan pengaruhnya di beberapa wilayah. Untuk menanamkan pengaruhnya, Raja Airlangga melakukan peperangan. Sayangnya, pada tahun 1032, kerajaan Kahuripan kehilangan salah satu wilayahnya yakni Kota Wutan Mas.
Wutan Mas diserang oleh seorang raja wanita yang bernama Dyah Tulodong dari Kerajaan Lodoyong. Namun, pada tahun 1032 Masehi, Dyah Tulodong dapat dikalahkan sehingga Raja Wurawari dapat ditaklukkan oleh Raja Airlangga. Setelah ini, luas wilayah Kerajaan Kahuripan hampir meliputi seluruh wilayah Jawa Timur.
Raja Airlangga sangat menyukai sebuah karya sastra. Pada saat itu, ia meminta seorang pujangga kerajaan yakni Mpu Kanwa untuk menyusun sebuah kitab yang diadaptasi dari kisah Mahabarata yang kemudian dikenal dengan nama Arjuna Wiwaha. Kitab tersebut nantinya menjadi salah satu peninggalan kerajaan. Raja Airlangga memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Kahuripan menjadi di Daha sebuah wilayah yang ada di Kediri.
Pada tahun 1042, masa pemerintahan Raja Airlangga dan menandai berakhirnya pemerintahan Kerajaan Kahuripan. Hal ini dikarenakan terjadinya sebuah perebutan kekuasaan sehingga membuat Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua bagian yakni bagian barat dan bagian timur.
Bagian barat kerajaan diberikan kepada Sri Samarawijaya yang nantinya dikenal menjadi Kerajaan Kediri, yang berpusat di Daha. Kemudian bagian timur diberikan kepada Mapanji Garasakan yang dikenal dengan Kerajaan Jenggala dan memiliki pusat di Kahuripan. Pada tahun 1049, Raja Airlangga meninggal dunia dan turun tahta.
Kerajaan Kahuripan meninggalkan banyak peninggalan sejarah terkhusus candi. Berikut ini peninggalan kerajaan Kahuripan.
Candi belahan terletak di desa terpencil di Pasuruan. Candi ini secara administrasi termasuk ke dalam Desa Wonosuryo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Candi ini dikenal dengan nama Pentirtaan Belahan atau Sumber Tetek.
Candi Belahan berada di kawasan pegunungan sehingga akses menuju sana tidaklah mudah. Untuk bisa menuju ke candi peninggalan kerajaan ini, harus melewati jalan yang berliku, terjal serta jalan desa yang rusak.
Candi Belahan merupakan sebuah bangunan petirtaan dan tempat bertapa Prabu Airlangga serta kedua permaisurinya yakni Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Candi Belahan diperkirakan memiliki usia sekitar 10 bad atau 1 milenium.
Candi ini memiliki bentuk kolam dengan terdiri dari empat persegi. Hal inilah yang membuat candi ini dinamakan pentirtaan karena terdiri dari kolam. Air yang berada di dalam bangunan ini berasal dari sebuah sungai kecil yang ada di sisi selatan bangunan.
Pada bagian sebelah barat dan selatan dinding, terdapat lereng tebing yang dibentuk relung dan diberikan Jaladwara sebuah tempat air yang memancar keluar. Sedangkan pada dinding bagian sisi barat terdapat dua relung besar yang mengapit satu relung kecil.
Pada mulanya, Candi Belahan terdapat sebuah arca yang diyakini merupakan arca Prabu Airlangga dengan wujud Dewa Wisnu yang berkaki empat yakni pada bagian tangan kiri bagian belakang memegang sangka, sementara tangan kanan belakang memegang Cakra berupa roda bergerigi yang mampu mengakhiri kehidupan.
Sementara itu, kedua tangan lainnya membentuk sifat mudra, tulis bersemedi. Sayangnya, arca tersebut sudah lama runtuh dan hanya tersisa relungnya saja. Selain terdapat arca Prabu Airlangga, tepat di bawah arca tersebut ada dua arca yang menggambarkan Dewi Laksmi dan Dewi Sri.
Kedua arca tersebut berada pada dua relung besar. Kedua arca tersebut memiliki keunikan yakni terdapat sumber mata air yang keluar dari payudara. Hal inilah yang membuat candi ini dinamakan candi Tetek karena terdapat dua sumber mata air yang keluar dari payudara.
Mata air yang keluar dari payudara tersebut merupakan simbol Amarta, air yang diyakini mampu memberikan kekuatan, menyebabkan awet muda dan menyembuhkan bagi siapa saja yang meminumnya. Air dari petirtaan Candi Belahan tetap mengalir sekalipun Jawa Timur tengah dilanda musim kemarau yang panjang. Air tersebut tetap mengalir dan jatuh ke dalam kolam dengan ukuran 4 x 10 meter di bawahnya.
Candi Semar Jalatunda merupakan bangunan petirtaan kuno yang berada di kawasan kolam suci. Petirtaan ini berada di kaki barat Bukit Bekel, sebuah gunung pendamping yang berada di area Gunung Penanggungan.
Candi Jalatunda berada di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto atau sekitar 50 km ke arah selatan dari Surabaya. Candi ini bertuliskan angka 899 saka atau 977 Masehi dan dianggap sebagai petirtaan tertua yang ada di Jawa Timur.
Menurut kepercayaan orang Hindu, bangunan pada candi ini berbentuk kolam-kolam indah dengan air yang jernih dan mengalir deras dari lubang saluran air petirtaan. Bangunan ini memiliki panjang 16.8 meter, lebar 13.5 meter dengan kedalaman sekitar 5.2 meter.
Salah satu keunikan dari pancuran mata air yang ada di Candi Semar Jalatunda ini adalah tidak pernah kering dari mulai candi ini didirikan yakni pada tahun 997 Masehi sampai sekarang selalu saja kolam tersebut terdapat airnya. Pada Candi Jalatunda terdapat relief dan lempengan logam yang bertuliskan nama Dewi Isna dan Agni. Oleh sebab inilah, candi ini bercorak Hindu.
Menurut Bosch, relief cerita yang ada di candi jalatunda memiliki 16 panel. Panel 1-13 diambil dari kitab Mahabarata sementara panel 14-16 berceritakan dari kitab Khatasarisagara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stuterhim, dulunya pada candi ini terdapat sebuah pancuran yang bentuknya mirip dengan bentuk Gunung Penanggungan yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih rendah. Delapan buah puncak tersebut memiliki simbol sebagai replika Mahameru.
Sementara itu, menurut sumber lain diceritakan bahwa pendirian candi ini ada hubungannya dengan Raja Airlangga serta ayahnya Raja Udayana. Berdasarkan tulisan jawa kuno yang terdapat pada dinding selatan teras pertama, terdapat kata Udayana namun kata tersebut tidak berdiri sendiri melainkan terdapat kata Margayawati. Kedua kata tersebut terdapat pada sebuah kitab Khatasarisagara yang menceritakan tentang persaingan Raja Udayana dengan ibunya Margayawati di gunung Udayaparwa.
Prasasti Kamalgyan terletak di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Prasasti ini terbuat dari lempeng batu andesit besar yang ditegakkan. Prasasti ini memiliki lebar 115 cm, tebal 28 cm dan tinggi 215 cm. Selain terdapat prasasti utama dengan ukuran besar terdapat pula batu kecil yang ada di sampingnya. Prasasti ini ditulis dengan menggunakan huruf Jawa kuno dan bahasa Jawa Kuno.
Tulisan yang ditemukan dan dapat dibaca pada prasasti sebanyak 23 baris. Prasasti ini termasuk ke dalam prasasti yang masih ada di tempatnya yakni in situ. Di mana saat ini prasasti ini dilindungi dengan sebuah bangunan joglo berlantai dan beratap.
Prasasti Kamalgyan menceritakan mengenai pembangunan sebuah bendungan di Wringin Sapta yang dilakukan oleh Raja Airlangga dengan rakyatnya. Bendungan tersebut dibangun dengan tujuan untuk mengatasi banjir yang kerap terjadi pada beberapa desa maupun tanah perdikan.
Beberapa desa yang biasa sering terkena banjir adalah wilayah hilir yakni Desa Lusun, Talan, Dasapangkah, Desa Pangkaja, Panjuwan, Sijanatyesan, dan Panjiganting.
Prasasti ini merupakan bangunan bersejarah peninggalan Raja Airlangga. Prasasti ini dibangun pada tahun 1042 Masehi atau 963 saka. Nama prasasti ini diambil dari isi prasasti yang menceritakan perintah untuk membangun sebuah pertapaan di Pucangan daerah sekitar Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Tidak seperti prasasti lainnya, Prasasti Pucangan ditulis menggunakan dua bahasa yakni bahasa sansekerta dan Jawa Kuno. Prasasti ini dibuat dengan tujuan untuk menceritakan sebuah peristiwa serta silsilah keluarga kerajaan secara runut.
Nama prasasti ini dikenal juga dengan nama Calcutta Stone karena tempat prasasti saat ini disimpan di Museum India, di Calcutta India. Sayangnya, saat ini kondisi prasasti kurang terawat sehingga para sejarawan Inggris meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan pendekatan kepada pemerintah India agar dapat memulangkan situs bersejarah dari kerajaan Kahuripan ini.
Prasasti Pamwatan dibangun oleh Raja Airlangga pada tahun 1043 Masehi. Prasasti Pamwatan ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Melalui prasasti ini, dapat diketahui bahwa ibu kota Kahuripan saat itu adalah Daha, Kediri.
Prasasti ini dikenal temukan di sebuah Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sayangnya, situs bersejarah ini hilang pada tahun 2003 karena dicuri sehingga di tempat berdirinya prasasti hanya ada duplikasinya.
Prasasti Cane merupakan piagam hadiah dari Raja Airlangga kepada kota madya cane yang dibuat di atas lapik berupa padma. Prasasti ini ditulis menggunakan huruf Jawa dan memiliki angka tahun 943 saka atau 1021 Masehi.
Cane diduga menjadi prasasti pertama masa pemerintahan raja Airlangga jika dilihat dari bagian sambandhanya atau bagian alasan prasasti yang dikeluarkan raja. Prasasti ini termasuk ke dalam fase konsolidasi.
Fase konsolidasi adalah fase di mana pemberian status pada Desa Cane karena simpati Raja Airlangga pada penduduk yang telah berjuang menjadi benteng pertahanan. Pada prasasti ini diceritakan mengenai permintaan penduduk cane agar mereka diberikan pegangan prasasti yang berisi perintah raja dan tanda kerajaan.
Desa Cane diberikan status Sima karena raja Airlangga simpati dengan penduduk Desa Cabe yang berjuang di garis terdepan dan menjadikannya sebagai benteng pertahanan.
Prasasti ini dikeluarkan pada tahun 1032 oleh Raja Airlangga. Prasasti Terep menceritakan mengenai penganugerahan kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong atas jasanya ketika raja menyingkir dari Watan Mas ke Pakatan.
Dyah Tumambong berdoa dan melakukan puja kepada Bhatari Durga agar Raja Airlangga mendapatkan kemenangan dalam peperangan. Saat itu, ia berjanji jika doanya dikabulkan dia akan mengajukan sebuah permintaan kepada raja yakni menjadikan Desa Terep sebuah tempat pertapaan dan pujanya dijadikan Sima.
Doa tersebut kemudian dikabulkan dengan kemenangan raja Airlangga di dalam Pertempuran. Maka atas kemenangan tersebut, Raja Airlangga mewujudkan keinginan Dyah Tumambong. Selain itu, Dyah Tumambong diberikan gelar Rakai Halu. Sehingga namanya berganti menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong.
Di bawah pemerintahan Raja Airlangga, seni sastra berkembang pesat. Hal ini dikarenakan Raja menyukai seni sastra. Lalu, ia meminta Mpu Kanwa seorang Pujangga Kerajaan untuk membuat kitab Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari kisah Mahabarata.
Kitab ini menceritakan tokoh Arjuna yang merupakan kekasih para dewa di kahyangan. Arjuna berhasil menyelamatkan kahyangan dengan para penghuninya dari ancaman marabahaya. Cerita ini tidak hanya terdapat pada kitab Arjuna Wiwaha saja melainkan juga terdapat pada relief yang dipahatkan di dinding Candi Tegowangi, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Prasasti Baru ditemukan pada tahun1913 di Simpang Surabaya dengan bentuk batu andesit. Sayangnya, menurut Bandes tidak diketahui di mana desa sebelumnya prasasti ini berasal dan bagaimana prasasti ini bisa sampai ke Surabaya.
Prasasti Baru ditulis dengan menggunakan huruf Jawa Kuno dan memiliki angka tahun 956 saka. Prasasti ini diketahui dibangun sekitar tahun 1030. Prasasti Baru merupakan sebuah piagam hadiah yang diberikan oleh Raja Airlangga kepada kepala kota madya Baru atas perlindungan dan kesetiaan yang diberikannya pada saat peperangan melawan Pangeran Mahasin.
Raja Airlangga tergolong orang yang kerap memberikan apresiasi kepada siapapun atas dedikasinya pada kerajaan. Hal ini terbukti dari beberapa priagam penghargaan yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga kepada daerah yang telah membantu dan melindunginya saat masa peperangan.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kunci keberhasilan pemerintahan Airlangga karena didukung oleh banyak lapisan masyarakat.