Kerajaan Kendan adalah kerajaan kecil yang berdiri pada tahun 546 Masehi. Kerajaan ini berakhir pada tahun 612 Masehi. Nama kerajaan ini berasal dari nama sebuah bukit yang tidak jauh dari stasiun Nagreg yakni sekitar 500 meter sebelah tenggara Cicalengka.
Di kaki bukit, terdapat sebuah kampung bernama Kendan. Saat ini, lokasi tersebut merupakan desa Citakan, Kecamatan Cicalengka. Dulu, kerajaan Kendan merupakan kerajaan yang berada di bawah kerajaan Tarumanegara. Kemudian kerajaan ini memerdekakan diri dari kerajaan tertua di Nusantara tersebut.
Kerajaan Kendan dipimpin oleh seorang raja bernama Resiguru Manikmaya yang berasal dari India Selatan. Resiguru Manikmaya membawa dan menyebarkan agama Hindu di Jawa dan mengabdi di Kerajaan Tarumanegara.
Ia kemudian menikah dengan seorang anak raja Tarumanegara yang bernama Tirta Kancana. Kemudian, ia diberikan sebuah daerah kekuasaan yang selanjutnya menjadi wilayah Kerajaan Kendan.
Kerajaan Kendan masih ada kaitannya dengan kerajaan Galuh. Sebab, kerajaan ini menjadi cikal bakal dari kerajaan Galuh. Sama seperti kerajaan pada umumnya, kerajaan kecil ini meninggalkan jejak peninggalan sejarah.
Sayangnya, tak banyak literatur yang membahas mengenai jejak peninggalan dari kerajaan. Berikut ini peninggalan dari kerajaan yang memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara.
Candi Cangkuang berada di Dukuh Pulo, Kelurahan Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Candi ini merupakan candi peninggalan agama Hindu. Candi Cangkuang berada di sebuah bukit yang terdapat danau atau yang biasa disebut dengan situ. Situ tersebut dinamakan dengan Situ Cangkuang.
Di samping Candi Cangkuang terdapat makam kuno leluhur yang diperkirakan makam pemuka agama Islam. Keberadaan makam ini menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat menghargai keragaman umat beragama.
Nama Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi tersebut ditemukan. Cangkuang sendiri merupakan nama pohon sejenis pandan yakni pohon Cangkuang atau mendong yang banyak tumbuh di daerah tersebut dan biasa dimanfaatkan untuk membuat tikar.
Candi Cangkuang diperkirakan telah dibangun sekitar abad ke-8 Masehi bersamaan dengan sejarah pada Candi Sewu yang ada di Klaten dan Candi Jiwa di Jawa Barat. Candi Cangkuang merupakan candi peninggalan Hindu Siwa dan tidak terdapat relief pada candinya.
Candi ini dipercaya sebagai penghubung sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan terdapat kemiripan arsitektur dengan beberapa candi Hindu lainnya seperti Candi Dieng di Wonosobo, dan Candi Gedong Songo di Bendungan Semarang.
Setelah penemuan candi Cangkuang, pada tahun 1967 hingga 1968 mulai dilakukan penelitian besar di sekitar candi. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan satu makam kuno yang diyakini sebagai makam leluhur dari penduduk makam Arief Muhammad.
Makam ini ditemukan sekitar tahun 1967-1968. Di samping makam tersebut terdapat sebuah pondasi ukuran 4,5 meter persegi dan beberapa batu yang berserakan di sekitarnya. Batu yang berada di sekitar makam, biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai batu nisan orang meninggal.
Pada tahun 1974-1976 dilakukan kembali penggalian serta rekontruksi secara menyeluruh karena pada penemuan pertama candi masih tertimbun tanah. Penggalian besar-besaran dilakukan guna mengumpulkan reruntuhan yang selanjutnya akan dilakukan penelitian.
Dari hasil penelitian tersebut, maka dilakukan penataan serta rekonstruksi kembali candi menjadi candi yang utuh dan sempurna. Saat proses rekonstruksi, bebatuan asli hanya tersisa 40% sehingga dibuatlah rekontruksi yang menyerupai bangunan candi mulai dari kaki, atap, dinding hingga patung dewa Siwa. Pemugaran candi selesai dilakukan pada tanggal 8 Desember 1976 dan kemudian candi pun diresmikan.
Candi Cangkuang yang saat ini kita lihat merupakan hasil dari pemugaran. Candi tersebut berdiri di sebuah fondasi dengan ukuran 4,5 meter persegi dengan tinggi 30 sentimeter. Adapun kaki candi memiliki tinggi sekitar 1,37 meter dan luas 4,5 meter.
Di mana kaki candi berperan sebagai penyokong pelipit kumuda, peliput Padma dan pelipit parsagi. Pada bagian timur candi terdapat sebuah ruang penampil yang lebih menjorok jika dibandingkan dengan tubuh candi lainnya. Pada ruang tersebut terdapat sebuah tangga dengan lebar 1,26 meter dan panjang 1,5 meter.
Sementara itu, bagian tubuh candi memiliki tinggi 2,49 meter. Bagian tubuh candi ini berbentuk persegi dengan panjang pada masing-masing sisinya adalah 4,22 meter. Pada bagian Utara candi, terdapat sebuah pintu berukuran 1,56 X 0,6 meter.
Bagian puncak candi berbentuk segi empat dengan dua tingkat. Pada tingkat pertama memiliki panjang sisi sekitar 3,8 meter dan tinggi 1,56 meter dan bagian atasnya terdapat sebuah persegi panjang dengan memiliki panjang sisinya 2,74 meter dan tinggi 1,1 meter.
Pada bagian dalam tubuh candi terdapat sebuah ruangan dengan memiliki ukuran sekitar 2,24 meter x 2,18 meter dan tinggi 2,55 meter. Pada bagian bawahnya terdapat sebuah cekungan dengan kedalaman sekitar 7 meter dan berukuran 0,4 meter.
Carita Parahyangan adalah nama dari naskah Sunda kuno yang dibuat pada akhir bad ke-16. Naskah kuno ini menceritakan mengenai sejarah tanah Sunda terkhusus mengenai ibu kota dari Kerajaan Sunda yakni Keraton Galuh dan Keraton Pakuan.
Carita Parahyangan terdiri dari 47 lembar yang terbuat dari daun lontar. Naskah kuno ini memiliki ukuran 21 x 3 cm yang pada setiap lembarnya diisi dengan 4 baris tulisan. Adapun aksara yang digunakan pada Carita Parahyangan adalah aksara Sunda Kuno.
Carita Parahyangan pertama kali dilakukan penelitian oleh K.F Holle. Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan oleh C.M Pleyte. Selanjutnya, naskah tersebut dialih bahasakan oleh Poerbatjaraka guna sebagai tambahan laporan mengenai batu tulis yang ada di Bogor.
Upaya penelitian terhadap naskah kuno terus dilanjutkan. Pada tahun 1957, penelitian kembali dilanjutkan oleh H. Ten Dam dan J Noorduyn pada tahun 1962-1965. Tidak hanya sampai di situ, sebagai salah satu warisan sejarah di tanah Sunda, naskah ini menarik perhatian para sarjana Sunda.
Sehingga naskah ini selanjutnya diteliti oleh para sarjana Sunda seperti Ma’mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaedi, Edi S, Ekajati dan Undang A. Darsa. Salah satu isi dari Carita Parahyangan adalah mengenai Kerajaan Galih. Kerajaan Galuh sendiri merupakan bekas dari Kerajaan Kendan.
Saat itu, pada tahun 670 Masehi, Kerajaan Induk Kendan yakni Kerajaan Tarumanegara diperintah oleh Tarusbawa. Ia kemudian menyetujui pemisahan kerajaan bawahannya yakni Kerajaan Kendan menjadi 2 bagian yakni kerajaan Sunda bekas kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan.
Kerajaan Sunda diperintah oleh seorang Raja bernama Sri Maharaja Tarusbaaa yang berkuasa pada tahun 723 Masehi. Berdasarkan Carita Parahyangan, wilayah Kerajaan Sunda saat itu memiliki ibu kota di daerah Bogor. Sementara itu, berdasarkan prasasti Jaya Bupati yang berada di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan ibu kota kerajaan berada di Bogor.
Sedangkan Kerajaan Galuh sisa Kerajaan Kendan memiliki seorang raja yang bernama Wretikandayun. Kerajaan ini menguasai wilayah bagian timur dan beribu kota di Kawali, Ciamis. Hal inilah yang kemudian membuat Raja berani memisahkan diri dari Kerajaan Tarumanegara.
Berdasarkan Carita Parahyangan, Putra Mahkota yakni Mandiminyak mempersunting Parwati Putri Maharani Shima yang merupakan putri dari kerajaan Kalingga. Dari pernikahan tersebut melahirkan seorang putra yang bernama Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya.
Sanjaya sendiri merupakan raja pertama dari kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 730 Masehi. Namanya dikenal melalui sebuah prasasti bernama Prasasti Canggal dan Naskah Carita Parahyangan.
Siapa yang tidak tahu dengan cadas pangeran? Sebuah jalan yang kerap memakan korban jiwa. Di balik beberapa keanehan dan hal mistis yang sering terjadi, ternyata jalan ini menyimpan cerita yang menyedihkan.
Saat masa penjajahan Belanda, salah satu proyek yang dikerjakan adalah pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan. Pembangunan jalan ini telah menelan banyak korban karena sistem kerja yang sadis. Salah satu jalan yang menjadi proyek tersebut adalah wilayah cadas pangeran.
Hal inilah yang kemudian memantik protes dari sejumlah orang salah satunya Bupati Sumedang. Jalan Cadas Pangeran menjadi simbol simbol protes dari Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX atas pembangunan jalan.
Pangeran Kornel nama sapaan dari Pangeran Kusumadinata IX, tak ingin warganya diperlakukan seenaknya oleh Daendels selaku Gubernur pada saat itu.
Bahkan, saat penandatanganan peresmian jalan, Pangeran Korne menggunakan tangan kiri untuk menandatanganinya. Kisah ini kemudian menjadi simbol di patung yang dipasang di Tugu Cadas Pangeran.
Cadas diartikan sebagai area yang berbukit, seperti area Cadas itu sendiri. Meskipun begitu, ada pula yang menafsirkan cadas sebagai sifat yang keras dari Pangeran Kornel yang menolak warganya kerja rodi. Memang secara historis pembangunan jalan ini merupakan sisa dari penjajahan Belanda.
Namun, batu yang terdapat pada jalan cadas pangeran merupakan sisa peninggalan kerajaan Kendan. Sayangnya, tak banyak sumber yang menjelaskan hal ini secara detail. Kenapa, bagaimana, sejarah batu tersebut dahulunya.
Selain ketiga peninggalan sejarah di atas, terdapat pula bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Kendan yakni berupa Kampung Pasir Dayeuh Kolot atau Kampung Kendan. Kampung ini biasa dikenal dengan sebutan Kampung Kelang.
Kampung tersebut berada di bukit yang jaraknya cukup jauh dari Cicalengka yakni sekitar 15 km ke sebelah tenggara. Selain itu, terdapat pula Arca manik, Arca Durga, Pusaka Naga Sastra, Naskah berbahasa Sansekerta yang kemudian disimpan di Museum Nasional Pusat Jakarta.
Tidak hanya itu, terdapat pula makam keramat para leluhur seperti makam keramat Sanghyang Anjungan, makam keramat Embah Singa, makam keramat eyang Cakra, dan makam keramat Kiara Jenggot. Sama seperti kerajaan lainnya, kerajaan kendan pun memiliki tempat yang biasa digunakan untuk pertemuan yakni Komplek Keraton Baleeh Gedeh dan Baleeh Bubut.
Baleeh Gedeh sendiri merupakan tempat pertemuan sedangkan Baleeh Bubut adalah kediaman raja. Sayangnya, tempat tersebut sudah tidak ada. Hal ini dikarenakan tempat tersebut berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu sehingga mudah lapuk dimakan usia.