IPS

Perekonomian di Masa Demokrasi Liberal

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pada masa demokrasi liberal, tepat setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda. Indonesia banyak menanggung beban perekonomian dan keuangan, yang akhirnya berdampak pada semakin banyaknya utang Indonesia, baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang semakin meningkat.

Kondisi perekonomian saat itu pun terus mengalami kemerosotan nilai, karena pemerintah mengalami defisit sebesar 5,1 Miliar. Memasuki tahun 1951, perekonomian di Indonesia juga mengalami goncangan karena menurunnya volume perdagangan internasional.

Dengan berbagai permasalahan ekonomi yang kompleks, pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem perekonomian liberal berupa pelaksanaan industrialisasi.

Sasaran yang ditekankan dalam pelaksanaan industrialisasi ini antara lain, pembangunan pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung, serta percetakan.

Pemerintah Indonesia juga mengupayakan untuk melepaskan keterkaitan ekonominya dengan pemerintah Belanda melalui berbagai cara berikut.

Langkah Pemerintah untuk Bebas dari Ekonomi Belanda

Perundingan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap Indonesia mampu untuk mengirimkan delegasinya untuk menuju Belanda dalam rangka merundingkan masalah ini.

Pada pelaksanaannya, Indonesia dan Belanda tidak memiliki titik temu kata sepakat.  Berikut rancangan persetujuan Finek yang diajukan oleh Indonesia kepada pihak Belanda:

  • Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB
  • Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
  • Hubungan finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain.

Usul yang diajukan oleh pemerintah Indonesia pun mengalami penolakan oleh Belanda. Yang mengakibatkan pemerintah Indonesia secara sepihak membubarkan Uni Indonesia–Belanda tepat pada 13 februari 1956 dengan tujuan untuk melepaskan keterkaitan ekonominya dengan Belanda.

Biro Perancang Nasional

Biro Perancang Nasional ini berhasil dibentuk pada kabinet Ali Sastrimidjojo II. Pembentukan Biro Perancang ini bertujuan untuk merancang pembangunan jangka pendek. Biro yang dibentuk pada kabinet Ali Sastromidjojo tersebut dipimpin oleh Djuanda.

Namun, badan ini memiliki masa kerja jabatan yang relatif singkat, sehingga berpengaruhi terhadap pelaksanaan tugas yang tidak maksimal.

Selain itu, ketidastabilan politik yang terjadi saat itu menjadi salah satu faktor penyebab kemrosotan ekonomi, meningkatnya inflasi, serta melambatnya pelaksanaan pembangunan daerah.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Rencana Pembangunan Lima tahun merupakan sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh badan Biro Perancang Nasional. Kebijakan ini rencananya akan dilaksanakan pada 1956-1961.

Namun dalam pelaksanaannya kebijakan ini mengalami banyak sekali permasalahan baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk dijalankan.

Beberapa penyebab kegagalan RPLT antara lain sebagai berikut.

  • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Sehingga pada 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pendanaan untuk rencana ini diperkirakan mencapai Rp 12,5 milyar.

Kebijakan untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi

Kehidupan ekonomi di Indonesia menghadapi masa sulit hingga tahun 1959. Dengan kondisi tersebut pemerintah berupaya untuk memperbaiki kondisi perekonomian pada masa demokrasi liberal, dengan beberapa kebijakan berikut:

Gerakan Benteng

Kebijakan gerakan benteng ini dicetuskan oleh Soemiro Djojohadikusumo pada April 1950.

Inti dari kebijakan ini adalah memberikan bantuan dana kepada kalangan pengusaha pribumi agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam membangun perekonomian nasional pada era demokrasi liberal.

Bantuan tersebut selain berupa dana, juga berupa bimbingan konkret dan bantuan kredit yang ditawarkan pemerintah.

Selain, memberikan bantuan modal secara materiil, pemerintah juga berusaha untuk membangun kewirausahaan pribumi dalam bersaing dalam sistem perekonomian agar mampu membentengi perekonomian di Indonesia pasca proklamasi.

Gunting Syariffudin

Dalam menghadapi kondisi perekonomian yang sulit, Syarifudin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan Gunting Syarifudin.

Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pemotongan nilai uang (sanering) yang bernilai hampir Rp 2,5 ke atas hingga nilai setengahnya.

Melalui kebijakan Gunting Syarifudin ini Syarifudin berniat untuk mencoba mengatasi tingginya inflasi, mengurangi besarnya beban utang luar negeri Indonesia, serta mengatasi defisit anggaran yang mencapai Rp 5,1 miliar yang terbilang sangat besar pada masa itu.

Istilah “gunting” dari kebijakan tersebut memang mengacu pada tindakan menggunting fisik uang kertas NICA untuk pecahan yang bernominal sebesar 5 gulden ke atas.

Pengguntingan terhadap nilai batas tersebut dinilai tidak akan membebani rakyat kecil sebab saat itu masyarakat yang memiliki uang dengan pecahan lebih dari 5 gulden adalah mereka yang berada pada level ekonomi menengah ke atas.

Nasionalisasi Perusahaan Asing

Nasionalisasi merupakan tindakan pencabutan hak milik belanda apapun bentuknya yang telah berada di indonesia. Hal tersebut nantinya akan diambil alih oleh atau ditetapkan status kepemilikannya menjadi milik pemerintah Indonesia.

Pengalihan hak milik ini dipicu karena Belanda telah dinilai mengingkari janjinya dengan tidak menyerahkan kembali Irian Barat sesuai dengan kesepakatan KMB kepada Indonesia. Nasionalisasi tersebut dilakukan secara dua tahap,

Pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan, serta penguasaan atau yang lebih sering disebut dengan “di bawah pengawasan”.

Kedua, pemerintah mulai melakukan kebijakan yang pasti, yaitu dengan mengambil alih semua perusahaan milik Belanda yang didirikan di Indonesia, kemudian mengubah status kepemilikannya menjadi hak milik bangsa Indonesia.

Pelaksanaan tahap kedua ini dilandasi dengan dikeluarkannya Undang Undang yang membahas mengenai nasionalisasi perusahaan perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia.

Sistem Ekonomi Alibaba

Sistem ekonomi Alibaba dipimpin oleh Iskaq Tjokrohadisurjo pada pemerintahan kabinet Ali Sastromidjojo I.

Tujuan dari pelaksanaan kebijakan ini adalah terjalinnya kerja sama yang terjadi antara pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha non pribumi (Baba).

Kebijakan ini mampu mendorong berkembangnya pengusaha swasta nasional pribumi dalam upaya pembangunan perekonomian yang ada di Indonesia. Dalam menjalankan sistem ekonomi Alibaba ini memiliki tiga langkah sebagai berikut:

  • Pengusaha non pribumi harus dan wajib memberi pelatihan untuk pekerja pribumi supaya bisa menduduki jabatan-jabatan staf di perusahaan negara.
  • Pemerintah mendirikan perusahaan-perusahaan negara
  • Pemerintah memberikan kredit dan lisensi untuk usaha-usaha swasta nasional.

Namun, dalam pelaksanaannya kebijakan Alibaba mengalami kegagalan. Berikut kegagalan penerapan sistem ekonomi Alibaba.

  • Pengusaha non pribumi gagal untuk memberikan pelatihan terhadap pribumi.
  • Banyak pengusaha pribumi melakukan pengalihan perusahaanya kepada pengusaha non pribumi.
  • Pengusaha non pribumi hanya “Meminjam nama” dari pengusaha pribumi untuk bisa mendapatkan kredit dari pemerintah dan memenuhi kewajiban bekerjasama dengan pengusaha pribumi.