Daftar isi
Kerajaan Islam yang menjadi kerajaan pertama di Nusantara adalah Kerajaan Perlak. Kerajaan ini berada di wilayah Aceh dan berdiri mulai tahun 840-1292.
Pada masanya Perlak menjadi wilayah yang cukup berkembang karena wilayahnya yang strategis dan sering disinggahi oleh kapal-kapal yang berasal dari Arab dan Persia.
Kerajaan Perlak tidak terlepas dari peran sultan pertamanya, Alauddin Syah atau Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah yang memerintah pada tahun 1161–1186.
Terdapat sumber yang menjelaskan bahwa Islam sebelum didakwahkan di Peureulak awalnya tiba di Barus, satu wilayah di Aceh saat itu. Barus tidak pernah menjadi kerajaan Islam.
Barus memang sangat strategis karena secara geografis wilayahnya terletak antara lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan negeri-negeri sebelah timur, negeri sebelah barat, dan negara-negara Eropa.
Barus merupakan kawasan yang paling ujung barat Sumatera, para pendatang-pedagang dari timur dan barat pasti menjadikan pelabuhan Barus tempat singgah dan perdagangan rempah-rempah.
Penyebaran Islam di bagian utara pulau Sumatra saat itu dilakukan oleh seorang ulama Arab, Syeikh Abdullah Arif di tahun 1112 M.
Kemudian berdirilah kesultanan Perlak dengan sultan pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 1161–1186.
Walaupun memiliki jumlah raja yang cukup banyak, namun hanya beberapa raja yang cukup terkenal dari kerajaan Perlak, diantaranya:
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abbas Syah, kerajaan Perlak mengalami persengketaan yang menyebabkan menurunnya popularitas Perlak.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah menjadi raja pertama Kerajaan Perlak dengan gelaran Sultan ‘Alaiddin Mualana ‘Abdul ‘Aziz Syah.
Pada masa pemerintahannya, Bandar Perlak mengalami perubahan nama menjadi Bandar Khalifah sebagai kenangan dan penghargaan kepada rombongan Nakhoda Khalifah yang telah berperan mengemukakan Islam di Perlak.
Pada masa Sultan ‘Abdul ‘Aziz Syah, sistem pemerintahan kerajaan Perlak bercirikan organisasi kerajaan ‘Abbasiyah.
Persengketaan terus berlanjut pada pemerintahan Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah.
Beliau mengatasi masalah ini, dengan membagi daerah Perlak menjadi dua daerah.
Di masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, Kerajaan Perlak mengalami huru-hara.
Sultan Perlak ke VII ini mampu menyelesaikan kekacauan yang terjadi dengan perjanjian yang disebut Perjanjian Alue Meuh, pada 10 Muharram 353 H/963 M.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Perlak adalah Sultan Makhdum Malik ‘Abdul ‘Aziz Syah.
Walaupun masih bertahan, tetapi kondisi Perlak semakin lemah. Pada masa pemerintahannya, Perlak disatukan menjadi federasi di bawah kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 13 M.
Perlak yang berdiri sebelum Portugis datang ke Nusantara ini, mampu menjadi pusat perdagangan Islam di Nusantara.
Perlak telah mencapai kemajuan sejak pertengahan abad ke 9 M, karena wilayah Perlak merupakan kawasan termaju dibandingkan dengan wilayah lain di Sumatera.
Di masa Sultan ‘Abdul ‘Aziz Syah (840-864 M), sistem pemerintahan kerajaan Perlak telah tersusun dengan baik.
Menurut sejarah, sistemnya bercirikan organisasi kerajaan ‘Abbasiyah.
Para Sultan Perlak saat itu sangat berfokus dalam bidang pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan didirikannya sebuah institusi pendidikan Islam Zawiyah Buket Cibrek yang diresmikan pada tahun 865 M.
Menurut sejarah, institusi itu merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Asia Tenggara.
Kejayaan itu dicapai pada masa pemerintahan Sultan kedua Perlak, yaitu ‘Alaiddin Maulana ‘Abdur Rahim Syah yang memerintah dari 864-888.
Pada masa pemerintahan Sultan ketiga Perlak, Sayyid Maulana `Abbas Syah, didirikan juga lembaga pendidikan kedua yaitu Zawiyah Cot Kala Perlak yang diresmikan pada tahun 899.
Dalam bidang pendidikan, lembaga itu telah banyak menghasilkan alumni dan kemudian mereka berperan sebagai pendidik dan sekaligus mubaligh Nusantara yang berjasa dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Pada bidang pertanian, Perlak merupakan daerah penghasil lada dan rotan.
Dalam bidang industri, Perlak menjadi daerah penghasil emas yang banyak terdapat di Alue Meuh atau sungai Emas.
Dalam bidang seni rakyat, Perlak menghasilkan ukiran seni yang indah seperti gading gajah dan kayu yang meraih simpatik dari para pedagang asing. Seluruh aspek itu menjadi faktor pendorong bagi kemajuan Perlak.
Ada beberapa faktor mengapa Kesultanan Peureulak mengalami kemunduran. Pertama, karena pertentangan aliran Syiah dan Sunni.
Pada akhir pemerintahan Sultan ke III, Sultan ‘Alaiddin Maulana Sayyid ‘Abbas Syah, kerajaan atau kesultanan Peureulak mulai timbul persengketaan.
Peristiwa itu terus berlanjut sampai masa pemerintahan Sultan Sayyid Maulana ‘Ali Mughayat Syah.
Seiring berjalannya waktu, daerah Perlak dibagi menjadi dua daerah yaitu Perlak bagian Utara dalam kekuasaan Sayyid Maulana, dan Perlak bagian Selatan dipimpin oleh Makhdum Meurah ‘Abdul Kadir Syah.
Karena wilayahnya yang dibagi menjadi dua, maka juga ada dua dinasti yang berdiri.
Peureulak Daratan dan Peureulak Pesisir yang diperintah oleh dua Dinasti, masing-masing Dinasti ‘Aziziyah dan Dinasti Makhdum yang diasaskan oleh Meurah ‘Abdul Kadir Syah.
Pada masa pemerintahan Makhdum ‘Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi huru-hara. Tetapi beliau menyelesaikan huru hara ini dengan suatu perjanjian damai yang disebut Perjanjian Alue Meuh, pada tahun 963.
Faktor kedua penyebab kemunduran kerajaan ini adalah adanya serangan Kerajaan Sriwijaya.
Hal itu terjadi karena Sultan Peureulak menolak permintaan Sriwijaya agar kerajaan Peureulak tunduk di bawah kekuasaannya dan membayar upeti.
Ketidakstabilan politik internal, menjadi salah satu satu faktor penyebab kerajaan Perlak menjadi semakin melemah.
Peperangan dengan Sriwijaya yang berjalan selama tiga tahun menjadi faktor kedua kerajaan Perlak mundur.
Setelah berjalanannya waktu, Sriwijaya meninggalkan Perlak, sehingga Kerajaan Perlak pun dapat disatukan kembali.
Raja terakhir yang memerintah Peureulak adalah Sultan Makhdum Malik ‘Abdul ‘Aziz Syah.
Kerajaan Perlak kemudian disatukan dibawah kerajaan Samudera Pasai di Geudong Aceh Utara pada abad ke 13 M.
Kerajaan Perlak memiliki beberapa peninggalan bersejarah, diantaranya:
Kitab Idharul Haqq masih menjadi misteri tentang keberadaannya, banyak orang orang yang mendeskripsikan bentuknya. Namun tidak satupun yang dibenarkan.
Sehingga beberapa orang berasumsi bahwa Kitab Idharul Haqq hanya dijadikan pacuan agar masyarakat mengetahui bahwa kerajaan perlak merupakan kerajaan pertama di Indonesia.
Dengan ditemukannya makam raja dari kerajaan Perlak membuat masyarakat yakin bahwa kerajaan ini pernah jaya pada masanya.
Mata uang ini tersusun dari emas, tembaga hingga perak. Dahulu mata uang ini digunakan sebagai alat jual beli oleh kerajaan Perlak.
Mata uang ini menjadi salah satu peninggalan kerajaan Perlak yang dimuseumkan.
Stempel ini memiliki tulisan di bagiannya, yaitu tulisan Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512.