Daftar isi
Belanda sebagai salah satu negara yang menganut sistem ekonomi merkantilisme, mulai memperluas wilayahnya termasuk di Indonesia.
Mereka berusaha untuk memperkaya perekonomian mereka dengan langkah awal yaitu melakukan monopoli dagang rempah.
Namun nyatanya, hal tersebut tak cukup.Pihak Belanda juga melakukan sistem tanam paksa atau disebut juga sebagai cultuurstelsel.
Apa itu sistem tanam paksa? berikut adalah pembahasannya.
Sistem tanam paksa awalnya dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830.
Berkat keberhasilannya, Belanda meraih kemakmuran kembali dan membuat Gubernur Bosch mendapatkan gelar Graaf tanggal 25 Desember 1839.
Pemerintah Belanda sangat senang dengan pencapaian Gurbernur Bosch.
Hal ini dikarenakan sebelumnya Belanda terlilit hutang yang sangat parah. Perang Napoleon menyebabkan mereka memiliki hutang dalam negeri yang bunganya semakin mencekik.
Belanda membutuhkan dana yang cukup besar untuk melunasi semua hutang-hutang negaranya.
Belum lagi Belgia ingin melepaskan diri dan mengakui kemerdekaannya dalam Revolusi Belgia di tahun 1830.
Hasil dari kongres Wina yang membentuk Uni Belgia-Belanda di tahun 1815 harus hancur akibat revolusi tersebut.
Awalnya Belanda tidak ingin hal tersebut terjadi. Tahun 1831 hingga 1832, mereka terus berjuang untuk menaklukan Belgia agar kembali sebagai wilayah mereka.
Sayangnya, usaha tersebut gagal dan Belanda harus mengakui Belgia atas kemerdekaannya. Dengan hal ini, hilanglah satu wilayah kekuasaan Belanda.
Di Indonesia, Belanda pun kehilangan banyak biaya akibat berbagai peperangan yang telah mereka lalui demi menaklukan beberapa daerah di Indonesia.
Hasil tanam kopi untuk monopoli dagang mereka juga tidak sebanding hasilnya.
Karena itulah, mereka memutar cara. Hingga akhirnya Gubernur Bosch mengusulkan sistem tanam paksa yang begitu menyengsarakan rakyat Indonesia, di samping memakmurkan kembali Belanda.
Tanam paksa dalam Bahasa Belanda disebut juga dengan Cultuurstelsel.
Dalam Bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan sebagai Cultivation system atau sistem kultivasi (budi daya).
Sistem ini memang berkaitan dengan budi daya komoditas ekspor seperti kopi, teh, tebu maupun nila. Namun ada unsur paksaan di dalamnya.
Sistem tanam paksa mewajibkan masyarakat pribumi yang memiliki tanah di desa diharuskan menyisakan 20% tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor tersebut.
Jika ada masyarakat yang tidak memiliki tanah, maka mereka harus bekerja 20% dalam setahun untuk kebun milik pemerintahan.
Sayangnya meski aturannya seperti itu, prakteknya justru lebih kejam.
Masyarakat dipaksa bekerja secara paksa setahun penuh dengan upah kecil bahkan tidak diberi upah sama sekali.
Banyak kasus masyarakat Indonesia yang ketika itu meninggal akibat kelaparan dan kelelahan bekerja.
Pun dengan tanah yang ditanami komoditi ekspor, justru seluruhnya yang digunakan, tidak hanya 20% tanahnya saja.
Jika hasil budi daya berhasil, maka harus dijual pada pihak Belanda dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Tentunya dengan harga yang sangat rendah.
Karena itulah, sistem tanam paksa justru memakmurkan Belanda karena banyak aset yang meningkatkan ekonomi mereka dengan memanfaatkan hasil keringat dari masyarakat Indonesia.
Ada beberapa tujuan yang menjadikan sistem tanam paksa akhirnya dilakukan oleh pihak Belanda, diantaranya sebagai berikut:
Ini dikarenakan pihak Belanda telah kehilangan banyak uang yang digunakan untuk membiayai peperangan-peperangan yang telah terjadi seperti peperangan dengan Pangeran Diponegoro dan lain sebagainya.
Demi memperluas wilayah, apalagi setelah terjadinya pelepasan wilayah Belgia setelah revolusi yang terjadi.
Sehingga Belanda bersiap untuk mengisi kas kembali dan membiayai peperangan yang akan terjadi dalam perluasan wilayahnya kembali.
Setelah terjadinya perang Napoleon, Belanda terlilit hutang banyak sekali. Sehingga dengan sistem tanam paksa inilah, mereka dapat meningkatkan ekonomi dan melunasi hutang-hutangnya yang menumpuk.
Seperti yang diketahui bahwa Belanda adalah negara dengan sistem ekonomi merkantilisme, sehingga mereka akan mencari keuntungan meski dengan cara menyengsarakan negara lainnya.
Adapun aturan-aturan dari sistem tanam paksa antara lain sebagai berikut:
Tokoh yang menerapkan sistem tanam paksa adalah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang berasal dari Belanda.
Johanes Van den Bosch lahir pada tanggal 1 Februari 1780 di Herwijnen, Lingewaal.
Awalnya beliau adalah seorang letnan yang ditugaskan ke Indonesia dan mendarat di pulau Jawa tahun 1797.
Namun kenaikan pangkatnya sangat cepat hingga menjadi seorang kolonel.
Meski di tahun 1810 dia harus pulang kembali ke Belanda karena perbedaan pendapat dengan jenderal Willem Daendels, nama setelah kepulangannya justru karir militernya sangat bagus di Belanda.
Beliau diangkat sebagai mayor jenderal dan seringkali memberikan informasi kepada warga Belanda akan pentingnya kesadaran atas kemiskinan yang sedang mereka hadapi.
Akhirnya tahun 1827 beliau kembali ke Batavia dan menjadi gubernur jenderal di tahun 1830.
Di masa inilah beliau mencetuskan ide sistem tanam paksa yang akhirnya sukses memberikan peningkatan ekonomi kepada pemerintah Belanda.
Di tahun 1839 van den Bosch mengajukan pensiun dini dan akhirnya beliau wafat di tahun 1844 tepatnya tanggal 28 Januari di Den Haag.
Ada beberapa tokoh yang menentang adanya cultuurstelsel atau sistem tanam paksa diantaranya:
Beliau lahir di Amsterdam tanggal 2 Maret 1820 dan merupakan penulis buku Max Havelaar dengan nama pena Multatuli.
Dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar tahun 1968 berisi tentang kritikan-kritikan pedas mengenai sikap dan perilaku bangsa Belanda terhadap rakyat Indonesia, termasuk salah satunya sistem tanam paksa.
Beliau merupakan seorang menteri, politikus, pembaharu dan penulis yang lahir di Belanda pada tanggal 15 Juli 1812.
Meski Baron van Hoevel lahir di Belanda dan menjadi anggota parlemen dalam partai liberal Belanda serta salah satu anggota dewan negara, namun beliau mengkritik kolonialisme yang dilakukan oleh pihak Belanda.
Beliau melihat sendiri aksi kekejaman yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam sistem tanam paksa.
Beliau merupakan seorang politikus liberal asal Belanda yang lahir di tanggal 22 Maret 1822.
Beliau berperan penting atas terjadinya penghapusan sistem tanam paksa yang berawal dari penghapusan tanaman-tanaman yang tidak laku diperdagangkan di Belanda hingga tanaman-tanaman yang laku keras.
Dengan adanya sistem tanam paksa memberikan dampak positif maupun negatif diantaranya:
Dampak Positif
Dampak Negatif