Saat mempelajari sejarah Bangsa Indonesia, terutama di era kebangkitan Nasional, kita akan mendapati tokoh-tokoh yang dikenal dengan sebutan empat serangkai.
Tokoh empat serangkai adalah sebutan bagi tokoh-tokoh pendiri organisasi Putera atau Pusat Tenaga Rakyat yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas Mansyur.
Putera atau Pusat Tenaga rakyat adalah organisasi yang dibentuk pada tanggal 16 April 1943 oleh Jepang yang waktu itu berkuasa di Indonesia.
Tujuan pembentukan Putera sendiri adalah untuk membangun kembali apa yang telah dihancurkan oleh Belanda dan melakukan propaganda untuk membantu Jepang dalam peperangan. Selain itu, Putera juga dibuat untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial Masyarakat Indonesia.
Pada perkembangannya, Putera justru lebih banyak menguntungkan pergerakan nasionalisme daripada memenuhi kepentingan Jepang.
Oleh karena itu, pada bulan Maret 1944 Putera resmi dibubarjab dan digantikan dengan Jawa Hokokai atau Himpunan Kebaktian Jawa.
Berikut adalah tokoh-tokoh nasional yang dipilih oleh Jepang untuk menjadi pemimpin Putera.
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodiharjo.
Kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan lebih banyak ditempuh lewat jalur diplomasi melalui organisasi-organisasi politik yang berkembang pada era pergerakan nasional.
Beberapa organisasi yang mana Ir. Soekarno pernah berkecimpung di dalamnya antara lain:
Ir. Soekarno dikenal sebagai tokoh yang tegas dan vokal dalam menyuarakan semangat kebangsaannya.
Hal ini membuat pihak penjajah kerap merasa khawatir hingga harus menahan dan bahkan mengasingkannya ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934 selama 4 tahun dan kemudian diasingkan ke Bengkulu
Drs. Mohammad Hatta atau yang dikenal dengan Bung Hatta adalah seorang cendekiawan Indonesia yang lahir pada 12 Agustus 1902. Beliau memiliki nama asli Mohammad Athar.
Bung Hatta merupakan tokoh nasionalis, negarawan, dan ekonom yang memiliki andil besar dalam sejarah perjuangan diplomasi Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Seperti halnya Bung Karno, Bung Hatta juga lebih menfokuskan perjuangannya melalui jalur diplomasi.
Diantaranya adalah dengan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka, serta mengikuti organisasi pergerakan seperti Perhimpunan Indonesia (PI) dan Putera dimasa pendudukan Jepang.
Bung Hatta sendiri dikenal sebagai tokoh yang kritis terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Hal itu membuatnya ditangkap dan kemudian diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda Neira.
Ki Hajar Dewantara lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889 dan diberi nama Suwardi Suryaningrat.
Beliau adalah cendekiawan yang juga seorang aktivis pada masa pergerakan nasional.
Perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia dilakukannya melalui organisasi pergerakan yang pertama muncul yaitu Boedi Oetomo dan juga Indische Partij.
Pada tahun 1913, Ki Hajar Dewantara pernah menulis sebuah artikel yang diberi judul “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De expres.
Artikel tersebut ternyata menuai reaksi keras dari pemerintah kolonial sehingga membuatnya harus menjalani pengasingan di Pulau Bangka sebelum kemudian dipindah ke negeri Belanda.
Selain perjuangan politik, Ki Hajar Dewantara juga sangat menaruh perhatian besar kepada pendidikan kaum pribumi.
Kepeduliannya itulah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan sekolah bagi warga pribumi yang diberi nama Perguruan Taman Siswa.
KH. Mas Mansyur adalah seorang tokoh ulama dan juga pejuang kemerdekaan di era kebangkitan nasional. Beliau lahir di Surabaya pada tanggal 25 Juni 1896 dari keluarga bangsawan yang sangat religius.
Besar di lingkungan pesantren, KH. Mas Mansyur banyak mengenyam pendidikan keagamaan hingga menjadi seorang alim ulama yang terpandang.
Di masa mudanya, KH. Mas Mansyur pernah menempuh pendidikan di Universitas Al-Ahzar, Mesir.
Dari sanalah beliau banyak terpengaruh dengan semangat kebangkitan nasional yang kala itu sedang tumbuh dan di elu-elukan di Mesir.
Sepulangnya ke Indonesia, KH Mas Mansyur kemudian bergabung dengan Partai Sarikat Islam dan dipercaya menjadi penasehat pengurus besar SI.
Selain itu, Beliau juga aktif membuat tulisan-tulisan yang dimuat di beberapa surat kabar di waktu itu.
Pada tahun 1921, KH Mas Mansyur masuk ke Muhammadiyyah dan kemudian terpilih menjadi ketuanya.
Disinilah beliau mulai banyak bergerak dalam aktivitas politik dan memprakarsai berdirinya beberapa organisasi lain seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Partai Islam Indonesia (PII), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).