Film menjadi salah satu bentuk media komunikasi massa yang cukup populer di masyarakat. Kefenomenalannya dalam menampilkan gambar yang berbeda dengan media cetak yang menjadi media pendahulunya, membuat publik takjub di awal kemunculannya.
Melalui film, publik dapat melihat berbagai replika realitas dalam sebuah gambar hidup tentang kehidupan sehari-hari.
Hal ini mengakibatkan pada dijadikannya film sebagai bahan kajian dan perdebatan, khususnya ketika film tidak lagi dilihat sebagai replika atas realitas kehidupan yang mengundang decak kagum pemirsanya.
Terlebih ketika teknik dalam film mengalami perkembangan hingga menghasilkan film yang luar biasa. Pergeseran fungsi film sebagai media hiburan, telah berubah menjadi entitas perangkat komunikasi dalam konteks sosial masyarakatnya.
Film dianggap sebagai sebuah karya seni yang menampilkan berbagai aspek dalam realita kehidupan dengan berbagai dimensi kemasyarakatannya. Dimensi kemasyarakatan di sini berisikan tentang dimensi yang terkait dengan kehidupan masyarakat sebagai sebuah entitas, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2009, film adalah suatu karya seni budaya yang termasuk dalam pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara serta dipertunjukkan.
Namun, secara mendasar film diartikan sebagai rangkaian foto yang dihasilkan dari pita seluloid yang disejajarkan sedemikian rupa, kemudian diputer hingga menghasilkan gambar hidup atau bergerak. Rangkaian dari berbagai gambar atau foto dalam film disebut dengan frame. Sementara pergerakan frame foto dalam film dinamakan dengan intermitten movement.
Dalam satu intermitten movement dari suatu adegan atau gerakan normal, setiap detiknya diperlukan sebanyak dua puluh empat frame foto. Dengan demikian, dalam sebuah film iklan dengan durasi 30 detik, membutuhkan setidaknya 720 frame foto. Sedangkan untuk sebuah film dengan durasi satu hingga dua jam, tentunya memerlukan jauh lebih banyak frame foto.
Dalam keseharian, film juga sering disebut dengan sinema. Mungkin sinema adalah istilah paling tepat untuk menyebutkan rentetan gambar bergerak yang selama ini kita sebut dengan film. Hal ini dikarenakan, istilah ‘film’ sebenarnya merujuk pada lapisan bahan baku untuk fotografi (Jufry, 2008: 96), yang mana telah melalui proses kimiawi (cuci cetak), hingga akhirnya menjadi gambar statis (foto).
Sementara istilah ‘sinema’ digunakan untuk penyebutan dari cinematographe, yang merupakan nama dari sebuah kamera gambar bergerak dan proyektor hasil temuan dari Lumiere bersaudara. Cinematography merupakan gabungan dari kata Cinematik (gerak), phytos (cahaya), dan graphy (gambar atau lukisan), yang didefinisikan sebagai proses melukiskan gerak dengan bantuan cahaya.
Meski secara teknis film didefinisikan sebagai gambar bergerak, namun apabila dikaitkan dengan kehidupan sosial, film memiliki definisi tersendiri, yakni suatu media hiburan yang menggunakan cerita sebagai sarananya dan disajikan lewat suara dan rangkaian gambar dengan memberikan ilusi gerakan berkelanjutan. Hal ini akan berimplikasi pada kegiatan komersial terhadap sebuah film.
Dari seluruh rangkaian definisi dan pengertian tentang film di atas, dapat disimpulkan bahwa film pada dasarnya merupakan sebuah pranata sosial dari suatu karya seni dan budaya yang disajikan melalui berbagai media massa, dengan pemanfaatan panca indera berupa penglihatan dan pendengaran, berdasarkan kaidah sinematografi yang direkam dalam pita seluloid atau sejenisnya sebagai media hiburan yang dipertunjukkan.
Kemajuan produksi dari sebuah film sebagai media rekam gambar dan media komunikasi massa, tidak lepas dari sejarah ditemukannya alat perekam gambar pertama, yaitu kamera.
Bentuk pertama dari kamera adalah obscura, yaitu sebuah kotak hitam dengan lubang kecil di dalamnya. Sehingga dengan adanya seberkas cahaya yang masuk ke dalam lubang tersebut, mampu menghasilkan bayangan dari berbagai benda yang ada di depannya.
Pada 1826, Joseph Nicephone Niepce merupakan orang pertama yang menghasilkan gambar atau foto pertama di dunia dengan merekam sebuah objek melalui proses heliografi, sehingga foto pertama tersebut dinamakan dengan foto heliogrof.
Keberhasilan Niepce merekam gambar permanen tersebut mendorong lahirnya berbagai penemuan lain di bidang fotografi, seperti ‘Daguerreotype’ oleh Louis J.M Daguerre (1839), yaitu sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak berlapis larutan iodin yang kemudian dipanaskan dengan merkuri (neon).
Pada 1841, yaitu ditemukannya film positif/negatif oleh William Henry talbott, di mana prosesnya disebut dengan ‘Talbotype’. Dilanjutkan pada 1869 dengan penemuan seluloid oleh John Wesley Hyatt yang dipatenkan pada 1870.
Satu dekade selanjutnya, antara 1881-1900 ditemukannya rol fil. Kamera Kodak portable box, dan penyempurna film seluloid yang dikembangkan oleh George Eastman.
Berbagai penemuan di bidang fotografi tersebut mendorong berkembangnya motion picture (teknologi gambar bergerak). Diawali dengan upaya Thomas Ava Edison (1847-1931) dan asistennya William Kennedy Laurie Dickson (1860-19350) membangun sebuah perangkat untuk merekam gerakan pada film serta perangkat lain untuk melihat film.
Pada November 1890, keduanya berhasil merancang kamera bertenaga motor yang mampu memunculkan gambar foto bergerak yang disebut kinetograph (alat perekam gerak).
Pada 1891, Dickson berhasil merancang proyektor film (mesin optik lentera) yang disebut dengan kinetoscope (alat pemroyeksi gerak). Hingga pada 20 Mei 1891, telah dilaksanakan pemutaran film pertama dengan kinetoscope di laboratorium Edison dengan menampilkan rekaman film di mana Dickson sedang membungkuk, tersenyum, serta memberi salam dengan membuka topi di hadapan para hadirin. Meski pun durasinya singkat, namun telah membuahkan kekaguman luar biasa dari para hadirin.
Pada 1890, Edison Dickson merancang sebuah prototipe sistem suara film yang dinamai kinetophonograph atau kinetophone. Namun, suara yang dihasilkan tidak sinkron dengan gambar gerak filmnya. Pada 1893, film studio pertama karya Edison dibuat di studio miliknya ‘West Orange’ beserta kinetoscope-nya. Hingga pada 14 April 1894, oleh Edison Kinetoscope mulai dioperasikan secara komersil.
Berbagai karya Edison Dickson mendorong Louis Lumiere dan Auguste Lumiere melakukan inovasi pada kamera portabel dan alat proyektor sehingga dapat memproyeksikan gambar film ke penonton.
Kamera tersebut diberi nama Cinematographe, yang dipatenkan pada februari 1895. Lumiere bersaudara juga menciptakan standar film 35 mm yang hingga sekarang masih digunakan.
Pada Maret 1895, demonstrasi pertama karya Lumiere bersaudara dengan Cinematographe dilaksanakan dengan menayangkan sebuah film tentang para pekerja pabrik yang meninggalkan pabrik guna beristirahat.
Mereka berdua pula yang memperkenalkan kegiatan pemutaran film di tempat tertutup, yang sekarang dikenal dengan bioskop. Pada 28 Desember 1895 merupakan awal pameran film komersial pertama dengan sepuluh film pendek berdurasi sekitar dua puluh menit di Salon Indie, Cafe Grand Boulevard des Paris Capucines Lumiere.
Pada 1897, pembukaan gedung pertunjukan khusus film oleh Lumiere bersaudara dengan dinamai Nickelodeon, yang berasal dari kata Nickel, merupakan sejumlah uang untuk membeli tiket setara lima sen, dan Odeon memiliki arti gedung pertunjukan kecil khusus musik dan drama.
Pada tahun-tahun yang hampir bersamaan namun di tempat berbeda, sekitar 1895, dua bersaudara asal Berlin Jerman Emil dan Max Skladanowsky juga telah mampu memproyeksikan film dengan proyektor temuan mereka sendiri.
Pada 1893, Thomas Armat dan Charles Francis Jenkins dari Amerika melakukan pengembangan pula pada Phantascope yang merupakan perangkat proyektor film pada layar Woodville Latham asal Amerika juga, di mana ia melakukan pengembangan pada proyektor populer yang disebut Eidoloscope atau Panoptikon Proyektor (1895). Pada 1896 di London, Birt Acres melakukan pengembangan pada mesin proyektor film, yang dinamai Lantern Kinetic.
Masih di tahun yang sama, 1895, Robert William Paulus asal Inggris mengembangkan sebuah proyektor populer, Theatrograph. Pada 1896, perusahaan Edison melakukan pembelian pada versi perbaikan mesin proyeksi film yang diciptakan oleh Thomas Armat dan Charles Francis Jenkins, yaitu Phantascope, lalu diubah menjadi Vitascope.
Perkembangan film terus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan teknologinya. Di mulai dari periode film bisu (1895-1903), dilanjutkan dengan masa film cerita yang bisu (1903-1927), kemudian berlanjut ke masa film bicara hitam putih (1927-1935), masa film berwarna (1935-1953), dan berlanjut ke masa film layar lebar (1953-sekarang).
Proses dan teknik dari pengambilan gambar film juga mengalami perkembangan dengan adanya kamera yang mampu melakukan pembesaran, mengatur fokus, ketajaman gambar dan fitur canggih lainnya sehingga kualitas gambar dan suara yang dihasilkan pun semakin baik.
Sementara itu, skenario, properti, alur, latar, dan berbagai komponen film lainnya juga mengalami perkembangan, hingga menghasilkan film dalam bentuk digital.
Film merupakan karya kolektif yang melibatkan banyak sumber daya di dalamnya. Selain itu, film juga menjadi media untuk menampung berbagai ekspresi dari berbagai seni dan budaya dalam sebuah masyarakat, dan merupakan media yang diserap lebih dari satu panca indera sehingga mampu membangkitkan berbagai emosi para audiensnya.
Dengan berbagai kapasitasnya tersebut, tidak mengherankan jika film menjadi salah satu wadah kreativitas berbagai ekspresi seni sehingga mampu menciptakan berbagai jenis atau genre.
Menurut David Bordwell (1997), pembagian jenis film tersebut dapat dibedakan menjadi empat jenis, diantaranya film fiksi, film non-fiksi, film animasi, dan film eksperimental. Berikut penjelasan dari ke empat jenis film tersebut.
Film fiksi merupakan sebuah film yang didasarkan pada suatu rekaan atau imajinasi dari pembuatnya. Umumnya, alur cerita dari film fiksi, baik dari peristiwa, kejadian, atau kisah tertentu yang dialami oleh para tokohnya merupakan hasil dari rekayasa atau imajinasi pembuat atau pengarangnya.
Karena film fiksi berisikan tentang sebuah narasi atau cerita, film fiksi disebut juga istilah film narasi (Narrative film or fictional film is a film that tells a fictional story or narrative). Film fiksi bisa dibuat dengan berbagai genre, seperti film horor, film perang, film komedi, film musik, film sejarah, film aksi, telenovela, film ilmiah, dan lain-lain.
Film non-fiksi merupakan sebuah film di mana plot ceritanya bukan hasil rekayasa atau imajinasi pembuat atau pengarangnya, melainkan berdasarkan berbagai hal yang sifatnya nyata (faktual), dan benar-benar ada dalam kehidupan manusia. Film fiksi bisa dibedakan menjadi dua jenis , yaitu faktual dan dokumenter.
Film faktual merupakan film yang secara umum hanya menampilkan berbagai fakta atau rekaman sebuah peristiwa yang disajikan secara apa adanya. Misalnya, sebuah film yang berisikan tentang operasi penyelamatan, yang sifatnya dokumentasi.
Sedangkan film dokumenter adalah sebuah film hasil rekonstruksi dari suatu peristiwa, kejadian atau kisah yang sifatnya faktual kemudian disajikan kembali dengan sebuah cerita yang disusun senyata mungkin dengan peristiwa aslinya.
Salah satu aliran yang berkembang dalam film dokumenter adalah dokudrama. Contoh dari film non-fiksi antara lain film pendidikan, film pariwisata, film instruksional, dan sebagainya.
‘Animasi’ atau ‘Animation’ merupakan istilah yang berasal dari kata ‘to animate’, yang memiliki arti menghidupkan atau membuat seolah-olah hidup.
Jadi, definisi dari film animasi adalah sebuah film yang menggunakan lukisan, gambar, atau benda yang merupakan replika, baik dari suatu makhluk hidup maupun benda mati yang dihidupkan melalui teknik animasi, baik berupa film cerita maupun non-cerita.
Film fiksi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu animasi dua dimensi (flat animation/dwi matra), dan animasi tiga dimensi (object animation/trimatra).
Berdasarkan bahan pembuatannya, animasi dua dimensi dapat dibedakan menjadi dua, yakni animasi sel (cells animation) dan animasi seluloid (celluloid animation).
Sedangkan untuk animasi tiga dimensi (object animation/trimatra), bisa dibedakan menjadi tiga jenis, antara lain animasi boneka (puppet animation), animasi model (model animation), dan animasi piksilasi (pixilation animation).
Film eksperimental merupakan jenis film di mana proses pembuatannya tidak menggunakan standar prosedur baku dari pembuatan sebuah film. Tujuan dari pembuatan film eksperimental adalah untuk membuat sesuatu yang baru atau berbeda dari film-film yang telah ada sebelumnya.
Film eksperimental disajikan dengan menampilkan serangkaian gambar, baik secara faktual maupun abstrak, serta tidak berbentuk sebuah cerita atau narasi yang sering kali memberikan penekanan pada ekspresi personal paling dalam dari pembuatnya.
Bentuk-bentuk dari film eksperimental bisa berwujud dalam film animasi, adegan langsung, olahan komputer, bisa juga kombinasi dari ketiganya.
Sebagai suatu sistem komunikasi, bisa dikatakan film merupakan sebuah bentuk pranata sosial dalam kehidupan bermasyarakat dengan berisikan seperangkat nilai atau ideologi yang menjadi dasar atau acuan masyarakat dalam menjalankan kehidupan bersama guna mencapai tujuan bersama.
Dengan adanya ideologi tersebut, sebuah film akan selalu membawa ideologinya dalam setiap peran beserta fungsinya dalam masyarakat.
Di negara-negara liberalis-kapitalis, konteks ideologi perfilmannya bisa dikatakan tidak memiliki pertentangan yang sifatnya ideologis. Hal ini dikarenakan baik ideologi tradisional maupun ideologi organiknya berada pada satu garis konsonan.
Ideologi organik di negara-negara liberalis-kapitalis merupakan turunan dan cerminan dari ideologi tradisionalnya.
Maka dari itu, berbagai film di negara-negara liberalis-kapitalis umumnya banyak mencatat berbagai prestasi kemajuan yang tinggi pada skala industri yang masif. Mungkin Amerika bisa menjadi representasi dari negara-negara liberalis-kapitalis paling fenomenal dan maju dalam industri perfilmannya, contohnya Hollywood dengan segala kebesarannya.
Kemajuan industri perfilman di Amerika tersebut tentu saja tidak terlepas dari sistem komunikasinya yang bebas dan benar-benar mencerminkan ideologi yang dianut negara dan masyarakatnya.
Selain itu, negara-negara liberalis-kapitalis menjadikan industri perfilman sebagai bentuk komunikasi massa dengan tujuan komersial guna merengkuh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Industri perfilman di negara-negara sosialis-komunis, proses produksi hingga distribusi pesan atau film dikuasai secara penuh oleh negara.
Film dijadikan sebuah alat komunikasi massa bagi pemerintah dengan peran serta fungsi yang krusial dan strategis dalam memengaruhi serta membangun kesadaran masyarakat akan ideologi sosialis-komunis.
Film juga menjadi media dalam membangun kohesivitas dan ketundukan masyarakat pada ideologi sosialis-komunis. Dengan demikian, jika di negara-negara liberalis-kapitalis film dimiliki dan diproduksi oleh pihak swasta, maka lain halnya dengan negara-negara sosialis-komunis di mana film dimiliki, dikuasai dan diproduksi oleh negara.
Berbicara tentang film di negara-negara sosialis-komunis, tentu tidak bisa lepas dari perkembangan film di era Uni Soviet dahulu. Film-film yang mereka produksi merupakan wujud negara pertama yang mengimplementasikan ide dan ideologi sosialis-komunis.
Salah satu ciri dari film Uni Soviet adalah adanya kebijakan dari tokoh pendiri dan pemegang kekuasaan awal Soviet , seperti pada masa kekuasaan Lenin (1917-1924), masa kekuasaan Stalin (1924-1953), dan masa-masa setelahnya (1953-hingga sekarang).