Para ekonom dan filsuf telah mengembangkan banyak teori yang menjelaskan mengenai bagaimana suatu organisasi dikelola beserta fungsi-fungsinya.
Di antara banyaknya ahli teori yang telah berkontribusi, teori yang memiliki dampak signifikan pada organisasi adalah milik Henry Ford, yaitu Fordism. Untuk lebih jelasnya tentang apa itu Fordism, mari kita simak ulasan berikut ini.
Fordism atau fordisme adalah filosofi produksi yang digunakan untuk menggambarkan sistem produksi massal, di mana dalam sistem tersebut bertujuan untuk menghasilkan produktivitas tinggi dengan output barang sesuai standar namun dengan biaya produksi yang rendah, agar tetap mampu memberi upah yang layak untuk para pekerjanya.
Konsep ini pertama kali dirintis oleh Henry Ford di awal abad ke-20, dan banyak digunakan dalam teori sosial, ekonomi, dan manajemen yang membahas tentang produksi, konsumsi, kondisi kerja, dan berbagai fenomena terkait.
Fordism lebih banyak menggambarkan tentang ideologi kapitalisme maju yang berpusat di sekitar sistem ekonomi Amerika pascaperang yang saat itu tengah terjadi ledakan ekonomi. Ford mengaplikasikan Fordism dengan menawarkan upah sebesar lima dolar per hari untuk para pekerjanya.
Meski terhitung tinggi, namun pihak Ford lebih mementingkan produktivitas perusahaan dengan pemberlakuan sistem operasi perusahaan selama dua puluh empat jam dan membagi jam kerja dalam tiga shift, dengan delapan jam kerja per harinya bagi masing-masing pekerja.
Upaya pemberlakuan Fordism tersebut membuahkan hasil, berupa penurunan biaya produksi sehingga membuat harga mobil buatan Ford menjadi lebih murah, begitu pula ada lebih banyak konsumsi atau pembelian yang dilakukan terhadap produk Ford.
Menurut Bob Jessop, seorang sosiolog dari Lancaster University, Inggris, terdapat empat tingkat Fordism, antara lain:
Lahirnya era Fordism tidak lepas dari jatuh bangunnya perekonomian Amerika selama rentan waktu Perang Dunia I hingga tahun 1970-an. Selama Perang Dunia I (1914-1918) berlangsung, perekonomian negara-negara di seluruh dunia tidak mendapat perhatian layak, terutama Eropa.
Bahkan, ketika Perang Dunia I berakhir, situasi perekonomian Eropa lebih buruk dari sebelumnya, dan berbanding terbalik dengan kejayaan yang dialami oleh Amerika. Hal ini karena Amerika telah melakukan produksi massal di mana hasilnya diekspor dan diinvestasikan ke Eropa dan negara-negara berkembang lainnya.
Pada 1929, Amerika mengalami Great Depression, di mana harga saham mengalami penurunan tepatnya hari Kamis tanggal 24 Oktober 1929, dan dikenal dengan ‘Black Thursday’ (Kamis Hitam). Penjualan saham secara massal mencapai puncaknya pada Selasa, 29 Oktober 1929, di mana pasar Amerika mengalami kerugian mencapai USD 14 miliar.
Great Depression berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, bangkrutnya berbagai perusahaan besar, hingga munculnya banyak pengangguran. Pada masa Perang Dunia II, Great Depression berlalu dan Amerika mencoba bangkit kembali dengan mengadopsi pemikiran Keynes tentang perlunya campur tangan pemerintah dalam pasar.
Terdapat tiga rencana yang Franklin usulkan untuk rencana perbaikan ekonomi Amerika, diantaranya:
Beberapa tahun menjalankan rencana yang dicanangkan oleh Franklin tersebut, Amerika mencapai kesuksesannya kembali. Franklin telah berhasil membawa Amerika keluar dari keterpurukan.
Sejak saat itu, industri di Amerika mulai menerapkan sistem Fordism, yaitu dengan melakukan produksi secara massal. Terdapat beberapa ketentuan terhadap sistem yang diterapkan saat itu, antara lain:
Sistem Fordism kala itu memunculkan banyak pasar bagi Amerika. Seperti, Pascaperang Dunia II Amerika banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang terdampak PD II berupa kredit.
Kesempatan ini juga menjadi kesempatan bagi Amerika untuk melakukan ekspor ke negara-negara tersebut, seperti Eropa dan Asia. Sehingga, pertumbuhan ekonomi kala itu tidak hanya berdampak positif pada mereka yang berada di kelas kapitalis, namun juga kelas buruh turut menikmatinya.
Rick Wolf, ekonom Marxian Amerika, menyatakan bahwa masa tersebut merupakan masa di mana kelas buruh Amerika menikmati pertumbuhan konsumsi tertinggi dalam waktu 150 tahun. Ukuran keberhasilan kelas buruh tersebut diukur berdasarkan gaya hidup mereka, seperti jumlah mobil yang dimiliki. Masa-masa tersebut disebut dengan “The Golden Age of American Working Class.”
Setelah beberapa dekade menjadi sistem paling dominan dalam kapitalisme selama rekonstruksi pascaperang, dan sering dipuji karena mampu memfasilitasi ledakan panjang pascaperang, pada 1970-an, potensi pertumbuhan sistem Fordism berangsur-angsur mengalami penurunan dan akhirnya habis karena adanya kecenderungan krisis yang mendasarinya menjadi lebih jelas dari sebelumnya, serta adanya perlawanan intensif dari para pekerja terhadap kondisi kerja yang terasing.
Selain itu, pasar mengalami kejenuhan terhadap barang-barang konsumen hasil produksi massal hingga menyebabkan tingkat keuntungan menurun yang juga bertepatan dengan kondisi stagflasi dan krisis fiskal berkembang. Sistem internasionalisasi juga membuat pengelolaan ekonomi negara menjadi kurang efektif, klien yang mulai menolak adanya standarisasi, perlakuan birokratis negara dalam hal kesejahteraan. Serta, adanya ancaman ekspansi dari Eropa dan Asia Timur terhadap hegemoni politik dan dominasi ekonomi Amerika.
Fenomena-fenomena tersebut mendorong Amerika mencari solusi terhadap krisis Fordisme, baik dengan memulihkan dinamika pertumbuhannya yang khas untuk menghasilkan rezim neo-Fordist atau dengan mengembangkan rezim akumulasi dan mode regulasi pasca-Fordist baru.
Periode setelah runtuhnya era Fordism disebut dengan era post-Fordism atau neo–Fordist. Istilah post-Fordisme digunakan untuk menggambarkan bentuk organisasi yang muncul setelah Fordisme, di mana ekonomi relatif tahan lama dan bentuk baru organisasi ekonomi yang benar-benar bisa menyelesaikan kecenderungan krisis di era Fordisme.
Dalam konsep tersebut, istilah yang muncul setelah Fordisme tidak memiliki konten positif yang nyata, sehingga beberapa ahli teori mengusulkan beberapa alternatif substantif, seperti Toyotisme, Fujitsuisme, Sonyisme, dan Gatesisme atau kapitalisme informasi, ekonomi berbasis pengetahuan, dan ekonomi jaringan.
Beberapa ilmuwan sosial mengadopsi tiga pendekatan utama untuk mengidentifikasi era post-Fordism, diantaranya:
Meski pun demikian, pada pertengahan 1970-an, beberapa dekade setelah krisis Fordism muncul, perdebatan masih terus berlanjut tentang apakah tatanan post-Fordism yang stabil telah muncul, dan apakah stabilitas Fordist merupakan pengganti dari sistem kapitalis yang rawan krisis dan tidak teratur. Mereka yang percaya bahwa post-Fordism yang stabil telah muncul atau paling tidak layak, melihat fitur utama dari post-Fordism sebagai berikut:
Berbagai ciri post-Fordism tersebut berkembang secara tidak merata, karena adanya kesinambungan penting dengan kondisi Fordism sebelumnya, bahkan di ekonomi kapitalis maju. Post-Fordism juga dapat mengambil bentuk berbeda dalam konteks yang berbeda pula.
Meski pun beberapa pengamat percaya bahwa post-Fordism akan menghasilkan sistem yang stabil, namun masih banyak yang berpendapat bahwa kontradiksi yang melekat pada kapitalisme maju menandakan bahwa kapitalisme tidak lebih mungkin terbukti stabil daripada Fordism sebelumnya.