6 Hambatan dalam Masyarakat Multikultural yang Perlu Diketahui

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang multikultural, memiliki beragam budaya, suku, etnis, agama, kepercayaan, bahasa, dan kesenian. Faktor utama terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia yaitu adanya faktor geografis.

Indonesia terletak pada posisi yang strategis yakni di antara dua benua dan dua samudra. Sehingga, banyak kapal asing yang singgah di kepulauan Indonesia. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penyebaran kebudayaan di Indonesia, sebagai hasil dari proses akulturasi, asimilasi, dan amalgamasi.

Dasar utama untuk mewujudkan masyarakat multikultural adalah multikulturalisme, yang diartikan sebagai pandangan yang mengakui dan mengangungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara personal maupun kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya toleransi dan saling menghormati satu sama lain.

Masyarakat multikultural memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan bentuk masyarakat lainnya. Adapun ciri-ciri masyarakat multikultural antara lain, memiliki rasa toleransi, empati, menghargai perbedaan, bersifat inklusif, dan memiliki kesadaran dalam berintegrasi yang tinggi.

Dalam praktiknya, hidup berdampingan dengan kelompok lain yang memiliki berbagai perbedaan memang tidaklah mudah. Ada saja rintangan dan hambatan dalam mewujudkan masyarakat multikultural yang adil dan menghargai perbedaan.

Berikut adalah beberapa hambatan dalam masyarakat multikultural yang perlu diketahui, antara lain:

1. Etnosentrisme

Ernosentrisme merupakan suatu pandangan yang melekat pada individu atau kelompok dalam masyarakat yang selalu menilai dan mengukur kebudayaan-kebudayaan lain dengan nilai kebudayaan sendiri.

Etnosentrisme juga dapat diartikan sebagai paham yang memandang budaya kelompok sendiri lebih baik daripada budaya kelompok lain.

Paham ini bisa menghambat hubungan dalam masyarakat multikultural yang di dalamnya terdapat banyak beragam golongan. Selain itu, etnosentrisme juga menghambat proses asimilasi dan proses integrasi sosial dalam masyarakat.

2. Pertentangan Antara Budaya Barat dan Timur

Mayoritas masyarakat dunia cenderung menganggap bahwa budaya barat lebih maju dibandingkan dengan budaya timur. Hal tersebut karena budaya barat dipandang progresif dan dinamis (hot culture). Sebaliknya, budaya timur dinilai regresif (mundur) dan statis (cold culture).

Akibatnya, masyarakat cenderung memiliki gaya hidup yang kebarat-baratan (westernisasi). Gaya hidup ini berkembang di berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kebiasaan, kuliner, budaya, sampai dengan hiburan.

3. Pluralisme Budaya Dianggap Eksotis

Pluralisme dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat. Tidak hanya sekedar menghargai, tetapi juga mengizinkan kelompok yang berbeda tersebut untuk selalu memelihara ciri khas dan keunikan budaya masing-masing. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa pluralisme sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Namun, di sisi lain pluralisme budaya akan menjadi suatu hambatan apabila dianggap sebagai suatu yang eksotis semata. Masyarakat yang menganut paham ini menyebut budaya asing yang berbeda dengan budayanya sendiri dengan istilah budaya luar (the other).

Oleh karena itu, budaya asing tidak dinilai dan dihargai sebagai budaya yang punya keunikan tertentu yang berbeda dengan budayanya, melaikan hanya dipandang eksotis dan menarik perhatian saja.

4. Pandangan Paternalistis

Paternalistis umumnya dimaknai sebagai pandangan yang menganggap bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin daripada perempuan. Dampak dari pandangan ini banyak orang yang berpendapat bahwa laki-laki memiliki status dan peran yang lebih unggul serta mendominasi sehingga lebih layak dijadikan pemimpin. Sebaliknya, kedudukan perempuan hanya sebagai subordinasi.

Paternalistis dapat menimbulakn berbagai stereotip bagi kaum perempuan. Contohnya dalam lingkungan sekolah atau kerja, status perempuan masih dianggap rendah, lemah, dependensi, dan tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki.

Selain itu, perempuan kerap dinilai hanya dapat melakukan pekerjaan di ranah domestik (rumah tangga) saja. Padahal, dalam realitas kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa perempuan juga dapat melakukan berbagai pekerjaan di sektor publik sebagai mana yang dilakukan oleh laki-laki.

Pandangan paternalistis dapat mendorong terjadinya ketimpangan peran dan status antara laki-laki dan perempuan. Status laki-laki yang terkesan diagung-agungkan menyebabkan perempuan menjadi korban marginalisasi dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan pendidikan.

5. Indigenous Culture

Indigenous culture merupakan istilah yang diartikan sebagai suatu kebudayaan yang dianggap asli. Di suatu negara yang multikultural seperti Indonesia, harus selalu mengutamakan dan menampilkan kebudayaan nasional bangsa tidak hanya menunjukkan kearifan lokal suatu daerah atau golongan semata.

Jika hal tersebut terjadi, maka akan menyebabkan kecemburuan sosial. Masyarakat akan mencari dan mempertanyakan yang mana sebenarnya kebudayaan asli tersebut. Selain kecemburuan social, situasi ini akan menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional.

Apabila salah satu unsur budaya lokal diangkat menjadi suatu simbol atau logo nasional tanpa dukungan dan persetujuan masyarakat, maka masyarakat akan melakukan protes baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Dengan demikian, penggunaan unsur kebudayaan nasional harus menjadi pilihan utama agar tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.

6. Pandangan Negatif Terhadap Orang Asing

Salah satu hambatan dalam masyarakat multikultural yaitu masarakat lokal cenderung memiliki pandangan negatif terhadap orang asing yang berujar atau berdiskusi tentang kebudayaan masyarakat lokal.

Masyarakat lokal menganggap bahwa orang asing tidak boleh mempelajari dan mengetahui lebih dalam mengenai kebudayaannya. Masyarakat lokal memiliki pendapat bahwa mereka yang paling mengerti dan mengetahui tentang unsur-unsur kebudayaan mereka sendiri. Padahal dalam realitanya masyarakat lokal cenderung apatis dan tidak ingin belajar budaya sendiri.

Sementara itu, banyak orang asing dengan rasa keingintahuan yang kuat pergi belajar dan melakukan observasi secara langsung tentang kebudayaan suatu kelompok. Tidak hanya itu, terkadang orang asing juga aktif melakukan kritik terhadap suatu budaya beserta masyarakatnya.

fbWhatsappTwitterLinkedIn