Sejarah

6 Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penggulingan Rezim di Asia Tenggara

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pada periode Perang Dingin, dua negara adikuasa, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet, saling berlomba menyebarkan ideologi mereka masing-masing. AS mengusung paham liberalis, sementara Soviet paham komunis. Kawasan Eropa awalnya menjadi fokus utama dari keduanya.

Namun, sejak 1949, kawasan Asia khususnya Asia Timur dan Tenggara menjadi target baru bagi AS dan Soviet. Terlebih lagi ketika kelompok komunis Tiongkok berhasil merebut kembali wilayahnya dari kekuasaan dan pengaruh Amerika Serikat.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi AS terhadap negara-negara Asia lainnya. Amerika Serikat akan menerapkan containment policy (kebijakan penahanan) terhadap negara-negara yang menganut paham komunis atau diduga bersekutu dengan Soviet.

Dengan kebijakan tersebut, AS akan memusatkan kekuasaan dan keterlibatannya, baik dalam ranah geografis maupun politik. Tidak dipungkiri bahwa gerakan ini akan memicu berbagai konflik internal hingga penggulingan rezim di negara-negara tersebut.

Berikut ini telah dipaparkan keterlibatan Amerika Serikat di beberapa negara di kawasan Asia tenggara, seperti Filipina, Indonesia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Timor Timur.

1. Filipina

Revolusi Filipina menjadi awal berdirinya Republik Filipina Pertama (1899), mengakhiri pemerintahan kolonial Spanyol (1896-1898) di kepulauan tersebut.

Amerika Serikat yang saat itu berkoalisi dengan kelompok revolusioner Filipina secara bersamaan muncul sebagai pemenang dalam Perang Spanyol-Amerika (1898).

Namun, keterlibatan AS dalam menyingkirkan Spanyol dari Filipina adalah upaya membangun kendalinya sendiri atas kawasan tersebut.

Di bawah Perjanjian Paris, Spanyol menyerahkan klaim kedaulatan dan kepemilikan atas wilayah Filipina kepada Amerika Serikat.

Dua hari sebelum dilakukan ratifikasi terhadap Perjanjian Paris oleh senat AS, tepatnya 4 Februari 1899, pertempuran antara pasukan nasionalis Filipina dan pasukan AS pecah.

Perang Filipina-Amerika berlangsung selama tiga tahun, dari 1899 hingga 1902. Perang berakhir dengan dibubarkannya Republik Filipina diganti dengan pembentukan Pemerintah Kepulauan Filipina pada 1902. Pada 1935, Filipina menjadi negara persemakmuran dengan pemerintahannya sendiri.

Pada 1994, pasukan militer AS melakukan pendaratan di Filipina untuk mengakhiri pendudukan Jepang di kawasan tersebut. Sesuai perjanjian, Amerika Serikat memberikan kemerdekaan penuh kepada Filipina setelah berhasil mengalahkan Jepang.

Pada 1946, Sergio Osmenia membawa pemerintahan Persemakmuran Filipina bertransisi ke negara demokrasi bernama Republik Filipina atau Republik Filipina Ketiga yang berdaulat.

2. Indonesia

Sejak 1957, staf militer AS Dwight D. Eisenhower telah memerintahkan CIA untuk menggulingkan Soekarno dari tampuk kekuasaan Indonesia. Beberapa peristiwa yang secara gamblang memperlihatkan intervensi CIA di Indonesia antara lain Pemberontakan Permesta dan PRRI.

Agen-agen intelijen AS berkeliaran hampir di seluruh Pulau Sumatra dan memasok senjata membentuk kelompok oposisi pemerintah pusat, yang dikenal dengan Operasi HAIK. Namun, kelompok ini selalu gagal dalam berbagai operasinya.

CIA juga melakukan serangan lewat udara dengan menginstruksikan pilot Civil Air Transport (CAT) dengan menargetkan pelayaran komersial, untuk menakut-nakuti kapal dagang asing agar menjauh dari perairan Indonesia.

Tujuan dari operasi ini adalah melemahkan ekonomi Indonesia sehingga stabilitas pemerintah Indonesia berkurang. Meski misi utama gagal, namun beberapa kapal komersial tenggelam dan banyak warga sipil yang tewas akibat pengeboman udara CIA ini.

Pada 18 Mei 1958, Pilot Pope berhasil ditembak jatuh dan ditangkap, Pope kemudian mengungkap keterlibatan AS dalam operasi ini, yang dibantah oleh Eisenhower.

Pemberontakan HAIK akhirnya berhasil dikalahkan pada 1961. Namun, dari sekian banyak upaya penggulingan Soekarno yang dinilai paling menghebohkan adalah propaganda film porno mirip Soekarno dengan wanita berambut pirang dengan judul “Happy Days” pada akhir dekade 1950-an.

Berbagai upaya penggulingan rezim Soekarno terus dilakukan oleh CIA hingga 1965. Peristiwa ini kemudian terungkap dalam 39 dokumen telegram rahasia dari National Security Archive (NSA) di The George Washington University, AS.

Dalam beberapa dokumen telegram rahasia dalam bocoran NSA tersebut, operasi dimulai pada 12 Oktober 1965.

Kedubes AS di Jakarta mengonfirmasi bahwa pemerintah AS selama ini  telah mengetahui, memfasilitasi, dan mendorong pembunuhan massal untuk kepentingan geopolitik negaranya.

Pada 1990, para diplomat AS mengakui telah memberikan ribuan nama terduga pendukung PKI kepada pejabat ABRI, pejabat AS kemudian memeriksa daftar korban tewas di akhir pembantaian.

Berdasarkan pernyataan pihak Kedutaan Jerman, beberapa anggota Angkatan Darat Indonesia mulai mendatangi kantor perwakilan negara-negara Barat yang ada di Jakarta.

Beberapa tentara tersebut mulai merencanakan upaya penggulingan Soekarno dikarenakan sikapnya yang terlalu condong kepada PKI.

Seorang sumber dari diplomat Jerman mengatakan bahwa pada 10 Oktober, para pejabat ABRI menyambangi Soekarno membicarakan pemberontakan PKI pada 30 September yang menculik dan membunuh enam jenderal.

Dalam dokumen rahasia tersebut banyak disebutkan tentang pembunuhan massal terhadap anggota PKI. Terutama dalam dokumen tertanggal 4 November 1965, terdapat laporan terkait upaya pembersihan anggota PKI di Surabaya, terutama Blitar.

Dalam sejarah Indonesia, Blitar memang menjadi salah satu wilayah terakhir yang dikuasai oleh PKI. Operasi Trisula adalah upaya pembersihan PKI di Blitar, dengan taktik gerilya yang berlangsung hingga tahun 1966, serta menewaskan 33  tokoh PKI dan 850 lainnya ditangkap.

Dalam telegram Kedubes AS tertanggal 12 November 1965, sentimen terhadap PKI kemudian meluas menjadi kebencian terhadap warga etnis Tionghoa.

Pada 1967, karena sebagian besar basis pendukung Soekarno telah dibunuh, dipenjara, dan sisanya bersembunyi karena takut, Soekarno akhirnya dipaksa keluar dari istana negara digantikan oleh rezim militer yang otoriter Soeharto.

3. Vietnam

Pada 2 September 1945, tokoh komunis Vietnam Ho Chi Minh mendeklarasikan kemerdekaan Republik Demokrasi Vietnam (RDV) dan dirinya sebagai presiden setelah kekosongan kekuasaan akibat Perang Dunia II.

Namun, 19 Desember 1946, Prancis kembali datang ke Vietnam yang mencetuskan Perang Indochina I atau Perang Prancis-Vietnam. Perang Prancis-Vietnam berakhir setelah dibuatnya Perjanjian Jenewa pada 21 Juli 1954, salah satunya menyatakan membagi Vietnam menjadi dua, yakni Utara dan Selatan.

Vietnam Utara dengan ibukota Hanoi dikuasai oleh Ho Chi Minh, dan Vietnam Selatan dengan ibukota Saigon dikuasai oleh Ngo Dinh Diem. Keduanya sebenarnya ingin menyatukan Vietnam, namun terhalang oleh perbedaan ideologi masing-masing.

Alasan inilah yang kemudian memicu terjadinya Perang Indochina II atau Perang Vietnam (1955-1975). Perang Vietnam tidak lepas dari keterlibatan Amerika Serikat demi memerangi sekutu Uni Soviet, yakni Vietnam Utara.

Pasukan Vietnam Selatan yang didukung oleh peralatan militer AS dan CIA, berhasil menangkap sekitar 100.000 orang dalam operasinya. Sejak 1957, Viet Cong mulai melakukan serangan balik kepada rezim Ngo Dinh Diem. Pada 1960, bersama oposan Ngo Dinh Diem membentuk Front Pembebasan.

Amerika Serikat terus menambah pasukannya. Pada 1962, sebanyak 9.000 tentara AS telah berada di Vietnam. Hingga November 1967, pasukan AS yang berada di Vietnam Selatan telah berjumlah lebih dari 500.000 tentara.

Australia, Thailand, Selandia Baru, dan Korea Selatan juga mengerahkan pasukan mereka ke Vietnam Selatan namun dalam skala lebih kecil. Di sisi lain, rezim Ho Chi Minh dari Vietnam Utara terus memperkuat pertahanan udaranya dengan dukungan dari Uni Soviet dan China.

Seiring berjalannya waktu, keterlibatan AS di Perang Vietnam mulai diragukan pasukannya sendiri dan ditentang oleh rakyat Amerika. Hal ini dikarenakan telah banyak menimbulkan kerusakan fisik dan psikologis terhadap pasukannya sendiri.

Antara 1966 hingga 1973, muncul gerakan anti-perang dan protes besar, baik di Vietnam maupun di AS. Pada 1968, terjadi perundingan antara AS dan Vietnam Utara di Paris namun berakhir pada kebuntuan. Kanaikan Richard Nixon menjadi Presiden AS pada 1969, AS kembali melakukan manuver yang memperparah kekejaman Perang Vietnam

Perang diakhiri dengan penandatanganan perjanjian perdamaian antara Amerika Serikat dan Vietnam Utara pada Januari 1973, yang juga mengakhiri permusuhan terbuka antara keduanya. Meski telah berdamai dengan AS, konfrontasi antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara masih terus berlanjut hingga 30 April 1975.

Setelah Vietnam Selatan di bawah rezim Ngo Dinh Diem menyerah, Perang Vietnam bisa dikatakan benar-benar berakhir. Hingga saat ini, Republik Sosialis Vietnam masih menggunakan ideologi komunis, khususnya dalam bidang politik.

4. Laos

Harapan rakyat Laos akan kedaulatan penuh seketika sirna saat Perjanjian Jenewa 1953 disahkan. Dalam perjanjian ini, Laos memperoleh kemerdekaan dari Prancis dan berhak memerintah dengan sistem monarki konstitusional.

Namun, hal ini justru membuat persaingan antara kelompok komunis Pathet Lao dan pemerintah Kerajaan Laos semakin meruncing.

Selama hampir dua dekade ke depan, kedua kubu saling berebut kekuasaan. Keadaan semakin kacau setelah pasukan Vietnam Utara di wilayah tenggara Laos ikut terlibat dalam konfrontasi. Misi utama dari pasukan ini adalah mendukung dan memastikan ketersediaan pasokan logistik bagi kelompok Pathet Lao.

Dalam pertempuran sebelumnya, pasukan Vietnam Utara turut membantu Front Pembebasan Nasional (NLF) ketika konflik Vietnam meletus. NLF terdiri dari kelompok gerilyawan dan tentara komunis semasa Perang Vietnam.

Sejak 1945, pemerintah Kerajaan Laos telah berusaha menyingkirkan pengaruh militer dan ideologi Vietnam Utara di kawasan Laos. Namun, agaknya Vietnam Utara tak berniat meninggalkan Laos yang telah dianggap saudara sedarah oleh Vietnam.

Amerika Serikat yang mengetahui hampir separuh rakyat Laos menganut paham Komunisme, mulai mengambil langkah cepat.

CIA secara diam-diam menjalankan operasi rahasia dengan merekrut 30.000 orang Laos yang sebagian besar dari suku Hmong, Mien, dan Khmu. Pelatihan dipimpin oleh Vang Pao, Jenderal Angkatan Darat Kerajaan Laos.

Kerajaan Laos didukung oleh pasukan Thailand, Tentara Rakyat Vietnam (PAVN), dan Front Pembebasan Nasional (NLF) berusaha menyingkirkan kaum Pathet Lao yang juga didukung oleh pasukan Vietnam Utara dari wilayah Laos.  

Pada 1973, konflik secara berangsur mereda melalui inisiatif Kesepakatan Damai Paris. Dalam perjanjian ini, Amerika Serikat diharuskan menarik diri dari Laos, sebaliknya pasukan Vietnam Utara tidak diharuskan menarik pasukannya dari Laos.

Antara 1974-1975, situasi Laos relatif stabil tanpa adanya gesekan dari dua kubu yang berseberangan. Namun, setelah Perdana Menteri Souvanna Phouma harus dibawa ke Prancis akibat serangan jantung, gempa politik mengguncang Laos karena pemerintahan dikuasai oleh birokrat korup.

Kelompok Komunis Pathet Lao secara perlahan mengambil alih pemerintahan dan berhasil menduduki ibukota. Pemberontakan hampir di seluruh wilayah Laos dilakukan secara terus menerus, hingga Perang Saudara kembali terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh kelompok Komunis Pathet Lao.

5. Kamboja

Pada 1955, Pangeran Sihanouk naik ke tampuk kekuasaan tertinggi Kamboja dengan menerapkan sistem demokrasi parlementer demokrasi. Ia juga mengubah ideologi nasional menjadi ideologi Sosialisme Buddha.

Selama bertahun-tahun memimpin, Sihanouk telah menjauhkan Kamboja dalam keterlibatan Perang Vietnam dengan menjalin persahabatan dengan negara-negara Komunis, seperti Tiongkok dan Vietnam Utara. Pada 1963, Sihanouk memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan pemerintah Amerika Serikat.

Keputusan Sihanouk tersebut menimbulkan konflik dan kekecewaan bagi golongan oposisi di Kamboja. Konflik semakin meruncing ketika rezim Sihanouk melakukan korupsi dan pemborosan secara besar-besaran yang mengakibatkan ekonomi Kamboja melemah.

Kelompok Khmer Merah yang dipimpin Lon Nol kemudian melakukan pemberontakan dan kudeta terhadap rezim Sihanouk, dan berakhir menguasai pemerintahan Kamboja. Lon Nol kemudian mendirikan Republik Khmer didukung pemerintah Amerika Serikat.

Di Phnom Penh, rezim Lon Nol awalnya populer terutama terkait janji mereka untuk menyingkirkan pasukan Komunis Vietnam dari Kamboja. Namun faktanya, konfrontasi yang mereka buat menyeret Kamboja sepenuhnya ke dalam konflik Vietnam.

Pada 1970, koalisi gugus tugas pasukan Amerika Serikat dan Vietnam Selatan menyerbu Kamboja timur, namun pasukan komunis telah mundur ke barat. Pada 1973, dukungan Vietnam Utara untuk komunis Kamboja berangsur berkurang , menyusul dibuatnya kesepakatan perang dengan Amerika di Paris.

Kesepakatan ini menuai protes dan keengganan dari komunis Kamboja untuk mematuhinya. Geram karenanya, komunis Kamboja menjadi sasaran pengeboman udara besar-besaran oleh pasukan AS, meski AS tidak memiliki keterlibatan langsung dengan pemerintahan Kamboja.

Pengeboman ini berdampak pada melambatnya serangan komunis di Kamboja. Dua tahun kemudian, terjadi perang saudara yang diakhiri dengan berkuasanya komunis hampir di setiap wilayah Kamboja.

Sementara rezim Lon Nol yang hanya mampu menguasai wilayah Phnom Penh terus menerima bantuan dari AS, guna meningkatkan peluang kemenangan pertempuran.

Pada April 1975, pemerintah Lon Nol akibat kudeta dari pasukan komunis yang secara cepat memasuki Phnom Penh. Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, Phnom Penh dan kota-kota lain di seluruh negeri dikosongkan.

Ribuan penduduk kota tewas dalam upaya pemindahan paksa, dan semakin memburuk di tahun-tahun berikutnya.

6. Timor Timur

Pada 7 Desember 1975, Indonesia melakukan invasi ke Timor Timur. Indonesia di bawah rezim Soeharto berdalih agresi militer tersebut sebagai bentuk antikolonialisme, meski tujuan sebenarnya adalah upaya menggulingkan rezim Fretilin yang sejak setahun sebelumnya telah berkuasa di Timor Timur.

Sebuah dokumen yang dirilis Independen National Security Archive tahun 2005, setahun sebelum terjadinya invasi, Amerika Serikat telah mengetahui rencana tersebut.

Dalam dokumen lain yang disiarkan Indoleaks, diketahui telah terjadi pertemuan antara Soeharto dengan Presiden AS Gerald Ford di Camp David, Maryland, AS pada Juli 1975.

Dalam dokumen ini seolah memperkuat bukti bahwa AS secara eksplisit menyetuji invasi militer Indonesia, karena tidak ingin Timor Timur dikuasai komunis. Washington menjalankan “kebijakan diam” serta menekan pers untuk tidak menurunkan berita tentang Timor Timur, termasuk laporan pembantaian penduduk sipil Timor.

Tujuan AS membungkam pers adalah untuk mencegah Kongres menerapkan embargo terhadap peralatan militer yang mereka kirim ke Indonesia.

Pada 1977, Presiden AS Jimmy Carter juga melakukan cara ini guna menggagalkan upaya pembeberan telegraf berisi catatan pertemuan antara Presiden AS Ford, Presiden Soeharto, dan Menteri Luar Negeri AS Kissinger.

Soeharto dalam dokumen tersebut menyinggung bahwa rakyat yang menginginkan kemerdekaan penuh Timor Timur adalah mereka yang telah terpengaruh oleh paham komunis. Ia juga menyatakan bahwa dengan wilayah teritorial kecil dan minim sumber daya, Timor Timur tidak layak menjadi negara berstatus merdeka.

Pendudukan dan invasi Indonesia ke Timor Timur secara berangsur mulai berkurang ketika turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pemerintah Indonesia Mei 1998.

Pada 30 Agustus 1999, oleh Presiden B. J. Habibie diadakan referendum kemerdekaan di Timor Timur sebagai tanda berakhirnya pendudukan Indonesia di wilayah Timor Timur.