7 Keterlibatan Amerika Serikat dalam Politik Timur Tengah

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dikenal kerap mencampuri, baik secara terselubung maupun terang-terangan, urusan dalam negeri negara lain. Terutama negara-negara dunia ketiga dan Timur Tengah. Kebijakan politik luar negeri AS ini telah berlangsung sejak lama, bahkan dalam pergantian rezim negara tertentu.

Keterlibatan AS dalam pergantian rezim di Timur Tengah telah banyak diungkap lewat dokumen-dokumen rahasia yang tersebar ke publik. AS menginginkan pemimpin negara-negara tersebut bisa mereka kendalikan, demi meraup keuntungan dari sumber daya negara tersebut.

1. Suriah

Pada akhir Oktober 1956, CIA membuat rencana kudeta bernama “Operasi Straggle”, untuk melawan politisi sipil Nasseris Sabri AL-Asali di Suriah.

Namun rencana itu ditunda karena bertepatan dengan invasi Israel ke Mesir. Rencana operasi ini tidak jadi dijalankan karena sudah terlanjur terungkap, dan pasukan AS ditarik kembali ke negaranya.

Pada 1957, CIA kembali membuat rencana kudeta kedua, “Operasi Wappen”, yang didalangi oleh Kermit Roosevelt Jr.

Mereka menyerukan tentang pembunuhan terhadap pejabat senior Suriah yang terlibat insiden militer di perbatasan Suriah, dengan mengkambinghitamkan Suriah. Kemudian digunakan sebagai dalih invasi pasukan Irak dan Yordania.

Namun, operasi ini juga gagal karena salah satu perwira militer Suriah yang telah disuap jutaan dolar untuk melakukan kudeta berbalik mengungkap rencana tersebut kepada intelijen Suriah.

Rencana ketiga CIA pada 1957, “Rencana Pilihan”, bersama Inggris, CIA berencana untuk mempersenjatai beberapa pemberontakan, namun rencana ini tidak pernah dilakukan.

Pada 2005, Presiden Bush membekukan hubungan AS dengan Suriah. Pemerintah AS kemudian mulai menyalurkan dana terselubung ke kelompok oposisi, termasuk saluran satelit elit BaradaTV dan kelompok Gerakan Keadilan dan Pembangunan Suriah.

Dukungan terus berlanjut hingga pemerintahan Obama, ia berdalih AS ingin membangun kembali hubungan dengan Presiden Suriah Bashar Al-Assad.

Setelah pecahnya perang sipil Suriah pada awal 2011, tiga senator AS John McCain, Lindsey Graham, dan Joe Lieberman mendesak Presiden Obama untuk bertindak lebih lanjut terkait Suriah. Pada Agustus 2011, pemerintah AS memerintahkan Assad untuk “menyingkir” dan melakukan embargo minyak terhadap pemerintah Suriah.

Sejak 2013, AS mulai memberikan berbagai pelatihan militer, persenjataan, dan pendanaan untuk mencegah terjadinya pemberontakan dari kelompok moderat Suriah.

Pada 2014, pendanaan dilanjutkan ke Dewan Militer Tertinggi Suriah. Setahun berikutnya, Obama menegaskan kembali bahwa Assad harus “menyingkir” dari pemerintahan Suriah.

Namun demikian, menurut menteri luar negeri AS Rex Tillerson, nasib Assad ditentukan oleh rakyat Suriah. Sementara itu, keberlanjutan program dari departemen Pertahanan AS dalam membentu sebagian besar pemberontak Kurdi untuk melawan Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) terungkap pada Juli 2017, ketika Presiden Trump memerintahkan “penghapusan bertahap” dari dukungan CIA dalam pemberontakan anti-Assad.

2. Mesir

Pada Februari 1952, salah satu staf CIA Kermit Roosevelt Jr dikirim oleh Departemen Luar Negeri AS untuk bertemu Farouk I dari Kerajaan Mesir guna memperkenalkan reformasi yang nantinya mampu melemahkan daya tarik kaum radikal Mesir serta menstabilkan cengkeraman kekuasaan Farouk di Mesir.

Upaya ini dilakukan menyusul kerusuhan pada Januari di Kairo, di tengah meluasnya ketidakpuasan nasionalis atas berlanjutnya pendudukan Inggris di Terusan Seuz, serta kekalahan Mesir dalam Perang Arab-Israel Tahun 1948.

Sebelumnya pemerintah Amerika Serikat telah diberitahu bahwa akan terjadi kudeta pada Juli 1952, yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira militer Mesir nasionalis dan anti-komunis.

Kudeta ini berhasil menggulingkan monarki Mesir dan diganti dengan Republik Mesir yang di pimpin oleh Mohamed Naguib dan Gamal Abdel Nasser.

Perwira CIA Miles Copeland Jr dalam memoarnya menceritakan bahwa Rooselvelt Jr adalah pihak yang membantu mengoordinasikan tiga pertemuan antara pemerintah monarki Mesir dengan para oposisi (termasuk Nasser) selama kudeta berlangsung.

Pernyataan tersebut dibantah oleh Roosevelt Jr dan beberapa orang Mesir dalam pertemuan yang diadakan antara pemerintah AS dan Mesir. Sementara pejabat AS lainnya, seperti William Lakeland, masih mempertanyakan kebenaran akan hal tersebut.

3. Iran

Penemuan minyak di Iran pada akhir abad ke-19, menarik perhatian kekuatan besar negara-negara Barat untuk mengeksploitasi kelemahan pemerintah Iran yang telah dipimpin Shah Mohammad Reza Pahlevi sejak 1944, guna mendapatkan konsesi seluas-luasnya namun gagal memberi bagian keuntungan yang adil bagi Iran.

Sejak Perang Dunia II, pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet telah melakukan intervensi dalam politik Iran. Termasuk dalam invasi Anglo-Soviet Iran pada 1942.

Para pejabat Iran mulai sadar jika pajak yang dibebankan oleh Inggris terus meningkat, sementara royalti yang didapat pemerintah Iran semakin menurun.

Pada 1948, dibanding Iran, pemerintah Inggris menerima pendapatan yang jauh lebih besar dari Anglo-Iranian Company (AIOC). Berbagai negosiasi yang dilakukan untuk mengatasi kekhawatiran Iran dan kesenjangan yang terjadi, bukannya mampu meredam ketegangan melainkan memperkeruh hubungan antara keduanya.

Pada 15 Maret 1951, parlemen Iran meloloskan sebuah undang-undang yang telah diperjuangkan oleh politisi reformis Iran, Mohammad Mosaddegh, tentang kebijakan menasionalisasi AIOC.

Dua hari berselang, undang-undang tersebut akhirnya disetujui oleh Senat Iran. Lima belas hari berikutnya, Mohammad Mosaddegh terpilih dan dilantik menjadi Perdana Menteri Iran.

Menanggapi kebijakan ini, negara-negara Barat memboikot industri perminyakan Iran. AS melalui CIA mendukung 18 kandidat yang bersekutu dengan mereka dalam pemilihan legislatif Iran tahun 1952. Sementara Mosaddegh diberi kekuasaan darurat oleh parlemen baru untuk melemahkan rezim Shah, yang menyebabkan terjadinya perebutan konstitusi antar keduanya.

Pada akhir 1952, setelah terpilihnya Dwight D Eisenhowe sebagai presiden AS, CIA meluncurkan Operasi Ajax yang disutradarai oleh Kermit Roosevelt Jr dibantu Norman Darbyshire untuk menyingkirkan Mosaddegh. Operasi dilakukan melalui upaya diplomasi dan penyuapan terhadap Shah Pahlevi dan para pengikutnya.

Pada 1953, terjadi kudeta yang dikenal sebagai Kudeta 28 Mordad, yang didalangi oleh badan intelijen  Amerika Serikat dan Inggris. Kudeta ini menjadi berakhir dengan transisi rezim Shah Pahlevi dari monarki konstitusional menjadi otoriter, yang sangat bergantung pada dukungan pemerintah Amerika Serikat.

Namun, dukungan itu menghilang selama Revolusi Iran 1979 akibat pasukan Iran menolak menembak ke arah massa. Hingga Agustus 2013, CIA tidak mengakui bahwa mereka terlibat dan bertanggung jawab terhadap upaya kudeta Iran. Sementara Modaddegh dijatuhi hukuman kurungan tiga tahun pada 21 Desember 1953.

4. Irak

Beberapa sumber menyatakan bahwa kudeta Irak pada Februari 1963 yang menghasilkan pemerintahan Ba’athis didalangi oleh CIA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Presiden Kennedy, bahwa kudeta Irak hampir memberikan keuntungan bersih bagi AS.

Tareq Y Ismail dan Glenn E Perry juga menyatakan bahwa pasukan Ba’ath bekerja sama dengan CIA untuk menggulingkan Qasim pada 8 Februari 1963.

Sebelum kudeta, AS telah menawarkan dukungan material kepada Ba’ath, di tengah pembersihan kekejaman Irak terhadap bangsa Kurdi. Pada November 1963, rezim Ba’ath runtuh akibat masalah penyatuan dengan Suriah.

Selama dan setelah Perang Teluk 1991, AS memberikan sinyal yang mendorong pemberontakan melawan Saddam Hussein yang telah berkuasa sejak Juli 1979 di Irak.

Pada 24 Februari 1991, beberapa hari setelah gencatan senjata dimulai, stasiun radio Voice of Free Iraq, yang didanai dan dioperasikan CIA, menyerukan perlawanan terhadap Saddam Hussein kepada rakyat Irak.

Ekspektasi AS terkait kudeta Irak lenyap ketika terjadi serangkaian pemberontakan di seluruh wilayah Irak tepat setelah Perang Teluk.

Sementara pemerintahan Bush harus menghadapi kritik keras dari penduduk dalam maupun luar Irak, karena tidak membantu para pemberontak setelah membangkitkan mereka untuk melawan pemerintahan mereka sendiri.

Dewan Kamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang awalnya menjatuhkan sanksi terhadap Irak pada Agustus 1990, di bawah resolusi 661 memaksa pemerintah Irak menarik diri dari pendudukan mereka di Kuwait. Namun Irak menolak untuk menarik pasukannya, yang berbuntut pada Perang teluk II tahun 1991.

Setelah Perang Teluk II berakhir, pemerintah AS berhasil mengadvokasi agar sanksi terhadap Irak tetap berlalu namun dengan revisi.

Termasuk keterkaitan dengan penghapusan terhadap senjata pemusnah massal, meski larangan sebelumnya terkait bahan makanan harus dicabut. Bahkan hingga rezim Saddam Hussein diperkirakan akan runtuh, sanksi tidak akan dicabut kecuali Saddam digulingkan.

Dalam operasi selanjutnya, CIA meluncurkan DBADHILLES dengan merekrut Ayad Allawi, kepala Kesepakatan Nasional Irak, sebuah jaringan di Irak yang menentang rezim Saddam Hussein. Dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki Allawi, CIA melakukan kampanye sabotase dan pengeboman di Baghdad antara 1992 hingga 1995.

Pada 1998, pemerintah AS memberlakukan Undang-Undang Pembebasan Irak secara terbuka, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat mendukung upaya penghapusan rezim yang dipimpin Saddam Hussein dari kekuasaan di Irak. AS juga mengalokasikan dana bantuan untuk organisasi oposisi demokratik Irak.

Terpilihnya Bush sebagai presiden AS, membuat AS bertindak lebih agresif dari sebelumnya terhadap Irak. Bush juga mengklaim bahwa Saddam Husseim memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, terduga pelaku serangan 9/11.

Secara terbuka, pemerintah AS melalui Presiden Bush menyatakan bahwa Saddam Hussein telah memproduksi senjata pemusnah massal, meski hal ini tidak pernah terbukti kebenarannya.

Pada 2002, Kongres meloloskan Resolusi Irak yang memberi wewenang kepada presiden untuk menggunakan segala cara dalam melawan Irak.

Pada Maret 2003, Perang Irak pecah ketika pasukan koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat melakukan invasi dan berupaya menggulingkan pemerintah Irak.  

Setelah beberapa minggu perang berkecamuk, pasukan AS berhasil menangkap Saddam Hussein dan mengadilinya dengan hukuman gantung. Diantara peperangan yang terjadi, baik antara pasukan Irak, koalisi, dan perang saudara antar kelompok Sunni dan Syia’ah masih terus berlanjut hingga sekarang.

Perang Irak dinyatakan berakhir dengan pernyataan terkait penutupan misi militer pasukan AS di Irak oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta pada 15 Desember 2011. Namun, pasukan AS kembali ke Irak untuk menghentikan kebangkitan Negara Islam Irak dan Levant (ISIL). misi mereka dinyatakan berakhir pada 9 Desember 2021.

5. Afghanistan

Kenaikan Republik Demokratik Afghanistan ke tampuk kekuasaan dalam Revolusi Saur pada 1978, tidak lepas dari dukungan Uni Soviet. Sejak 3 Juli 1979 hingga Desember 1979, pemerintah AS membuat program pendanaan dan senjata pada kumpulan panglima perang dan beberapa faksi gerilyawan jihad yang dikenal sebagai “mujahidin Afghanistan” guna menggulingkan rezim Afghanistan bentukan Uni Soviet.

Melalui Inter-Service Intelligence (ISI) Pakistan, CIA menyalurkan dana, senjata, dan pelatihan untuk para pejuang Afghanistan. Beberapa militan yang didanai oleh CIA nantinya akan menjadi bagian dari Al-Qaeda, termasuk Osama bin Laden.

Dukungan ini berakhir pada Januari 1992, sesuai kesepakatan AS dengan Soviet untuk mengakhiri intervensi eksternal keduanya di Afghanistan.

Pada 7 Oktober 2001, empat minggu setelah serangan 9/11 oleh terduga Al-Qaeda, Amerika Serikat melakukan invasi ke Afghanistan yang sejak 1996 dibawah kendali rezim Taliban. Di bawah kepemimpinan Taliban, intervensi oleh warga negara asing terutama Barat di Afghanistan sangat dibatasi.

Presiden AS George Bush mengatakan bahwa tujuan invansi mereka adalah untuk menangkap Laden dan membawanya ke pengadilan internasional.

Pada 14 Oktober 2001, Bush menolak tawaran dari pemimpin Taliban Mullah Omar untuk membahas pengiriman Laden ke Negara Ketiga. Sementara pihak Taliban juga menolak untuk mengekstradisi Laden.

Pada akhir Oktober, AS mengubah tujuan mereka menjadi upaya menyingkirkan Taliban dari Afghanistan. Dari 6 hingga 7 Desember 2001, tim pejuang Aliansi Utara, di bawah arahan pasukan khusus AS, melakukan pengejaran terhadap Osama bin Laden di sekitar kompleks gua Tora Bora, Afghanistan timur. Selama pengejaran, Laden melarikan diri ke negara tetangga, Pakistan.

Pada bulan yang sama, rezim Taliban jatuh digantikan Administrasi Sementara Afghanistan. Pada 2002, berganti menjadi Negara Islam Transisi Afghanistan, kemudian berganti lagi menjadi Republik Islam Afghanistan pada 2004.

Pada Mei 2011, Osama bin Laden tertangkap dan dibunuh oleh tim SEAL AS dalam penggrebekan di kediaman klandestinnya, Pakistan.

Meski pun demikian, pasukan AS tetap berada di Afghanistan guna menopang rezim Hamid Karzai dan Ashraf Ghani. Pada Februari 2020, Presiden trump membuat kesepakatan dengan Taliban untuk menarik pasukannya dari Afghanistan.

Pada April 2021, Presiden Joe Biden mengumumkan penarikan secara penuh pasukan AS dari Afghanistan pada Agusutus 2021, diikuti kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan Afghanistan.

6. Palestina

Kemenangan 56% kursi pemerintahan Hamas di pemilihan legislatif Palestina 2006 menimbulkan kemarahan rezim Bush. Pemerintah Amerika Serikat berupaya menggulingkan rezim Perdana Menteri Ismail Haniyeh di Hamas dengan menekan faksi Fatah yang dipimpin oleh Otoritas Nasional Palestina.

Amerika Serikat juga menyediakan dana puluhan juta dolar untuk pelatihan militer rahasia serta program persenjataan. Pendanaan ini awalnya diblokir oleh Kongres karena dikhawatirkan senjata yang diberikan akan digunakan pemerintah Palestina untuk menyerang Israel. Akhirnya semua berjalan sesuai rencana AS, Fatah melancarkan serangan ke rezim Haniyeh.

Sebelum meluas menjadi Perang Saudara Palestina, pemerintah Arab Saudi berusaha berunding terkait gencatan senjata diantara kedua belah pihak. Namun, pemerintah Amerika Serikat menekan faksi Fatah untuk menolak rencana Arab Saudi dan tetap melanjutkan upayanya dalam menggulingkan rezim Haniye di Hamas.

Pada akhir konflik, pemerintah Hamas yang dipimpin Ismail Haniye dilarang untuk memerintah seluruh wilayah Palestina. Keduanya berpencar dengan Fatah mundur menuju wilayah Tepi Barat, serta Hamas mundur dan mengambil alih jalur Gaza.

7. Libya

Pada Februari 2011, muncul gerakan revolusi yang bertujuan melawan rezim Muammar Gaddafi yang telah memimpin Libya sejak 1969. Gerakan ini secara cepat menyebar dari kota Benghazi menuju ke ibukota Libya, Tripoli. Perang Saudara Libya pertama tidak terelakkan lagi dampak kerusuhan antar dua kubu yang saling menyerang.

Pada 17 Maret, Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1973 diadopsi, yang melarang zona penerbangan di atas wilayah Libya serta “semua tindakan yang diperlukan” guna melindungi warga sipil. Dua hari berikutnya, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis melakukan intervensi militer ke Libya, yang diberi nama Operasi Odyssey Dawn.

Pasukan angkatan laut AS dan Inggris menembakkan lebih dari 110 rudal jelajah Tomahawk. Diikuti serangan mendadak oleh pasukan angkatan udara Inggris dan Prancis, serta blokade laut dari ketiga pasukan koalisi tersebut.

Di bawah pimpinan NATO, 27 negara di Eropa dan Timur Tengah dengan segera melakukan koalisi dan berbagai intervensi, baik politik maupun militer dengan dalih Operasi Persatuan Pelindung. Pada Agustus 2011, rezim yang dipimpin Muammar Gaddafi runtuh.

Gaddafi ditangkap dan dibunuh oleh Dewan Transisi Nasional Libya pada Oktober 2011, segala intervensi NATO pun ikut berhenti. Pada April 2016, Presiden AS Barack Obama menyatakan bahwa ia merasa tindakan intervensi terhadap rezim Muammar Gaddafi adalah hal yang benar untuk dilakukan.

fbWhatsappTwitterLinkedIn