Daftar isi
Konvensi Jenewa merupakan serangkaian aturan yang terdiri atas empat perjanjian dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar hukum internasional terkait aturan dalam memperlakukan warga sipil, tawanan dan prajurit perang yang berada dalam kondisi tidak mampu bertempur.
Keempat Konvensi Jenewa secara resmi telah diratifikasi secara universal oleh negara-negara di dunia. Sementara beberapa protokol tambahan tahun 1977 sebagian besar telah dimasukkan dalam hukum kebiasaan internasional, yang mengikat semua negara dan pihak yang sedang berkonflik.
Kunjungan pengusaha dan aktivis sosial Swiss, Henry Dunant pada 1859 di kamp-kamp peristirahatan para tentara yang terluka selepas Pertempuran Solferino merupakan awal mula tercetusnya Konvensi Jenewa. Dunant terkejut ketika melihat kurangnya berbagai fasilitas dan tenaga medis yang tersedia guna membantu para prajurit tersebut.
Pada 1862, Henry Dunant menerbitkan sebuah buku berjudul A Memory of Solferino yang berisikan tentang kengerian perang dan berbagai pengalamannya di masa perang.
Hal ini juga mengilhaminya untuk mengusulkan dua proposal terkait peperangan, yaitu pembentukan lembaga bantuan kemanusiaan permanen di masa perang dan perjanjian antar pemerintah yang mengakui netralitas lembaga tersebut, serta mengizinkannya memberikan bantuan di zona perang.
Proposal pertama disetujui dengan dibentuknya Palang Merah di Jenewa, Swiss pada 5 Mei 1864. Dilanjutkan dengan dibentuknya Konvensi Jenewa 1864, merupakan perjanjian internasional pertama yang ditujukan untuk melindungi tentara yang terluka dan sakit ketika di medan perang.
Pada 22 Agustus 1864, pemerintah Swiss mengadakan konferensi diplomatik resmi dengan mengundang seluruh perwakilan pemerintah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, dan Brasil. Total ada dua puluh enam delegasi dari enam belas negara yang dikirim ke Jenewa, Swiss.
Dalam konferensi ini terbentuk Konvensi Jenewa I yang berfokus pada perbaikan kondisi tentara yang terluka di medan perang. Terdapat 12 perwakilan dari berbagai kerajaan dan negara bagian yang ikut menandatangani Konvensi Jenewa I, diantaranya Konfederasi Swiss, Kerajaan Belgia, Kerajaan Belanda, Kerajaan Denmark, Kerajaan Spanyol, Kekaisaran Prancis, Kerajaan Italia, Kerajaan Wuttemberg, Kerajaan Portugal dan Algarve, Negara Bagian Baden, Kerajaan Prusia, dan Negara Bagian Hesse.
Berkat kedua prestasi dan pencapaian tersebut, pada 1901, Henry Dunant dianugerahi sebagai salah satu penerima Nobel Perdamaian pertama.
Penerbitan artikel tambahan tentang “Kondisi Orang yang Terluka dalam Perang” pada 20 Oktober 1868, merupakan upaya lanjutan dari kegagalan perluasan beberapa aturan konvensi 1864 serta perluasan aturan perang laut. Beberapa pasal ini ditandatangani, namun hanya diratifikasi oleh pemerintah Belanda dan Amerika Serikat, meski kemudian pihak Belanda menarik ratifikasi mereka.
Aturan mengenai perlindungan bagi korban perang laut, nantinya diwujudkan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag ke-10 1907.
Pada 6 Juli 1906, pemerintah Swiss mengadakan sebuah konferensi yang dihadiri sebanyak 35 negara guna meninjau dan memperbarui Konvensi Jenewa I.
Dalam konferensi ini telah terjadi amandemen yang memperluas perlindungan bagi korban terluka atau ditangkap dalam pertempuran serta sukarelawan dan personel medis yang bertugas merawat, mengangkut, dan memindahkan korban yang terluka dan terbunuh.
Aturan ini juga menjadikan repatriasi bagi para tentara yang tertangkap. Selain itu, Konvensi 1906 menjadi pengganti Konvensi Jenewa I tahun 1864.
Setelah Perang Dunia I, penerapan Konvensi 1906 dan Konvensi Den Haag tidak berjalan cukup baik, sehingga pada 1929, dilakukan pembaruan guna memajukan perlakuan beradab terhadap tawanan perang. Pembaruan baru ini menyatakan bahwa semua tahanan harus diperlakukan dengan baik dan sesuai peri kemanusiaan.
Selain itu, juga ditetapkan aturan terkait kehidupan sehari-hari bagi para tahanan dan pendirian Palang Merah Internasional sebagai organisasi netral utama yang bertanggung jawab dalam mengumpulkan dan mengirimkan data tentang tawanan perang, baik yang terluka maupun sudah terbunuh.
Selama negosiasi Konvensi Jenewa IV (1949), pemerintah Inggris dan Prancis banyak menghapus beberapa aturan dari draft awal yang mereka anggap aturan tersebut tidak menguntungkan bagi pemerintahan kolonial mereka.
Hal ini dikarenakan telah berubahnya sifat dari konflik bersenjata sejak dimulainya Perang dingin, yang membuat banyak orang percaya bahwa isi dari Konvensi Jenewa 1949 jauh dari realitas yang ada.
Selama Perang Dingin berlangsung, sebagian konflik bersenjata berubah menjadi perang internal atau perang saudara. Di sebagian besar lain, perang menjadi semakin asimetris di mana konflik bersenjata modern semakin banyak menimbulkan korban dari kalangan masyarakat sipil.
Hal ini tentu saja membawa kebutuhan baru pada perlindungan nyata terhadap orang dan objek sipil selama pertempuran berlangsung. Implikasi dari peristiwa ini membawa pembaruan dan perluasan mendesak dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Sebanyak 196 negara turut serta dalam ratifikasi Konvensi 1949.
Dengan adanya perkembangan dan perubahan sifat dari konflik yang tengah berlangsung, pada 1977 telah diadopsi dua Protokol yang memperpanjang aturan atau ketentuan dalam Konvensi 1949 dan beberapa aturan atau perlindungan tambahan bagi para korban konflik, baik dari kalangan militer maupun sipil.
Pada 2005, telah ditambahkan Protokol ketiga yang mengatur tentang perlindungan tambahan terkait layanan medis, yaitu ‘Kristal Merah’, sebagai alternatif pengganti dari lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang ada di mana-mana, bagi negara-negara yang tidak dapat menerima.
Konvensi Jenewa merupakan aturan yang hanya berlaku ketika konflik sedang berlangsung guna melindungi baik yang ikut maupun tidak turut serta dalam peperangan.
Termasuk di dalamnya hak-hak yang harus didapatkan oleh para anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit, maupun tewas di medan perang atau karam di laut, tawanan perang, dan masyarakat sipil.
Terdapat beberapa fungsi dan kegunaan dari penerapan Konvensi Jenewa selama masa perang, antara lain:
Selain menjadi pemenuh hak-hak bagi otoritas yang sedang berkonflik, Konvensi Jenewa juga digunakan sebagai alat pelindung bagi otoritas atau negara yang tidak ikut serta dalam konflik bersenjata dengan tetap menjaga kepentingan atau hubungan dengan negara-negara yang sedang terlibat konflik.
Negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik akan menjadi mediator yang memungkinkan arus komunikasi antar negara yang sedang berkonflik berjalan stabil. Serta juga menjadi pihak yang memantau implementasi dari Konvensi ini, seperti dengan mengunjungi zona konflik dan tawanan perang. Secara tidak langsung, mereka menjadi advokat bagi para tawanan yang terluka maupun warga sipil.
Konvensi Jenewa berfungsi sebagai juga dapat digunakan sebagai alat perlindungan dari pelanggaran berat, yaitu kejahatan perang. Kejahatan perang yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa antara lain, seperti pembunuhan secara sengaja, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi (percobaan biologis), dan perampasan hak individu.
Dalam Konvensi Jenewa IV juga disebutkan beberapa pelanggaran berat selama perang, seperti pengambilan sandera, penghancuran dan perampasan properti, deportasi, pengurungan yang tidak sesuai peraturan perundangan, dan pemindahan tawanan secara ilegal.
Negara-negara yang turut dalam penandatanganan Konvensi Jenewa harus benar-benar memberlakukan dan menerapkan UU terhadap pihak yang melakukan kejahatan perang. Mereka juga berkewajiban mengadili sesuai peraturan yang berlaku tanpa memandang kewarganegaraan dan lokasi kejahatan dilakukan.
Para anggota bersenjata yang menjadi tawanan perang, tidak akan diadili kecuali berdasarkan tuduhan terhadap kejahatan perang yang mereka lakukan.
Berdasarkan Pasal 43 dalam Konvensi Jenewa IV (1949), tentara dipekerjakan untuk tujuan berperang serta terlibat dalam konflik bersenjata yang merupakan sesuatu yang sah, dan bukan merupakan pelanggaran berat.
Apabila seorang tentara ditangkap oleh pasukan lawan, maka mereka harus dianggap sebagai kombatan yang sah dan berstatus protektorat sebagai tawanan perang hingga konflik berakhir. Hak-hak mereka sebagai individu tetap harus diberikan meski sedang dipenjara, termasuk hak atas pengadilan yang adil.
Sementara tuduhan pelanggaran berat terhadap tawanan perang musuh hanya dapat diajukan ke pengadilan apabila terdapat bukti terkait pelanggaran tersebut. Namun, jika tidak ada, maka tawanan perang tidak akan dijatuhi hukuman atau sanksi apa pun sebagaimana yang termuat dalam hukum Hak Asasi Manusia.