Istilah PPN sering dijumpai dalam kegiatan sehari-hari, terutama ketika sedang melakukan sebuah transaksi, terlebih barang atau jasa. PPN merupakan singkatan dari Pajak Penambahan Nilai, yaitu suatu pungutan pemerintah yang dikenakan pada proses distribusi maupun transaksi.
Pajak pertambahan nilai atau PPN adalah salah satu jenis pungutan pemerintah yang dibebankan pada setiap transaksi jual beli barang maupun jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha, maupun pemerintah. PPN adalah jenis pajak konsumsi.
Karena PPN termasuk dalam jenis pajak tidak langsung, sehingga pajak tersebut disetorkan oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak (konsumen akhir). Dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak langsung menyetorkan pajak yang ia tanggung.
Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memperkenalkan PPN, tepatnya pada 1 Juli 1984 di mana hal itu bertepatan pula dengan diberlakukannya UU PPN pertama Nomor 8 Tahun 1983.
Hingga pada 1 Juli 2016, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan kewajiban untuk membuat nota atau faktur pajak elektronik kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) seluruh Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghindari tindak pidana berupa pembuatan faktur pajak palsu untuk pemungutan PPN kepada konsumen.
Regulasi penerapan PPN tertera dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan pertama, dalam UU Nomor 18 Tuhun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa PPnBM dengan tujuan menciptakan suatu sistem perpajakan yang tepat bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Perubahan yang kedua, pada UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Penjualan atas Barang Mewah guna melengkapi kekurangan pada UU pajak Pertambahan Nilai sebelumnya. Undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum dan keamanan kepada negara dan masyarakat melalui sistem perpajakan yang lebih sederhana.
Perubahan selanjutnya, sebagian UU Nomor 42 Tahun 2009 masih tetap berlaku meski ada ketentuan baru mengenai Pajak Pertambahan Nilai pada UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Paling terbaru, disahkannya Undang-undang Harga Pokok Produksi Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dalam UU paling baru tersebut, tarif PPN mengalami kenaikan menjadi 11% di mana mulai diberlakukan pada 1 April 2022, dan akan kembali mengalami kenaikan menjadi 12% di tahun 2024. Sedangkan untuk tarif ekspor tetap 0%.
Tarif PPN yang awalnya didasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU Nomor 42 Tahun 2009, sejak 1 April 2022 lalu diubah dengan UU Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) bab IV Pasal 7 ayat (1). Sehingga dapat diketahui beberapa perubahan kebijakan tentang tarif PPN dari daftar berikut ini.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN Tahun 1984 dan perubahannya (UU Nomor 42 Tahun 2009 yang berlaku sejak 1 Januari 2010), disebutkan ada beberapa kalangan yang tidak dikenakan PPN dan ada pula beberapa objek yang diwajibkan membayar PPN. Berikut ini merupakan daftar objek yang dikenakan PPN, antara lain:
Tidak hanya sebatas pada objek-objek di atas saja, tarif PPN secara khusus juga dikenakan atas beberapa kegiatan berikut ini:
Ada sebuah rumus yang bisa digunakan agar penghitung PPN tepat, yaitu:
Tarif PPN = Dasar Pengenalan Pajak (DPP) x Harga Produk atau Jasa
Sebagai contoh, Adi membeli kopi di salah satu kedai kopi, kedai kopi tersebut memasukkan PPN ke setiap pelanggan yang melakukan transaksi di sana. Adi membeli segelas White Chocolate Mocha seharga Rp 34.000.
Jika merujuk pada rumus di atas, maka penghitungannya adalah sebagai berikut:
Diketahui bahwa DPP diisi dengan 11%, sementara untuk harga produk atau jasa diisi dengan Rp 34.000.
Setelah itu masukkan ke dalam rumus,
PPN = 11% x 34.000 = Rp 3.740
Jadi, dari penghitungan di atas dapat kita ketahui bahwa untuk satu gelas White Chocolate Mocha Adi harus membayar sebesar Rp 37.740.
Barang bebas PPN didefinisikan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) di mana penyerahannya tidak dikenai Pajak Penambahan Nilai (PPN). Ada beberapa ketentuan mengenai barang yang berstatus bebas PPN. Berdasarkan pasal 4A ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), disebutkan ada 11 barang kebutuhan pokok yang bebas dari tarif PPN, yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, sayuran dan buah-buahan.
Selanjutnya adalah barang bebas PPN berdasarkan sifat strategis. Definisi strategis di sini merujuk pada kegunaannya pada masyarakat. Contoh dari barang strategis antara lain makanan ternak, barang modal, bibit, bahan baku perak, bahan baku uang kertas, listrik (kecuali rumah dengan daya lebih dari 6.600 VA), air bersih, dan rusunami.
Kategori yang terakhir adalah barang bebas PPN terntentu. Barang dari kategori ini meliputi barang yang digunakan untuk kepentingan umum serta dikelola oleh unit-unit pemerintah, contohnya impor senjata, alat angkutan darat (termasuk kendaraan TNI/POLRI), kendaraan patroli, amunisi, kendaraan lapis baja dan semua kendaraan angkutan khusus untuk pertahanan negara, impor buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama, rusun sederhana, rumah sangat sederhana, dan asrama mahasiswa.