Daftar isi
Pada masa pemerintahan kolonial Inggris di Indonesia, pulau Kalimantan terbagi atas tiga wilayah, yaitu Sarawak, Kalimantan Utara (sekarang Sabah), dan protektorat Kesultanan Brunei. Pada 1888, Brunei menjadi protektorat Inggris dengan luas wilayah sekitar 5.800 km2 dan 85.000 jiwa penduduk. Lebih dari separuh penduduknya merupakan etnis Melayu, seperempatnya adalah etnis Tionghoa, dan sisanya adalah orang Dayak (suku asli Kalimantan).
Saat itu, Kota Brunei menjadi ibu kota dari protektorat Kesultanan Brunei, sekitar 20 km dari pantai. Pada 1929, di sekitar Seria ditemukan minyak, dan Kesultanan memberikan hak kepada konsesi Shell Petroleum Company untuk mengolahnya, yang membuat Kesultanan mendapat pendapatan besar dari bisnis tersebut.
Pada 1959, Sultan Sir Omar Ali Saifuddin III mendirikan suatu badan legislatif, di mana dari separuh anggotanya dipilih secara langsung oleh Kesultanan dan separuhnya lagi dipilih melalui pemilihan umum. Namun, pada pemilihan bulan September 1962, semua anggota badan legislatif dipilih melalui pemilihan umum dan banyak dimenangkan oleh Partai Rakyat Brunei.
Pada tahun-tahun awal pemilihan (1959) hingga 1962, diadakan banyak negosiasi antara berbagai pihak seperti pemerintah Britania Raya, Singapura, Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara guna membentuk Federasi Malaysia baru di Pulau Kalimantan. Namun, pemerintah Indonesia dan Filipina menentang setiap usulan tentang penyatuan Sarawak dan Kalimantan Utara sebagai federasi baru, hingga muncul sentimen anti-Federasi yang meluas di Sarawak dan Brunei.
Partai Rakyat Brunei yang saat itu mendominasi pemerintahan memilih untuk mendukung dan bergabung dengan Malaysia, dengan syarat penyatuan tiga wilayah koloni namun dengan tetap memiliki sultan mereka sendiri, yaitu Kalimantan Utara. Mereka beranggapan bahwa kesultanan baru yang akan dibentuk dinilai cukup kuat untuk melawan dominasi Malaya, Singapura, dan pedagang China.
Berbagai penentangan orang lokal, terutama wilayah Kalimantan, didasarkan keengganan untuk tunduk pada dominasi politik semenanjung, serta adanya perbedaan politik, sejarah, ekonomi, dan budaya antara Kalimantan dan semenanjung Malaya. Bagi oposisi lokal, rencana pembentukan Kalimantan Utara dipandang sebagai alternatif pasca-dekolonisasi terhadap rencana Federasi Malaysia.
Namun, masih di tahun 1962 sebelum pemilu Partai Rakyat Brunei selesai, muncul sayap militer, TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara) yang mendeklarasikan diri sebagai kelompok pembebasan anti penjajah, yang dipimpin oleh AM Azahari (34 tahun).
Azhari pernah tinggal di Indonesia dan banyak mengenal agen Intelijen Indonesia. Azahari telah merekrut beberapa perwira perang terlatih, seperti perang klandestin di Indonesia. Pada akhir 1962, Azahari dan TNKU berhasil mengumpulkan 4.000 prajurit, beberapa senjata modern, dan 1.000 senapan.
Awal November 1962, Richard Morris, seorang Residen Divisi 5 Sarawak asal Australia yang berbasis di Limbang menerima informasi dari Polisi Cabang Khusus daerah Kuching tentang rencana pemberontakan di Brunei yang akan dilakukan sebelum 19 Desember. Mendengar informasi tersebut, Claude Fenner, Irjen Pol Malaya, terbang ke Sarawak untuk meninjau lokasi, namun tidak ada bukti kuat mengenai hal tersebut.
Hal serupa juga dilakukan oleh Kepala Staf dari Markas Besar Timur Jauh Inggris yang berbasis di Singapura, ia meninjau dan memperbarui rencana darurat, yaitu PALE ALE untuk Brunei. Namun, Mayor Jenderal Walter Walker, Panglima Angkatan Bersenjata Inggris, mengatakan bahwa kemungkinan terhadap pemberontakan rakyat lokal sangatlah rendah.
Pada 6 Desember, Morris menerima informasi baru bahwa pemberontakan akan dimulai pada 8 Desember. Kabar tersebut juga sampai ke telinga John Fisher, anggota Divisi 4 Sarawak, yang kemudian pemerintah Inggris mulai menyiagakan pasukannya secara penuh mulai dari Brunei, Kalimantan Utara, dan Sarawak, dengan dibantu oleh pasukan polisi lapangan dari Kuching.
Pada 8 Desember, sekitar pukul 2 pagi pemberontakan pecah, yang dimulai dari kantor polisi Brunei, lalu ke Istana Kesultanan, rumah Perdana Menteri, hingga mendekati ibu kota (Kota Brunei) lewat jalur air. Markas Besar Timur Jauh Inggris menurunkan pasukan sebanyak dua kompi dari Infanteri Gurkha dengan pergerakan selama 48 jam. Dengan keadaan tanpa listrik (karena terputus), sebagian besar serangan di kota Brunei berhasil dipukul mundur.
Pada tahap ini, pemerintah tidak mengetahui bahwa pemberontakan telah menyerang ke seluruh kantor polisi di Brunei, Divisi 5 Sarawak, dan wilayah ujung barat Kalimantan Utara. Sementara Miri masih berada berada di tangan pemerintah Kesultanan, namun Limbang telah dikuasai oleh pemberontak. Seria menjadi wilayah paling mencekam, di mana pemberontak telah merebut kantor polisi dan mendominasi ladang minyak.
Setelah sembilan jam bertempur, pasukan pertama digantikan oleh 2 kompi pasukan dari Batalion 1, Brigade Infanteri 99, Infanteri Gurkha 2 yang ditempatkan ke lapangan udara RAF di Changi dan pasukan dari Seletar di Singapura diterbangkan ke Teluk Brunei di Pulau Labuan.
Namun, embarkasi dari Infanteri Gurkha 2 berjalan lambat karena ketidaksiapan dari RAF dalam mengikuti prosedur pertempuran. Sehingga pasukan Skuadron 99 yang berada di Britania Bristol dan Suadron 32 di Blackburn Beverley dialihkan dalam penerbangan dari Labuan ke lapangan udara Brunei ketika diketahui wilayah yang akan dituju tidak jatuh ke tangan pemberontak.
Sekitar pukul 10 malam, Suadron 32 di Blackburn Beverley mendarat dan langsung diturunkan guna melawan pemberontak di kota Brunei bersama dengan pasukan dari Gurkha. Dalam serangkaian aksinya, sekelompok kecil dari pasukan Gurkha yang dipimpin oleh Kapten Digby Willoughby menyelamatkan Sultan dan membawanya ke markas polisi. Namun, dalam penyerangannya ke Seria pasukan ditarik mundur kembali ke Brunei karena bertemu dengan oposisi pemberontak yang lebih kuat.
Pada 9 Desember, John Fisher meminta bantuan suku Dayak yang direspon dengan mengirimkan bantuan berupa perahu dengan bendera bulu merah Perang ke Sungai Baram. Tom Harrison, pemimpin penjajahan Jepang Perang Dunia II, juga tiba di Brunei.
Harrison memanggil Kelabit (dari Divisi 5 Bario) guna mengumpulkan orang-orang Dayak, yang kemudian membentuk sebuah kompi dengan sekitar 2.000 pasukan yang dipimpin oleh Harrisson. Salah satu tugas mereka adalah memutus rute pelarian dan menahan pemberontak melarikan diri ke Indonesia.
Saat itu bala bantuan dari pemerintah Inggris terus mengalir ke Labuan, seperti pada 10 Desember, yaitu datangnya resimen infanteri Angkatan Darat Inggris ke Brunei. Setelah itu, Brigadir Petterson mengambil alih semua komando perlawanan terhadap pemberontakan di Brunei. Bala bantuan masih terus berlanjut di hari-hari berikutnya, yang memungkinkan wilayak Seria dan Limbang bisa kembali direbut dari pemberontak.
Pada 17 Desember, pemberontakan dinyatakan berhenti. Sekitar 40 pemberontak tewas dan 3.400 lainnya ditangkap, dan sisanya telah melarikan diri ke wilayah terdekat, seperti Indonesia. Sementara Azahari bersembunyi di Filipina, sedangkan Yassin Effendi menjadi buronan dengan para pemberontak lainnya.
Banyak yang menilai bahwa rute menuju Seria terlalu rentan dalam aksi penyergapan, karena tidak adanya kelengkapan berupa angkatan bersenjata yang menjaga wilayah perairan. Hasil dari pengintaian Korps Angkatan Udara, telah tertancap bendera pemberontak di atas kompleks Shell sepanjang 10 km dari pantai.
Meski demikian, terdapat lokasi pendaratan potensial untuk pesawat terbang berkapasitas ringan sekitar barat Seria dan timur kota yang digunakan warga sipil untuk melarikan diri dari pemberontak, yaitu Hugh McDonald dan mengonfirmasi hal tersebut kepada instalasi Singapura.
Pada 10 September, satu kompi dari resimen infanteri Angkatan Darat Inggris mendarat di sebelah barat Seria dengan pesawat jenis Twin Pioneers dan mendarat di Anduki dengan pesawat jenis Beverley. Sejauh 3 km dari pendaratan barat tersebut, pasukan Inggris berhasil merebut kembali sebuah kantor polisi dan Pusat Telekomunikasi dengan pertarungan singkat dengan pemberontak, serta lapangan Anduki yang dengan cepat direbut kembali. Namun, kantor polisi utama Seria beserta 48 sandera (sebagian besar ekspatriat Shell) tidak ikut diamankan hingga 12 September.
Saat ini, Lapangan Udara Anduki berubah menjadi lapangan berumput dengan tanjakan beton yang hampir secara eksklusif digunakan untuk pendaratan pesawat dan helikopter instalasi minyak lepas pantai Brunei, Shell Petroleum.
Daerah ini dianggap penting karena memiliki keterkaitan dengan kota minyak Seria, dan menjadi daerah-daerah yang akan diamankan oleh pasukan Garkha dan Angkatan Darat Brunei dalam latihan perang kontemporer.
Pada 8 Desember 1962, terdengar suara tembakan yang tidak ada habisnya dari pukul dua hingga lima pagi di dekat kantor polisi yang ada di Brunei. Menurut kabar yang diterima dari distrik Temburong, suara tembakan tersebut merupakan wujud kemarahan dari TNKU yang mengeksekusi petugas distrik dan beberapa orang lainnya dari pasukan keamanan Brunei serta sejumlah warga sipil yang menolak bergabung dalam aksi pemberontakan.
Menjelang subuh, sekitar pukul lima pagi, TNKU berhasil menguasai wilayah Pekan Besar. Di samping itu, telah tersiar kabar bahwa sejumlah pegawai negeri sipil di Pekan Besar berhasil melarikan diri dari penangkapan. Sekitar satu jam kemudian, di pusat kota Sultan melakukan kunjungan untuk bertemu Wakil Ketua Menteri dan membuat deklarasi yang berisi kecaman terhadap TNKU karena telah menjadi pengkhianat negara.
Sementara di Limbang, TNKU melakukan penyerangan pada kantor polisi setempat yang menewaskan lima polisi yang sedang bertugas. Pemberontakan terus berlanjut hingga terjadi penyerahan jabatan dari pejabat Inggris R. H. Morris, istrinya, 4 orang Eropa lainnya, seorang staf Korps Perdamaian Amerika, dan menyandera beberapa polisi yang tersisa. Di malam pertama penehanan, mereka dimasukkan ke dalam sel kepolisian, sedangkan pada malam kedua, mereka dipindahkan ke rumah sakit setempat, di mana di sama mereka mendengar bahwa mereka akan dihukum gantung keesokan harinya oleh para pemberontak.
Pada 11 Desember, sebanyak 89 anggota marinir dari Komando 42 tiba di Brunei, dengan dipimpin oleh Jeremy Moore. Para marinir tersebut kemudian diangkut menuju Limbang oleh awak Angkatan Laut Kerajaan yang dipimpin oleh Kapten Black dan mengatur kedatangan mereka saat fajar pada 13 Desember setelah dua kapal pengangkut datang. Karena kapal dioperasikan secara manual dan membutuhkan waktu terlalu lama, maka perwira senior memutuskan bahwa Marinir akan melompat ke samping di bawah guna berlindung dari tembakan senapan mesin Vickers yang dipasang di jembatan.
Salah satu jembatan dari kapal dirusak oleh pemberontak, serta melumpuhkan awak di atasnya, yang mengakibatkan kapal menabrak tepi dermaga sungai. Suara bising dari kapal berhasil menahan pemberontak dalam menembakan senapan mereka, dan akhirnya para marinir berhasil mendarat. Ketika pemberontak mulai penyerangan mereka, para sandera yang mendengar suara tembakan mulai menyanyikan lagu “She’ll Be Coming Round the Mountain” agar regu penyelamat tahu lokasi sandera mereka dengan cepat.
Regu penyelamat pertama mengalami serangan yang sedikit brutal hingga menewaskan dua dari tiga marinir yang maju. Regu penyelamat kedua melakukan perlawanan yang lebih berani dibandingkan dengan regu pertama, sehingga mereka mampu menyelamatkan para sandera yang ada di rumah sakit Limbang. Sekitar 200 pemberontak yang dilengkapi dengan bermacam-macam senjata namun tidak banyak memiliki pelatihan militer mencoba melawan regu penyelamat, akhirnya mampu dipukul mundur.
Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 5 marinir tewas dan delapan lainnya mengalami luka-luka. Informan dari Inggris tidak menyebutkan berapa jumlah korban dari pihak pemberontak dalam insiden ini, namun Clodfelter memperkirakan korban yang tewas dalam pemberontakan Brunei sebanyak 40 orang dari pihak pemberontak dan 6 dari pihak marinir. Pemimpin dari pemberontak di Limbang berhasil ditangkap dan diganjar hukuman sebelas tahun penjara, dan pada 2007 diketahui ia tinggal di daerah pinggiran Limbang.
Pada 17 Desember 1962, Komando 42 menyatakan bahwa Pemberontakan Brunei telah selesai, dan resimen infanteri Angkatan Darat Inggris (1st Green Jacket (43rd and 52nd)) mendarat dengan kapal HMS Tiger di Miri. Sementara Satuan Komando 40 mengangkut pasukannya dari Miri ke Kuching. Pada 14 Desember, sebagian besar unit kesatuan memperkuat daya artileri mereka karena telah banyak diturunkan pada 12 Desember guna mencegah masalah yang ditimbulkan etnis Tionghoa dari Organisasi Komunis Klandestin (Clandestine Communist Organization) yang secara terbuka mendukung TNKU.
Sementara itu, kompi terakhir dari Kesatuan Komando 40 menjadi unit terakhir yang mendarat di dekat Seria. Pada 19 Desember, Mayor Jenderal Walter Walker mengambil alih jabatan sebagai COMBRITOR dan Direktur Operasi (DOBOPS) di semua angkatan bersenjata (darat, laut, udara) yang ditugaskan ke Kalimantan dan melapor secara langsung kepada Panglima Pasukan Timur Jauh, Laksamana Sir David Luce.
Buntut pemberontakan yang terjadi selama hampir satu bulan tersebut, Sultan Brunei mengambil sebuah keputusan tentang sebuah kedaulatan yang diinginkan rakyatnya, yaitu Brunei tidak bergabung dengan Federasi Malaysia yang baru.
Tiga minggu setelah pemberontakan Brunei dimulai, satuan Brigade Infanteri Gurkha 99 mengembangkan kesatuannya menjadi 5 batalion infanteri dan Markas Besar Brigade Komando 3 yang berbasis di Kuching. Kekuatan dari Brigade ini juga mendapat dukungan dari Resimen Melayu Brunei, Sarawak Rangers, dan kesatuan Kepolisian dari 3 wilayah, termasuk Pasukan Lapangan Polisi Paramiliter, serta pasukan Harrison yang jumlahnya mencapai 4.000 orang dari etnis Dayak.
Operasi pembersihan yang dilakukan pada Januari 1963 tersebut terus berlanjut hingga Mei 1963. Pada 18 Mei 1963, satuan Gurkhas-7 melakukan patroli yang dipandu oleh seorang informan ke sebuah camp di hutan bakau. Dalam patrolinya tersebut, mereka berhasil mengusir sekelompok pemberontak dengan melakukan penyergapan. Sekelompok pemberontak tadi adalah sisa-sisa dari anggota TNKU, di mana 10 dari mereka tewas, dan lainnya luka-luka, yang mana salah satunya bernama Yassin Effendi .
Pada 12 April 1963, kantor polisi yang ada di Tebedu di Divisi 1 Sarawak diserang dan direbut oleh sekelompok orang. Kelompok penyerang tersebut berasal dari Kalimantan, dan menjadi awal terjadinya konflik bersenjata, yaitu Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang masih ada kaitannya dengan pembentukan Federasi Malaysia.