Konfrontasi Indonesia-Malaysia: Latar Belakang – Konfrontasi dan Penyelesaian

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah konflik bersenjata yang terjadi dari tahun 1963 hingga 1966. Konflik ini merupakan babak baru dari Pemberontakan Brunei tahun 1962, yang dipicu oleh penentangan Indonesia terhadap pembentukan negara baru, yaitu Federasi Malaysia.

Meski setelah penggulingan kekuasaan Sukarno pada 1966 dan kesepakatan perdamaian akhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966, Indonesia secara resmi mengakui kedaulatan Malaysia.

Latar Belakang

Iklim Politik

Sebelum konfrontasi Indonesia-Malaysia pecah, Sukarno telah berusaha mengembangkan kebijakan luar negeri Indonesia yang independen dan berfokus pada akuisisi Nugini Belanda. Selama periode 1950-1962, Indonesia tanpa henti mengejar klaimnya atas Nugini Belanda.

Pada 1958, terjadi pemberontakan Permesta di Indonesia timur dan deklarasi PRRI (pemerintahan revolusioner pemberontak di Sumatera) yang membuat kekuatan militer Indonesia paling menonjol di Asia Tenggara.

Tahun 1962 merupakan klimaks dari perselisihan diplomatik Indonesia ke Nugini Belanda, dengan bantuan persenjataan dari Uni Soviet dan kampanye besar-besaran infiltrasi udara dan laut ke Nugini Belanda, yang membawa Indonesia pada kemenangan diplomatik yang cukup besar sehingga mampu memperkuat persepi diri sebagai kekuatan regional terkemuka.  

Kemenangan diplomatik ini membuat Indonesia menaruh perhatiannya pada proposal Inggris (Mei 1961) yang mengusulkan pembentukan federasi yang lebih besar bernama Malaysia, meliputi negara bagian Malaya, Singapura, Kalimantan Utara, Sarawak, dan Brunei.

Pertemuan demi pertemuan antara pihak Indonesia dan Brunei dilakukan guna mencari jalan tengah dari kebimbangan yang dialami keduanya. Hingga didapatkan hasil berupa Indonesia akan mulai melatih pasukan sukarelawan di Kalimantan, yaitu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU).

Pada 8 Desember 1962, terjadi pemberontakan Brunei yang dilakukan oleh TNKU. Sementara peran Indonesia di dalamnya masih menjadi perdebatan karena pihak Indonesia menyangkal keterlibatannya secara langsung, meski tetap bersimpati terhadap tujuan TNKU untuk menggoyahkan rencana pembentukan negara federasi Malaysia.

Wilayah dan Penduduk

Pada 1961, Pulau Kalimantan dibagi menjadi 4 negara bagian terpisah, yang meliputi Kalimantan (4 provinsi di wilayah Indonesia), Brunei, Borneo Selatan (sekarang Sabah), dan Sarawak.

Populasi di tiga wilayah Inggris berjumlah sekitar 1,5 juta orang, dan sekitar setengahnya adalah orang Dayak. Sarawak memiliki populasi sekitar 900.000, sementara Sabah 600.000 dan Brunei sekitar 80.000. 

Di antara populasi non-Dayak di Sarawak, 31% merupakan etnis Tionghoa, dan 19% lainnya adalah Melayu. Sedangkan di antara non-Dayak di Sabah, 21% populasinya adalah Tionghoa, dan 7% adalah Melayu. Di Brunei, populasi non-Dayak adalah 28% Tionghoa dan 54% Melayu. 

Wilayah Sarawak dibagi menjadi 5 bagian administratif. Sabah yang dulu beribukota di Jesselton (Kota Kinabalu), terbagi menjadi beberapa karesidenan. Sementara orang-orang dari Pedalaman dan Tawau bermukim di perbatasan.

Kalimantan yang secara teritorial milik Indonesia terbagi menjadi 4 provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kurangnya akses penghubung antara Kalimantan dan Timur menyebabkan pergerakan dari keduanya terhambat, baik darat, air maupun udara.

Oposisi Sarawak

Sarawak terbagi menjadi 3 oposisi, yaitu keompok sayap kiri dan komunis (Liga Anti-Fasis) yang telah muncul sejak 1930-an dan 1940-an di antara etnis Tionghoa dan urban Sarawak. Yang terakhir adalah kelompok komunis lainnya yang dipimpin oleh Wu Chan.

Kelompok-kelompok ini merupakan inti dari dua gerakan gerilya, yaitu Komunis Tentara rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) anti-Malaysia dan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS). Keduanya didominasi oleh etnis Tionghoa yang berpihak pada Dayak, namun hanya sedikit mendapat dukungan etnis Melayu.

Selama pemberontakan, organisasi Komunis Sarawak bergabung dengan pemberontakan Brunei mendukung dan mempropagandakan penyatuan semua wilayah kekuasaan Inggris membentuk negara Kalimantan Utara yang merdeka.

Konfrontasi

Awal Mula Pecahnya Konfik

Pada 27 Juli 1963, Presiden Sukarno menyatakan bahwa dia akan menghancurkan Malaysia (Ganyang Malaysia) jika proposal pembentukan negara Federasi Malaysia tetap dijalankan.

Untuk menyelesaikan pemberontakan ini, calon negara anggota Malaysia mengadakan KTT dengan perwakilan Indonesia dan Filipina di Manila pada 30 Juli 1963. Dalam pertemuan tersebut, pihak Indonesia dan Filipina secara resmi menyetujui pembentukan negara Malaysia jika mayoritas penduduk Kalimantan Utara dan Sarawak menyetujui voting yang diselenggarakan oleh PBB.

Hingga pada 31 Agustus 1963, pemerintah Malaya menyatakan berdirinya negara Malaysia. Namun, berdasarkan kesimpulan dari KTT Manila, Perdana Menteri Malaya Tunku Abdul Rahman mengumumkan bahwa negara Malaysia yang diusulkan baru akan muncul pada 16 September 1963, terlepas dari laporan terbaru PBB.

Beberapa menit setelah diumumkannya pendirian negara Malaysia secara resmi, Indonesia bereaksi secara brtutal yaitu mengusir Duta Besar Malaysia dari Jakarta. Dua hari kemudian, suatu kelompok yang diorganisir oleh PKI membakar keduataan Inggris di Jakarta.

Kampanye Infiltrasi yang Tetap Berlangsung

Meski telah menyepakati perdamaian antara Indonesia dan Malaysia, pihak Indonesia tetap mempertahankan kampanye infiltrasinya. Seorang kepala desa melaporkan adanya penyerangan dari sekitar 50 orang pada 15 Agustus 1963 di Divisi 3.

Serangkaian operasi, seperti patroli dan penyergapan dilakukan selama satu bulan oleh divisi 2/6 Gurkha, yang menewaskan 15 orang dan 3 lainnya ditangkap. Para tahan mengatakan bahwa dalam seminggu akan ada lagi sekitar 300 penyerang dan 600 penyerang di dua minggu berikutnya.

Sukarno selanjutnya melakukan kesepakatan perdamaian dengan pemerintah Malaysia, namun, pada akhir Januari dia menyatakan siap untuk gencatan senjata selanjutnya, meski selalu menyangkal keterlibatan langsung Indonesia dalam konflik tersebut.

Pertemuan demi pertemuan dilakukan. Pada KTT yang diselenggarakan di Thailand mengalami kegagalan akibat pelanggaran perbatasan terus saja berlanjut dari pihak Sukarno.

Serangkaian serangan yang disengaja oleh pasukan Indonesia terhadap Malaysia sebenarnya tidak meningkatkan kredensial “anti-imperialis” Sukarno, meski pemerintah Indonesia melimpahkan kesalahan tersebut ke Korps Komando AL yang dianggap bertindak secara mandiri.

Perluasan Konflik ke Semenanjung Malaysia

Hingga satu tahun selanjutnya permusuhan Indonesia-Malaysia terus berkobar, dan pada 3 Mei 1964 Sukarno menyerukan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang berisikan pembelaan terhadap Revolusi Indonesia dan dukungan terhadap revolusi bangsa Melayu, Sarawak, Singapura, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.

Hal ini diserukan oleh Sukarno bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1964, di mana pasukan Indonesia memulai aksi kampanye infiltrasi udara dan laut di Semenanjung Malaysia.

Di hari tersebut, sekitar 100 orang yang terdiri dari pasukan terjun payung PGT dan KKO, bersama dengan sekitar selusin komunis Malaysia menyeberangi Selat Malaka dan mendarat di Pontianak pada malam hari yang dibagi menjadi 3 rombongan. Alih-alih disambut dan dianggap sebagai pasukan pembebas, mereka justru ditahan oleh pasukan Persemakmuran.

Pada 2 September 1964, 3 pesawat tipe Lockheed C-130 Hercules diberangkatkan dari Jakarta menuju Semenanjung Malaysia dengan penerbangan rendah guna menghindari deteksi radar. Pada malam berikutnya, 2 dari 3 pesawat tadi berhasil mendarat dan menerjunkan pasukan terjun payung PGT di sekitar Labis, Johor (100 mil utara Singapura).

Sementara 1 pesawat lainnya jatuh ke Selat Malaka setelah mencoba menghindari intersepsi dari RAF Javellin FAW 9 yang diluncurkan dari RAF Tengah. Karena sedang terjadi badai petir, sebanyak 96 pasukan terjun payung mendarat di dekat 1/10 Gurkha.

Pasukan dari Malaysia dipimpin oleh 4 Brigade Malaysia, yang membutuhkan 1 bulan bagi mereka untuk menangkap 90 daro 96 penerjun payung dari Indonesia.  Ekspansi konflik ini mengakibatkan terjadinya Krisis Selat Sunda yaitu perubahan jadwal kegiatan transit kapal induk Inggris HMS Victorious di Selat Sunda dan rusaknya 2 kapal penyerang.

Menjelang bulan-bulan terakhir tahun 1964, konflik Indonesia-Malaysia mengalami kebuntuan kembali, di mana pasukan Persemakmuran telah menghentikan kampanye penyusupan pasukan Indonesia ke Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Hal tersebut terjadi selama 3 minggu berturut-turut tanpa adanya kepastian dari kedua belah pihak.

Namun, konflik mulai memanas ketika pasukan Persemakmuran melaporkan adanya peningkatan pasukan infiltrasi Indonesia di Kalimantan seberang Kuching pada Desember 1964. sebanyak 2 batalion Inggris dikerahkan guna menambah kekuatan bagi pasukan Persemakmuran.

Operasi Claret

Dari Juni 1964 hingga awal 1966, terjadi serangkaian serangan lintas batas rahasia oleh pasukan Persemakmuran Inggris, yaitu Angkatan Udara Inggris, Resimen Angkatan Udara Khusus Australia, Layanan Udara Khusus Selandia Baru, dan infanteri reguler, di Kalimantan, yang disebut dengan Operasi Claret.

Selama fase awal konflik, pasukan Malaysia dan Persemakmuran Inggris hanya berusaha untuk mengontrol perbatasan guna melindungi pusat populasi dari serangan pasukan Indonesia. Namun, sejak 1965, mereka memutuskan untuk bertindak lebih agresif dengan melintasi perbatasan guna mendapatkan informasi dan dalam operasi pengejaran para penyusup Indonesia.

Pereda Ketegangan Sementara

Pada 30 September 1965, tepatnya malam hari, terjadi percobaan kudeta di Jakarta yang menewaskan 7 petinggi militer Indonesia. Dalam kebingungannya, Sukarno menyerahkan kekuasaan komando dan kendali darurat Jakarta serta angkatan bersenjata pada Suharto.

Selama beberapa bulan berikutnya, terjadi serangkaian pemenjaraan dan hukuman mati bagi anggota dan simpatisan PKI di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini mengakibatkan konsolidasi kekuasaan Suharto secara bertahap yang memungkinkannya membentuk kabinet baru pada Maret 1967 dan marginalisasi terhadap Sukarno.

Satu tahun sebelum itu, pada 28 Mei 1966, dalam KTT di Bangkok, pemerintah Malaysia dan menyatakan bahwa konflik dari kedua negara sudah usai. Pada awal tahun 1966, jeda politik Indonesia mulai stabil yang mana telah menghentikan operasi besar RPKAD untuk menangkap tawanan Inggris, bahkan RPKAD bergabung dengan PGRS untuk membentuk pasukan gerilya di Sabah dan Sarawak. 

Namun, selama Suharto naik ke tampuk kekuasaan, operasi Claret masih tetap berlanjut. Pada Maret 1966, salah satu batalion di Gurkha terlibat dalam beberapa pertempuran sengit dalam kampanye tersebut selama dua penyerbuan ke Kalimantan.

Sejalan dengan itu, pasukan Indonesia melakukan penyerangan ke daerah perbatasan, termasuk upaya tembakan balik baterai terhadap posisi senjata 105 mm di Brigade Pusat. Rentetan konflik terus berlanjut hingga akhir bulan Juni yang merupakan serangan terakhir dari kedua negara.

Sekitar 80 orang yang dipimpin oleh Letnan Sombi dan 600 orang dari Raider Company dengan cepat menuju Brunei yang kemudian dikejar dan disergap oleh pasukan dari batalion 1/7 Gurkha. Menanggapi hal ini, operasi Claret terakhir diluncurkan dan juga merupakan penyergapan oleh artileri 38 Light Battery.

Pasukan Persemakmuran Inggris

Wilayah Komando

Markas utama pasukan Inggris berada di Markas Besar Brigade Komando 3 di Kuching, dengan cakupan kekuasaan dan tanggung jawab atas bagian barat Sarawak, Di visi 1, 2, dan 3. Sementara Markas Brigade Infanteri Gurkha 99 yang ada di Brunei bertanggung jawan atas Divisi Timur 4 dan 5, serta wilayah Brunei dan sabah.

Namun, kedua markas tersebut dikerahkan oleh pemerintah Inggris dari Singapura sejak akhir 1962 sebagai tanggapan atas pemberontakan Brunei. Dengan pasukan awal yang hanya ada 5 batalion infanteri Inggris dan Gurkha yang berbasis di Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan satu kuadron mobil lapis baja.

Sementara pasukan Angkatan Udara berbasis di Kalimantan, yang terdiri dari detasemen dan skuadron yang ditempatkan di Malaya dan Singapura. Termasuk sebuah pesawat angkut Twin Pioneer dan Single Pioneer, 3 pesawat angkut tipe Blackburn Beverly dan Handley Page Hasting, dan 12 helikopter dari berbagai jenis.

Namun, karena sumber daya terus mengalami penambahan, ukuran pasukan akhirnya diperluas, dan pada akhir 1964, pasukan Inggris mencapai 14.000 orang yang dibagi menjadi 3 brigade.

Sebelum konfrontasi pecah, belum ada unit dari pasukan Inggris yang ditempatkan di Sabah dan Sarawak. Namun, setelah konfrontasi mulai memanas, terjadi pengerahan 3 unit Angkatan Darat Inggris, yaitu Unit Timur Jauh (termasuk Australia dan Selandia Baru), Unit Gurkha, dan Unit yang berbasis di Inggris.

Selama konflik berlangsung, mereka bertugas untuk menyediakan berbagai jenis pesawat yang nantinya ditempatkan di Malaya dan Singapura ketika ada serangan mendadak dari Indonesia. Termasuk juga dukungan transportasi rutin ke Kuching dan labuan.

Dukungan sumber daya berupa ratusan pasukan juga dikerahkan melalui laut maupun udara. Patroli dilakukan dengan membersihkan area pendaratan di hutan-hutan lebat, serta patroli di daerah pesisir dan perairan di daerah pedalaman, seperti Teluk Wallace.

Menjelang akhir 1964, pasukan Indonesia yang dikerahkan di sepanjang perbatasan Kalimantan meningkat secara signifikan, yaitu dari 2.500 menjadi 15.000 hingga 30.000 0rang. Selama itu pula, pasukan persemakmuran Inggris juga lebih banyak mengerahkan pasukannya.

Strategi Perang

Dalam melawan pasukan Indonesia, pemerintah Inggris telah banyak menggunakan strategi atau tektik perang, seperti penggunaan intelijen. Mereka menggunakan Royal Signals untuk menyadap komunikasi militer Indonesia, di mana sistem Cyphers telah dienkripsi oleh Badan Intelligence Corps yang berbasis di Government Communications Headquarters (GCHQ) di Singapura.

Salah satunya adalah sistem RAF Chia Keng yang terhubung langsung dengan markas RAF Far East Air Force di RAF Changi, yang mungkin juga telah digunakan untuk merencanakan berbagai strategi dalam operasi lintas batas Claret.

Selain itu, mereka menerapkan berbagai strategi dengan belajar dari kekalahan-kekalahan yang mereka alami. Jenderal Walker, sebagai komandan baru di wilayah komando kalimantan, dengan segera ia menginstruksikan beberapa taktik kepada prajuritnya, berdasarkan pengalamannya di Malayan Emergency, diantaranya:

  • Melakukan operasi terpadu, dengan menggabungkan kekuatan angkatan bersenjata dari ketiga matra, seperti darat, udara, dan laut.
  • Penggunaan informasi yang aktual dan faktual, yang berguna dalam pengintaian secara terus menerus dan pengumpulan intelijen.
  • Selalu mengedepankan kecepatan, mobilitas, dan fleksibilitas.
  • Dominasi terhadap medan, terutama hutan
  • Selalu berusaha memenangkan hati dan pikiran rakyat.

Operasi Psikologis Inggris

Melalui artikel yang ditulis oleh Paul Lashmar dan Oliver James dan dimuat dalam The Independent (1997), telah diungkap tentang peran kantor Luar Negeri Inggris dan Badan Intelijen Rahasia (MI6) selama konfrontasi Indonesia-Malaysia berlangsung.

Dituliskan bahwa kedua organisasi tersebut berperan penting dalam proses penggulingan Presiden Sukarno. Untuk melemahkan rezim Sukarno, Departemen Riset Informasi Kantor Luar Negeri (IRD) berkoordinasi dengan militer Inggris dalam upaya operasi psikologis (psyops).

Mereka melakukan berbagai propaganda hitam, seperti kebobrokan Partai Komunis Indonesia, adu domba terhadap Tionghoa Indonesia, dan memberitakan jika Sukarno sedang dalam keadaan terburuknya. Ini merupakan upaya duplikasi terhadap keberhasilan kampanye psyops Inggris dalam peristiwa Malaya Emergency. 

Uapaya ini merupakan kolaborasi dari banyak pihak, yaitu Komisi Tinggi Inggris di Singapura melalui BBC, Associated Press, dan The New York Times mengajukan laporan tentang krisis yang sedang terjadi di Indonesia. Manipulasi yang coba diterapkan juga termasuk dalam pemberitaan BBC bahwa komunis berencana membantai warga Jakarta.

Penyelesaian

Penggantian Sukarno oleh Suharto menurunkan minat Indonesia untuk melanjutkan perang dengan Malaysia dan secara bertahap mereda. Negosiasi perdamaian antar keduanya telah dimulai sejak Mei 1996, sebelum akhirnya diratifikasi pada 11 Agustus 1996.

Meski demikian, pihak Indonesia tetap melakukan beberapa serangan amfibi dan lintas udara terhadap Malaya, namun tetap terbatas pada jumlah durasi dan sebagian besar merupakan konflik darat. Dari 17.000 pasukan Persemakmuran Inggris, sebanyak 280 orang tewas dan 180 lainnya luka-luka. Di mana dari sebagian besar mereka merupakan warga Inggris. 

Secara keseluruhan, sebanyak 36 warga sipil tewas, 53 luka-luka dan 4 ditangkap, dengan sebagian besar adalah penduduk lokal. Sementara dari pihak Indonesia, korban tewas diperkirakan sebanyak 590 orang, 222 luka-luka dan 771 ditangkap.

fbWhatsappTwitterLinkedIn