Daftar isi
Kerajaan Jenggala merupakan salah satu Kerajaan Hindu yang berada di Sidoarjo, Jawa Timur. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan yang berada di bawah pimpinan Raja Airlangga. Menurut catatan sejarah, nama Jenggala sendiri berasal dari kata Hujung Galuh dan dalam catatan Cina menyebutnya dengan “Jung-Ya-Lu”. Hujung Galuh sendiri merupakan bagian dari Kota Surabaya yang berada di daerah muara Sungai Brantas.
Konon dahulunya, daerah tersebut merupakan pelabuhan penting bagi kerajaan besar seperti kerajaan Majapahit, Singasari, Kediri dan Kahuripan. Sayangnya, meskipun kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala berasal dari kerajaan yang sama, dua kerajaan ini tidak pernah akur dan selalu terlibat konflik.
Justru di bawah kerajaan Kahuripan, kerajaan Jenggala mampu tumbuh cepat dari berbagai aspek. Hal ini terlihat bukan hanya dari sektor pemerintahan saja yang berhasil melakukan berbagai diplomasi. Namun, juga pada aspek ekonomi, karya sastra dan kesenian mengalami hal yang sama.
Bahkan kerajaan ini mendapatkan pengakuan dari dunia internasional seperti kerajaan dari India, Tiongkok dan lainnya. Sama seperti kerajaan pada umumnya, Kerajaan Jenggala memiliki silsilah kerajaan serta benda peninggalan sejarah.
Umur kerajaan ini tidak begitu panjang, hanya diperintah oleh 3 orang raja saja yakni Mapanji Garasakan, Mapanji Alanjung Ahyes, dana Samarotsaha. Adapun peninggalan dari kerajaan ini berupa candi dan prasasti yang menjelaskan mengenai kerajaan ini. Berikut penjelasan mengenai peninggalan dari Kerajaan Jenggala.
1. Candi Prada
Candi Prada terletak di dusun Reno Pencil, Sidoarjo. Candi ini merupakan situs purbakala peninggalan Mpu Baradah. Di sekitar situs tersebut ditemukan pula prasasti Watumanak yang menurut warga sekitar sempat disebut dengan nama Punden Prada.
Candi ini dibuat oleh Mpu Baradah guna sebagai sarana pemujaan kepada Sang Hyang Batara Ismaya atau Barata Kartika. Sayangnya, candi peninggalan Mpu Baradah ini sudah dirusak oleh warga pada tahun 1965. Sangat disayangkan memang terlebih jejak peninggalan kerajaan Jenggala masih minim informasi.
2. Prasasti Turun Hyang
Prasasti ini ditemukan di dusun Truneng, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini menceritakan nama raja Kerajaan Jenggala setelah adanya pembagian wilayah yakni Mapanji Garasakan.
Prasasti ini merupakan sebuah piagam pengesahan anugerah yang diberikan oleh Mapanji Garasakan kepada penduduk Turun Hyang pada tahun 1044. Penduduk Turun Hyang telah setia mendampingi dan membantu Kerajaan Jenggala saat melawan Kediri.
Untuk menghindari perebutan kekuasaan, Raja Airlangga melakukan pembagian kerajaan bagi kedua putranya yakni Samarawijaya dan Mapanji Grasakan. Sayangnya, pembagian kerajaan ini terkesan sia-sia karena kedua putranya tetap saja berebut kekuasaan.
Samarawijaya merupakan anak raja Airlangga dari putri Dharmawangsa Teguh karena di namanya tersemat nama Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan merupakan anak dari istri keduanya. Dugaan Raja Airlangga memiliki dua istri berdasarkan atas penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan yang ada di Lereng Gunung Penanggungan.
3. Prasasti Malenga
Prasasti Malenga merupakan prasasti yang berangka tahun 974 Saka atau 1052 Masehi. Prasasti Malenga ditemukan di Desa Banjararum, Rengel, Tuban. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Sri Maharaja Mapanji Garasakan.
Prasasti Malenga memiliki bentuk berupa 7 lempeng tembaga. Prasasti Malenga saat ini merupakan salinan bukan bentuk aslinya dan memiliki angka tahun 1258 saka. Prasasti Malenga mengisahkan tentang pemberian anugerah status Sima kepada Desa Malenga.
Pemberian status ini dikarena penduduk desa tersebut telah membantu raja saat melawan musuhnya yakni Aji Linggajaya. Saat ini, prasasti peninggalan Kerajaan Jenggala ini berada di Museum Nasional Indonesia.
4. Prasasti Garaman
Prasasti Garaman merupakan salah peninggalan dari Kerajaan Jenggala yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan, Raja Jenggala yang memiliki gelar Sri Maharaja Rake Halu. Prasasti ini memiliki angka tahun 975 Saka atau 1053 Masehi. Prasasti ini menggunakan aksara serta basa Jawa Kuno.
Menurut cerita, prasasti ini ditemukan oleh seseorang yang berasal dari Dusun Mandungan, Kelurahan Widang, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan. Ia memiliki nama Moh. Dahlan. Prasasti tersebut ditemukan pada tanggal 1 Juni 1985.
Kemudian, Moh. Dahlan menyerahkan 4 buah lempeng tembaga ke Pimpinan Proyek Pembangunan Nasional Jakarta. 4 buah lempengan yang diserahkan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-11. Atas penyerahan benda sejarah tersebut, Moh Dahlan mendapatkan imbalan berupa uang tunai sebesar 1,9 juta rupiah.
Lempeng pertama yang ditemukan memiliki ukuran panjang 36,75 cm, lebar 11,70 cm dan tebal 0,15 cm dan ditulis pada satu sisi. Sementara itu, lempeng kedua hanya berbeda ukuran panjangnya saja dari lempeng pertama yakni 36,65 cm dan ditulis pada kedua sisinya.
Begitupun dengan lempeng ketiga, yang sedikit lebih panjang dari pada lempeng pertama dan kedua yakni memiliki panjang sekitar 36,95 cm, sedangkan untuk lebar dan tinggi sama saja dan ditulis pada kedua sisinya.
Lempeng keempat memiliki ukuran yang berbeda dari pada ketiga lempeng tadi. Lempeng ini memiliki panjang sekitar 37,15 cm, lebar 11,15 cm dan tebal 0,15 cm dan ditulis pada kedua sisinya. Pada setiap lempeng memiliki delapan baris kecuali pada lempeng ke empat yang memiliki 7 baris.
Prasasti Garaman memiliki bentuk tulisan persegi dan huruf-huruf yang berukuran besar. Adapun lebar huruf yang digunakan pada prasasti ini adalah 0,45 cm sementara itu untuk panjang huruf bermacam-macam yakni antara 0,45 cm, 0,60 cm dan 0,75 cm. Prasasti ini memiliki isi mengenai anugerah yang diberikan oleh Mapanji Garasakan kepada penduduk Desa Garaman karena telah membantu raja saat melawan Aji Panjalu.
Secara jelas, prasasti ini mendukung keberadaan dari dua kerajaan yakni Jenggala dan Panjalu. Semula, kedua kerajaan ini berada di bawah satu pemerintahan kerajaan Airlangga. Selain itu, prasasti ini juga memberitahukan mengenai hubungan antara raja Jenggala dan Panjalu yang masih memiliki hubungan kekeluargaan yakni kakak beradik.
Raja Jenggala yang dalam hal ini adalah Mapanji Garasakan merupakan anak laki-laki paling tua dari Raja Airlangga serta adik dari Sanggramawijaya Tunggadewi, Putri tertua Raja Airlangga. Sementara itu, Aji Panjalu merupakan anak dari Sri Samarawijaya dan cucu dari Dharmawangsa Teguh.
Keduanya terlahir dari dua orang permaisuri raja. Keduanya merasa berhak atas tahta kerajaan karena sama-sama anak dari Raja Airlangga. Untuk menghindari perebutan kekuasaan, Raja Airlangga membagi tahta kerajaan menjadi dua.
Pembagian kerajaan ini terjadi pada tahun 974 saka. Sayangnya, upaya yang dilakukan oleh Raja Airlangga sia-sia karena perebutan kekuasan antara keduanya tetap saja terjadi. Di tahun yang sama dengan pembagian kerajaan, terjadi pula peperangan antara kedua anak raja tersebut.
Prasasti Garaman memakai prosa lirik yang memiliki nilai sastra yang tinggi sehingga kalimat yang berada di dalamnya lebih panjang dan lebih dapat dibaca dan dipahami. Prasasti Garaman ini telah dibahas dalam ” The Garaman Inscription” yang ditulis oleh Boechari.
Buku ini merupakan transkip dari prasasti tersebut sekaligus terjemahan ke dalam bahasa Inggris. Prasasti peninggalan kerajaan Jenggala ini, saat ini berada di Museum Nasional dan menjadi salah satu koleksi di sana.
5. Situs Tumpukan Batu Bata
Peninggalan dari kerajaan Jenggala selanjutnya adalah situs tumpukan batu bata. Situs ini belum lama ditemukan di daerah persawahan Desa Urang Agung Sidoarjo. Situs ini berupa tumpukan batu bata yang memiliki luas sekitar 4 meter persegi.
Situs ini pertama kali ditemukan oleh warga setempat saat sedang menggali di area persawahan. Sayangnya, situs bersejarah yang baru ditemukan ini belum memiliki informasi yang lengkap terkait kapan tahun dibuatnya.
6. Sumur Kuno
Peninggalan kerajaan Jenggala yang terakhir adalah Sumur Kuno. Sumur Kuno berada di tengah area tambak yang ada di Desa Pepe Tambak, Sedari, Sidoarjo. Situs bersejarah ini menjadi salah satu destinasi yang banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Biasanya mereka akan datang ada malam Jumat atau malam suro. Menurut cerita warga sekitar, pengunjung yang datang biasanya untuk mencari sebuah batu mustika yang memiliki bentuk seperti keris berukuran kecil.
Banyak benda-benda sejarah yang ditemukan di saja, namun tidak ada yang berani untuk membawa pulang benda tersebut. Saat ini, peninggalan dari kerajaan Jenggala ini airnya masih tetap bersih dan segar sehingga biasanya air tersebut digunakan oleh warga setempat untuk kebutuhan sehari-hari.