Rekayasa Demografis: Pengertian – Tujuan dan Contohnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pengertian

Rekayasa demografis atau demographic engineering adalah serangkaian penuh kebijakan dan upaya penggeseran, pemindahan, dan bahkan pembersihan populasi etnis tertentu untuk kepentingan tertentu, seperti konsolidasi penguasaan suatu negara atau wilayah tertentu untuk menciptakan populasi yang homogen secara etnis atau secara sengaja untuk memengaruhi komposisi dan distribusi populasi.

Mereka (pihak yang melakukan rekayasa demografis) memiliki dimensi spasial yang jelas karena mereka ingin menciptakan kembali distribusi teritorial komunitas dengan memfasilitasi kontrol dan/atau asimilasi kelompok etnis minoritas, atau dengan jalan menghilangkan populasi minoritas dari wilayah yang bersangkuta (McGarry, 1998: 630).

Rekayasa demografis umumnya dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemalsuan hasil sensus, penggambaran ulang perbatasan, pemindahan populasi, asimilasi, imigrasi baik secara sukarela maupun secara paksa, kebijakan pronatalis (untuk mengibah tingkat kelahiran), dan genosida.

Menurut Wainer, Teitelbaum, McGarry, dan Seker, dalam definisi yang lebih inklusif, rekayasa demografis memiliki 3 ciri utama, yaitu negara memiliki peran utama dalam upaya rekayasa demografis, pertimbangan terhadap aspek destruktif hingga konstruktif, dan perhatian khusus terhadap ruang dan wilayah. Seker juga menambahkan bahwa semua kebijakan dan program yang dibuat negara bertujuan untuk meningkatkan kekuatan politik dan ekonomi satu kelompok etnis atas kelompok lain (Seker, 2007: 61).

Apabila rekayasa demografis diambil sebagai konsep integratif, kemungkinan akan muncul dua kontribusi penting yang patut untuk dipertimbangkan. Pertama, rekayasa demografis akan mampu memfasilitasi eksplorasi berbagai rangkaian antara fase destruksi dan konstruksi, di mana keduanya akan saling bergantung satu sama lain.

Kedua, rekayasa demografis memungkinkan pembahasan mengenai momen-momen destruktif dan konstruktif secara independen dari perspektif kronologis, serta mampu memperlakukannya sebagai dimensi yang dapat hadir bersamaan di waktu tertentu dan dalam kebijakan negara yang telah disahkan.

Dapat disimpulkan bahwa rekayasa demografis mampu mensintesis inti destruktif dari kebijakan-kebijakan nasional, seperti pembersihan etnis dan pertukaran populasi dengan program pembangunan bangsa yang bersifat konstruktif namun diskriminatif.

Tujuan Rekayasa Demografis

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa salah satu tujuan rekayasa demografis adalah untuk membentuk homogenitas etnis. Meski pun demikian, hal tersebut bukanlah tujuan utama dilakukannya rekayasa demografis. Sebelum ada istilah negara bangsa, rekayasa demografis dilakukan sebagai upaya untuk mengamankan wilayah kekaisaran yang baru saja ditaklukkan, atau sebagai upaya meningkatkan jumlah populasi di wilayah tertentu yang masih jarang penduduknya.

Rekayasa demografis juga sering dilakukan untuk mencapai suatu kepentingan strategis, seperti jalur perdagangan, serta meningkatkan kekuatan politik dan ekonomi dari kelompok etnis yang dianggap distingtif. Memasuki era negara bangsa, yaitu runtuhnya era kekaisaran, rekayasa demografis digunakan sebagai upaya untuk mendukung kebangkitan nasionalisme, biasanya nasionalisme etnis dan nasionalisme keagamaan.

Contoh Rekayasa Demografis

Dari era kekaisaran hingga era negara bangsa, rekayasa demografis masih tetap ada dan dilakukan oleh beberapa pihak atau negara untuk tujuan tertentu. Berikut ini merupakan beberapa contoh dari rekayasa demografis yang pernah terjadi dan bahkan masih terjadi hingga sekarang.

  • Israel

Banyak dari kalangan para sarjana dan organisasi HAM menyebut bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Israel adalah bentuk rekayasa demografis. Human Rights watch dalam laporannya menyatakan bahwa pemerintah Israel membuat kebijakan yang di dalamnya memuat kejahatan apartheid yang bertujuan untuk memecah belah penduduk Palestina dengan menjaga kontrol politik orang Yahudi terhadap wilayah Palestina.

Mantan Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion berpendapat bahwa kelangsungan hidup orang Yahudi sebagai mayoritas tidak dapat diganggu gugat dengan cara apa pun. Yigal Allon, mantan Menteri Luar Negeri Israel, mendukung untuk mempertahankan lembah Jordan yang berpendudukan jarang, sementara memberikan izin otonomi di daerah lainnya yang berpenduduk padat seperti West Bank. Sehingga, secara demografis dan strategis seluruh tanah dan negara dikuasai oleh bangsa Yahudi.

Imigrasi besar-besaran bangsa Yahudi Rusia ke Palestina, diharapkan mampu mendukung dalam upaya mempertahankan wilayah dengan mempertahankan Yahudi sebagai kelompok mayoritas. Di wilayah West Bank ada sebuah rute penghalang yang digunakan untuk memaksimalkan populasi Yahudi dan meminimalkan populasi penduduk asli Palestina, yang sering disebut dengan pagar demografi.

Upaya Israel dalam membangun mayoritas Yahudi juga dilakukan dengan melakukan serangan militer dan pengusiran oleh pasukan Yahudi yang menyebabkan sekitar 20.000 penduduk Palestina keluar dari kota Lod. Rumah yang mereka tinggalkan kini berganti kepemilikan ke imigran Yahudi. Pada tahun-tahun setelah perang 1948, lebih dari 10.00 imigran Yahudi menetap di kota Lod.

  • Kuwait

Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Kuwait dinilai telah membuat kebijakan yang mengarah ke upaya rekayasa demografis. Terutama terkait sejarah naturalisasi dan krisis tanpa kewarganegaraan (Bidoon) di Kuwait. Beberapa waktu belakangan, pemerintah Kuwait mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan resmi terkait pemberian bantuan jalur hukum bagi non-warga negara yang ingin memperoleh kewarganegaraan.

Namun, secara otokritas akses untuk menjadi warga negara Kuwait dikontrol oleh keluarga Al Sabah, sehingga akses tersebut tidak tunduk pada pengawasan peraturan eksternal. Sementara kebijakan naturalisasi dalam UU Kewarganegaraan diterapkan tanpa adanya transparansi dan sewenang-wenang. Sehingga non-warga negara Kuwait tidak menerima hak yang sesuai untuk memperoleh kewarganegaraan.

Akibatnya banyak terjadi manipulasi terhadap proses naturalisasi dari Al Sabah yang didasari oleh kepentingan politik. Selama 3 dekade setelah kemerdekaan pada 1961, Al Sabah telah menaturalisasi ratusan ribu Badui dari Arab Saudi, dan sebanyak 200.000 imigran pada 1980. Sepanjang 1980-an, kebijakan tersebut terus berlanjut, namun tidak disetujui secara hukum oleh pemerintah Kuwait.

Tujuan utama upaya naturalisasi terhadap Badui Arab Saudi adalah untuk mengubah susunan demografis penduduk yang membuat kekuatan Al Sabah tetap aman. Mereka beranggapan bahwa imigran Badui lebih mudah dikendalikan daripada ekspatriat dari Palestina, Lebanon, dan Suriah yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam dunia politik Kuwait. Dengan demikian, tak satu pun Bidoon tanpa kewarganegaraan di Kuwait yang berasal dari suku Ajman.

Ototritas sistem peradilan Kuwait yang lemah memperumit krisis Bidoon yang tak kunjung dapat memiliki akses ke pengadilan guna mengajukan kasus kewarganegaraan mereka. Meski 70% dari populasi Kuwait merupakan non-warga negara, Al Sabah terus menolak pengajuan kewarganegaraan sebagian besar dari mereka, termasuk dari mereka yang telah memenuhi persyaratan naturalisasi yang secara resmi telah diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Kuwait.

Namun demikian, otoritas Kuwait mengizinkan praktik pemalsuan upaya naturalisasi dari ratusan ribu non-warga negara yang memiliki kepentingan politik tertentu, dan dengan tetap menolak kewarganegaraan Bidoon. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat segala aktivitas politik, cendekiawan, peneliti, dan upaya naturalisasi Al Sabah sebagai upaya rekayasa demografis yang sama dengan kebijakan milik Bahrain.

  • Kekaisaran Ottoman

Rekayasa demografis yang dilakukan oleh Kesultanan Utsmaniyah dibagi ke dalam 3 fase. Fase pertama antara abad ke-16 dan ke-18, di mana kebijakan pemindahan penduduk dilakukan untuk mencapai rekayasa demografis penduduk di wilayah yang baru ditaklukkan.

Fase kedua antara tahun 1850-an dan 1931, terjadi ketika militer Utsmaniyah mengalami kekalahan di Balkan yang mengakibatkan ribuan Muslim mengungsi ke wilayah-wilayah terdekat, dan merupakan awal dari rekayasa demografis di Anatolia yang berlanjut menjadi genosida Armenia.

Fase terakhir dari 1850 hingga 1950, menurut Erik-Jan Zurcher, Turkolog Belanda, merupakan bagian dari zaman rekayasa demografis Eropa. Pada saat itu banyak terjadi perpindahan penduduk dan genosida. Pada 1955, muncul suatu kebijakan bernama pogrom Istanbul yang merupakan rekayasa demografis akibat provokasi negara yang menyebabkan penduduk etnis minoritas seperti Armenia, Yunani, dan Yahudi memilih untuk pergi.

fbWhatsappTwitterLinkedIn