Daftar isi
Kemajemukan budaya mampu menambah keindahan terhadap pola kehidupan masyarakat suatu negara. Di sisi lain, kemajemukan terkadang membawa dampak negatif, seperti etno-nasionalisme. Kasus yang sering nampak adalah rasisme, baik secara ras, suku, agama, maupun bangsa.
Pengertian Etno-Nasionalisme
Etno-nasionalisme, juga dikenal istilah etnonasionalisme adalah suatu bentuk paham kebangsaan (nasionalisme) dengan sentimen etnis sebagai basisnya, serta adanya penekanan terhadap pendekatan etnosentris, namun dalam beberapa kasus menggunakan etnoktatis, terhadap berbagai isu politik yang berkaitan dengan penegasan nasional dari kelompok etnis tertentu.
Primsip utama dari etno-nasionalisme adalah terbentuknya suatu bangsa ditentukan oleh warisan budaya, berupa bahasa, keyakinan, kebiasaan dan cara hidup, serta moyang dari etnis yang sama. Sedangkan orang-orang dari etnis berbeda diklasifikasikan sebagai warga negara kelas dua. Amerika Serikat dan Kesultanan Ottoman adalah contoh dari negara polietnis, di mana kebangsaan ditentukan oleh wilayah geografis.
Pengembangan Konseptual Etno-Nasionalisme
Awal abad ke-20 menjadi era kemunculan studi mengenai etno-nasionalisme, yaitu periode antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Pengembangan awal dilakukan dengan ‘penggambaran ulang’ peta politik Eropa, yang terdiri dari sepanjang garis etnis dan kebangsaan sesuai ‘hak-hak rakyat’ yang diproklamirkan sebagai penentuan nasib diri sendiri dan munculnya ideologi etno-sentris fasis (termasuk Nazisme di dalamnya).
Selama perang dingin berlangsung, upaya ‘penggambaran ulang’ dimulai dari negara-negara bekas jajahan Eropa dan Afrika guna menghidupkan kembali penelitian mengenai identitas suku, etnis, kebangsaan, serta ‘kesulitan politik’ akibat kolonialisasi yang bangsa Eropa lakukan.
Berbagai peristiwa yang terjadi antara tahun 1980-an hingga 1990-an, seperti runtuhnya Uni Soviet, kebangkitan terhadap klaim serta konflik etnis dan kebangsaan, memacu perkembangan lebih mengenai studi etno-nasionalisme di akhir abad ke-20.
Selain itu, penelusuran terhadap akar psikologis dari fenomena etno-nasionalisme wajib dilakukan. Jika ditelusuri, keinginan untuk hidup lebih bermartabat merupakan motivasi utama untuk memperoleh kemerdekaan dengan menentang berbagai bentuk pemerintahan yang represif.
Semangat seperti itulah yang kemudian menjadi tolok ukur terhadap kinerja negara bangsa yang sejatinya sangat sulit karena seringnya harus berhadapan dengan kondisi struktur masyarakatnya yang terdiferensiasi secara tajam.
Karakteristik Etno-Nasionalisme
Terdapat tiga karakteristik utama yang tercermin dari etno-nasionalisme, di antaranya:
- Hak Terhadap Penentuan Nasib Sendiri
Kebebasan dalam menentukan nasib dari suatu kelompok etnis adalah prinsip politik utama dari etno-nasionalisme. Kebebasan tersebut merupakan variasi dari hak-hak yang diberikan kepada mereka, seperti pendirian badan administratif yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat yang sekiranya sudah mapan, entitas otonom yang terpisah dari masyarakat tersebut, hingga penghapusan institusi federalisme etnis dalam masyarakat multi-etnis guna mendirikan sebuah negara merdeka yang berdaulat.
Dalam hubungan internasional, hal ini juga akan mengarah pada kebijakan dan gerakan irredentisme yang merupakan suatu upaya megklain sebuah bangsa yang sama berdasarkan etnisitas tertentu. Bisa juga menjadi upaya pembentukan etnokratis (mono-kratis atau poli-etnokratis), di mana negara dikendalikan oleh kelompok nasional dengan etnis tertentu yang dominan, baik secara politik maupun militer, demi kepentingan tertentu.
- Keanggotaan Bangsa Berdasarkan Pada Keturunan
Dalam beberapa literatur ilmiah, etno-nasionalisme biasanya dikontraskan dengan nasionalisme sipil. Keanggotaan bangsa dalam etno-nasionalisme didasarkan pada keturunan suatu kelompok etnis tertentu.
Hal ini sering dipahami sebagai suatu kesamaan dalam hal darah atau kekerabatan, bukan pada keanggotaan politik. Oleh karenanya, negara-negara dengan budaya etno-nasionalisme yang kuat cenderung mendefinisikan kebangsaan mereka dengan ius sanguinis.
Sementara itu, negara-negara dengan budaya nasionalisme sipil (kewarganegaraan) yang kuat cenderung mendefinisikan kebangsaan atau kewarganegaraan dengan ius soli, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran.
Dengan demikian, etno-nasionalisme dipandang sebagai bangsa eksklusif, sementara nasionalisme sipil adalah bangsa inklusif. Alih-alih memiliki kesetiaan pada cita-cita negara dan tradisi budaya, etno-nasionalisme lebih cenderung menekankan pada narasi keturunan bersama.
- Gagasan Etno-Nasionalisme Diwariskan
Dari berbagai jenis etno-nasionalisme yang ada, beberapa dari mereka memiliki gagasan etnisitas yang berakar kuat sebagai karakteristik yang diwariskan. Sebagai contoh, seperti white nationalism dan black nationalism. Selain itu, etno-nasionalisme seringkali terwujud dalam asimilasi kelompok minoritas ke dalam kelompok dominan, seperti Italianization.
Asimilasi ini kemungkinan bisa atau juga tidak didasarkan pada kepercayaan pada beberapa nenek moyang yang sama, seperti Gemanization pada Perang Dunia II. Versi paling ekstrim dari etno-nasionalisme adalah racial nationalism. Ada teori terbaru dengan data empiris yang menunjukkan bahwa orang-orang cenderung mempertahankan keyakinan ganda tentang kebangsaan, sehingga keduanya dapat diwariskan baik secara biologis saat lahir maupun diperoleh secara budaya dalam kehidupan.
Dampak Etno-Nasionalisme
Etno-nasionalisme banyak berperan dalam peristiwa-peristiwa rasisme. Seperti yang dilaporkan yang dirilis oleh Tendayi Achiume, staf pelapor khusus PBB tentang rasisme pada 2018 lalu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa ‘diketahui ada lebih dari 75% populasi tidak memiliki kewarganegaraan yang termasuk dalam kelompok non-kulit putih. Mereka menyoroti peran etno-nasionalisme dalam kasus rasisme di dunia internasional, seperti perampasan hak kewarganegaraan.
Dalam laporannya, Achiume menambahkan bahwa hukum HAM internasional melarang adanya diskriminasi kepada non-warga negara atas dasar ras, keturunan, etnis, dan asal negara, karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap undang-undang internasional tentang kewarganegaraan, kebangsaan, dan imigrasi.
Dia juga menjelaskan tentang peran undang-undang yang membatasi hak pernikahan, hal ini sehubungan dengan kelompok nasional, agama, etnis atau ras tertentu, yang sering digunakan oleh negara-negara tertentu untuk memperkuat gagasan mengenai “kemurnian” nasional, etnis dan ras.
Namun, di zaman modern seperti sekarang ini, retorika etno-nasionalisme banyak digunakan untuk menyerang warga imigran dengan dalih kemurnian etnis dan pelestarian agama, budaya dan bahasa.
Bahkan negara-negara dengan sejarah imigrasi yang membanggakan juga tidak luput dari fitnah terhadap kelompok etnis, ras, agama, dan bangsa atas dasar prasangka. Dalam laporannya, Achiume menyebut bahwa kasus Muslim Rohingya adalah conto paling menegerikan.
Negara maju seperti Inggris juga tidak luput dari kasus serupa, yaitu pelanggaran terhadap hak warga negara Inggris Afro-Karibia dari generasi Windrush. Namun, kebanyakan dari negara-negara di dunia sering menggunakan informasi yang salah untuk menggambarkan suatu kelompok ras, bangsa, dan agama tertentu sebagai bentuk ancaman terhadap keamanan nasioanl negaranya dengan membenarkan penolakan atau pencabutan hak.
Contoh Kontemporer Etno-Nasionalisme
Kasus-kasus mengenai budaya etno-nasionalisme seringkali dilakukan, baik dulu maupun sekarang. Contoh dari penerapan etno-nasionalisme masa lampau seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seperti pada abad ke-19 hingga ke-20, etno-nasionalisme digunakan sebagai kekuatan kolonial bangsa Eropa untuk membenarkan pelarangan warga dari bangsanya, orang Roma dan Yahudi dikeluarkan dari kewarganegaraan atas dasar yang sama.
Sementara itu, untuk contoh kontemporer dapat kita liat di negara Malaysia dan Amerika Serikat yang sampai saat ini masih tetap berjalan.
- Amerika Serikat
Pemilihan umum presiden Amerika Serikat tahun 2016, menjadi awal baru bagi penerapan budaya etno-nasionalisme yang didorong oleh kesadaran politik Amerika melalui politik identitas Donald Trump. Trump menyatakan gagasannya mengenai apa artinya menjadi orang Amerika sejati, yang telah menciptakan cita-cita etnosentris baru hingga menjadi prediktor kuat dari pemilihan suara untuk Trump di antara orang-orang kulit puti di Amerika Serikat.
Dilansir dari data American National Election Studies (ANES) tahun 2016, terdapat keterkaitan positif antara etno-nasionalisme dan sikap anti-imigran di antara orang-orang kulit putih Amerika Serikat. Di mana hal-hal yang menjadi penghambat terhadap imigrasi seringkali didasarkan pada ketakutan akan berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh para imigran terhadap ketahanan identitas nasional Amerika. Keyakinan tersebut lah yang membentuk ciri sejati orang Amerika.
- Malaysia
Istilah Bumi Putra menjadi gambaran nyata adanya budaya etno-nasionalime di negara Malaysia. Bumi Putra digunakan untuk menggambarkan dan mengajui kedudukan khusus orang Melayu di Malaysia, dan ini telah diatur dalam Konstitusi Malaysia khususnya Pasal 153.
Namun demikian, dalam konstitusi tersebut tidak secara langsung menggunakan istilah Bumi Putra, melainkan hanya mendefinisikan ‘Melayu’ dan ‘Masyarakat Adat’ (Pasal 10 ayat (2)), Penduduk Asli Sarawak (Pasal 161 ayat (6a)), dan Penduduk Asli Sabah (Pasal 161 A (6b)).
Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah juga lebih banyak pro kepada Bumi Putra. Hal ini dibuat sebagai tindakan afirmatif bagi Bumi Putra sejak Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia lebih didasarkan pada ras. Sebagai contoh, semua Bumi Putra, terlepas dari tingkat dan status perekonomian mereka, berhak atas diskon sebesar 7% untuk rumah atau properti, termasuk unit mewah.
Sementara itu, bagi mereka yang bukan Bumi Putra berpenghasilan rendah tidak mendapatkan keringanan keuangan seperti yang didapatkan oleh Bumi Putra. Kebijakan lain yang sifatnya preferensial seperti kuota di lembaga pendidikan pemerintah, kualifikasi beasiswa publik, penilaian kertas ujian universitas, kelasa khusus sebelum ujian bagi mahasiswa semester akhir, posisi dalam pemerintahan, hingga kepemilikan bisnis.
Sebagian besar kebijakan tersebut dibuat pada tahun 1970-an. Sehingga banyak kebijakan yang hanya berfokus pada upaya untuk mencapai ekuitas korporasi Bumiputra, minimal 30% dari total populasi. Ismail Abdul Rahman menjadi pioneer pengusulan target tersebut setelah pemerintah tidak dapat lagi menyepakati tujuan kebijakan yang sesuai.