Daftar isi
Pada masa sebelum terjadinya kemerdekaan, banyak kerajaan berdiri di Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut tersebar di berbagai wilayah, termasuk diantaranya wilayah Banten, tepatnya di Tanah Pasundan.
Kerajaan Banten merupakan salah satu kerajaan islam di indonesia selain kerajaan Demak, kerajaan Aceh, dan kerajaan Cirebon yang memiliki peninggalan cukup banyak.
Kali ini kita akan membahas mengenai bagaimana sejarah Kesultanan Banten berdiri.
Sejarah Kesultanan Banten dimulai pada abad ke -16 yakni tahun 1526. Di abad sebelumnya yaitu abad ke -13, Banten merupakan wilayah yang sepi.
Di awal abad ke -16, agama Islam mulai menyebar di berbagai wilayah Jawa. Kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak pun saling bersekutu menyebarkan agama Islam melalui jalur perdagangan.
Ketika itu ada seorang ulama bernama Fatahillah dari Pasai yang bertujuan untuk memperluas wilayah Kerajaan Demak. Ia diutus oleh Sultan Trenggana untuk datang ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa.
Kala itu, Banten masih menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran sendiri telah melakukan perjanjian dengan Portugis.
Kerajaan Pajajaran melakukan perjanjian guna mengurangi pengaruh Islam yang semakin berkembang di pesisir Jawa Barat.
Mereka menjalin persahabatan dengan Portugis agar Portugis mampu membantu secara militer untuk mengimbangi kekuatan dari pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Sebagai gantinya, Portugis dapat melakukan perdagangan bebas di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran, yang mana Portugis akhirnya bisa mendirikan wilayah dagang dan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Namun pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan dari ulama Fatahilah mampu merebut Sunda Kelapa dari Portugis untuk perluasan wilayahnya.
Oleh karena itu, Sunda Kelapa pun berganti nama menjadi Jayakarta yang memiliki arti Kota Kemenangan. Dalam waktu singkat saja, Fatahilah mampu menduduki daerah-daerah di kawasan pantai utara Jawa Barat.
Ia pun turut menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat dan oleh karenanya diberi julukan sebagai Sunan Gunung Jati.
Di tahun 1552, salah seorang putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hassanudin ditunjuk sebagai penguasa Banten. Sebelumnya, ia turut serta dalam penaklukan bersama ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Setelah tahun 1552, akhirnya Maulana Hassanudin melepaskan diri dari kerajaan Demak dan berdiri sendiri sebagai kesultanan Banten. Ia mengembangkan benteng pertahanan yang disebut Surosowan.
Benteng inilah yang menjadi pusat pemerintahan setelah lepasnya kesultanan Banten dari bayang-bayang kerajaan Demak.
Disebut juga dengan Sultan Hasanuddin atau Pangeran Sabakinking, memerintah Banten selama 18 tahun dari tahun 1552-1570 M.
Beliau merupakan anak dari Sunan Gunung Jati yang memimpin pasukan merebut Sunda Kelapa dari Portugis.
Sebelumnya, beliau merupakan kadipaten di bawah Kesultanan Cirebon mulai 1526-1552 M, lalu berlanjut memimpin Cirebon hingga 1570 M.
Kerajaan Banten dibawah naungan Sultan Hassanudin pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Demak.
Dalam kepemimpinan Maulana Hassanudin, Banten mampu menguasai daerah Lampung dan selat Sunda.
Wilayah kekuasaan Lampung terkenal akan rempah-rempahnya, sedangkan selat Sunda menjadi jalur utama dalam perdagangan pada tahun itu.
Banten menjadi terkenal dan pelabuhannya selalu ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang mancanegara berkat Sultan Hassanudin.
Sultan kedua yang memimpin kerajaan Banten ialah Maulana Yusuf atau disebut sebagai Pangeran Pasareyan. Beliau memimpin Banten dari tahun 1570-1580 M.
Di bawah kepemimpinannya, Banten menjadi semakin terkenal. Perkembangan agama Islam menyebar rata di setiap penjuru wilayah Banten seperti pusat kota Banten Girang, Banten Surosuwan hingga daerah-daerah di selatan.
Kepemimpinan Maulana Yusuf benar-benar memberikan efek yang baik dari segi perluasan wilayah maupun penguatan agama Islam.
Dalam masanya, Masjid Agung Banten dijadikan sarana untuk beribadah, berdakwah hingga diskusi agama oleh para ulama. Pada tahun 1579, ibu kota Pajajaran berhasil direbut oleh Maulana Yusuf dengan bantuan prajurit dan tokoh agama.
Hanya dalam waktu 9 tahun kepemimpinan saja, Maulana Yusuf mampu menaklukan Prabu Sedah yang memimpin kerajaan Pajajaran.
Hal ini membuat rakyat-rakyat Pajajaran mengungsi ke daerah-daerah pegunungan dan kini disebut sebagai suku Badui.
Maulana Muhammad merupakan anak dari Maulana Yusuf. Beliau menggantikan ayahnya setelah Maulana Yusuf wafat.
Nama lain dari Maulana Muhammad ialah Pangeran Sedangrana atau Prabu Sedaing Palembang.
Ini dikarenakan beliau seda (meninggal) dalam peperangan perluasan wilayah di Palembang.
Ketika itu kemenangan sudah hampir diraih, namun sayangnya Sultan Banten ke -3 ini gugur dalam peperangan dikarenakan peluru yang menyerangnya.
Pada saat pemerintahannya, Maulana Muhammad masih berusia 9 tahun. Oleh karena itulah, tahta kerajaan ketika itu dipegang oleh mangkubumi Jayanegara hingga beliau berusia 16 tahun.
Namun sayangnya hanya 5 tahun masa kepemimpinan, beliau berpulang di usia 97 tahun. Beliau memimpin Banten dari tahun 1585 hingga 1596 M.
Sultan selanjutnya yang memimpin kesultanan Banten di tahun 1596-1647 adalah Sultan Abdul Mufakhir. Beliau disebut juga sebagai Pangeran Ratu atau Sultan Agung.
Beliau meneruskan kepemimpinan di usia yang masih sangat muda yakni 6 bulan. Karena hal inilah, kepemimpinan ketika itu masih dibantu oleh mangkubumi Ranamanggela.
Ketika menjabat sebagai mangkubumi, Pangeran Ranamanggela melakukan penertiban keamanan dan merekonstruksi kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya terhadap pedagang Eropa.
Saat itu memang pada tanggal 22 Juni 1596, bangsa Belanda yang dipimpin Cornelius de Houtman datang ke Banten dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi warganya. Dimana macam-macam kebutuhan ekonomi tersebut diantaranya untuk berdagang dan mencampuri urusan dalam negeri.
Karena itulah, mangkubumi Ramanenggala menaikkan pajak dagang pada kompeni agar mereka bisa pindah dari Banten.
Hingga akhirnya Sultan Abdul Mufakhir dewasa dan kekuasaan beralih kepadanya. Sultan Abdul Mufakhir menjadi penguasa Banten yang diberi gelar Sultan dan dikenal sebagai sosok yang menentang keinginan Belanda untuk memonopoli perdagangan.
Pada tahun 1633, terjadilah perang akibat dari penolakan tersebut. Namun pada akhirnya perang berakhir dengan adanya perjanjian damai dari kedua belah pihak.
Sebelumnya, kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad memimpin Banten di tahun 1647-1651 meneruskan perjuangan Sultan Abdul Mufakhir.
Selanjutnya diteruskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang menjabat Banten dari tahun 1651-1683.
Sebutan lain untuk sultan Banten ke -6 ini adalah Abu al-Fath Abdul Fattah, Pangeran Dipati atau Pangeran Surya.
Pada masa kepemimpinannya, Banten berkembang pesat dan menjalin banyak kerjasama dengan negara luar seperti Moghul dan Turki.
Namun meski begitu, Sultan Ageng Tirtayasa tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda.
Beliau melakukan serangan gerilya baik jalur laut maupun daratan Indonesia untuk menaklukkan pertahanan Belanda yang pada saat itu bermarkas di Batavia (Jayakarta).
Akhirnya selama kurang lebih 20 tahun, Banten menjadi aman di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Hingga di tahun 1692 Sultan Ageng Tirtayasa wafat setelah ditangkap dan dipenjarakan oleh kompeni.
Putra sulung Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Sultan Abu Nashar Abdul Qahar, disebut juga Sultan Haji, kembali dari Mekah tahun 1676.
Berbeda dengan ayahnya, Sultan Haji justru lebih berpihak pada Belanda dan membuat Sultan Ageng Tirtayasa kecewa atas sikap anaknya. Hal inilah yang menjadikan perang saudara.
Sultan Haji dan kompeni melakukan perjanjian pada tahun 1682 setelah ayahnya ditangkap dan menjabat dari tahun 1683-1687.
Kesultanan Banten mencapai masa kejayaan ketika Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di tahun 1651 hingga 1682.
Kala itu, Banten berkembang pesat menjadi salah satu dari pusat perdagangan.
Banten pun memiliki armada yang menakjubkan, bahkan mampu mengupah orang-orang Eropa yang bekerja pada kesultanan Banten. Pada masa kejayaan inilah, Banten menjadi kawasan multi-etnis.
Banten pun berusaha melepaskan diri dari pengaruh VOC pada masa itu. Kesultanan Banten terus menerus melakukan serangan gerilya demi mengusir Belanda keluar dari wilayah Banten.
Runtuhnya kerajaan Banten bermula dari adanya perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Setelah kurang lebih 20 tahun lamanya, kerajaan Banten berjaya dan aman dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Anaknya, Sultan Haji, akhirnya kembali dari Mekah dan lebih memihak kepada Belanda. Karena pertentangan inilah, pada tahun 1681, Sultan Haji dengan bantuan pasukan VOC melakukan kudeta ke istana Surosuwan di Banten.
Meski harus melawan anaknya, tak menyurutkan niat Sultan Ageng Tirtayasa untuk tetap teguh pendirian melawan Belanda.
Dengan pertempuran saudara antara ayah dan anak inilah, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh kompeni dan dimasukan ke penjara hingga wafat di tahun 1692.
Sementara, Sultan Haji dan kompeni melakukan perjanjian pada tahun 1682. Karena inilah akhirnya status-status sultan Banten berikutnya menjadi boneka Belanda hingga akhir keruntuhan kesultanan Banten.
Masjid yang aktif pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf ini masih ada dan terletak di desa Banten Lama, Kaseman.
Bentuknya seperti menara mercusuar dengan bagian atas seperti pagoda. Sementara di sisi kanan dan kirinya terletak makam para kesultanan Banten dan anggota-anggota keluarganya.
Istana ini adalah tempat tinggal Ratu Aisyah, yakni ibu Sultan Syaifudin. Tahun 1832, bangunan ini runtuh akibat serangan Belanda terhadap Banten. Sehingga kini hanya puing-puing saja.
Tak beda dengan Istana Keraton Kaibon, istana ini pun juga tinggal puing-puing saja akibat dari serangan Sultan Haji ketika perang saudara. Istana Surosuwan merupakan pusat pemerintahan Banten pada masanya.
Benteng ini adalah bangunan tembok pertahanan yang dibangun 1585 untuk tempat pengawasan aktifitas pelayaran di Selat Sunda.
Di dalamnya ada beberapa meriam kuno dan terowongan yang menuju ke Istana Surosuwan.
Danau Tasikardi adalah sumber utama air yang mengaliri sawah-sawah di Banten. Tak hanya itu, danau ini juga sebagai mata air utama keluarga kerajaan yang tinggal di sekitar Istana Kaibon.
Meski kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam, namun di masa itu terdapat vihara yang dibangun dengan nama Avalokitesvara.
Di bagian tembok vihara yang kokoh ini terdapat relief yang mengisahkan legenda siluman ular putih.
Meriam dengan daya ledak yang tinggi ini dapat ditemukan di dalam Benteng Speelwijk. Meriam ini adalah meriam yang paling besar yang ada di dalam Benteng Speelwijk.
Selamat membaca, semoga bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai sejarah di Indonesia.