Istilah iredentisme diambil dari frasa Italia ‘irredenta’ yang artinya tidak ditebus. Frasa ini awalnya merujuk pada gerakan politik Italia di akhir 1800-an hingga awal 1900-an, di mana pemerintah Italia berusaha melepaskan sebagian besar wilayah berbahasa Italia dari kekuasaan Swiss dan Kekaisaran Austro-Hungaria, kemudian memasukan wilayah-wilayah tersebut ke dalam negara Italia yang baru.
Iredentisme, secara singkat dapat diartikan sebagai klaim teritorial wilayah tertentu berdasarkan basis nasional, etnis, atau sejarah. Negara iredentist melakukan klaim kepemilikan terhadap wilayah tertentu dari negara lain karena secara etnis populasi mereka memiliki kemiripan baik secara etnis maupun historis dengan negara mereka sebelumnya.
Dalam hal ini, ada tiga entitas penting yang melekat pada iredentisme, di antaranya negara iredentist (negara induk), negara tetangga (negara target), dan wilayah milik negara target yang disengketakan (irredenta). apabila merujuk pada definisi ini, gerakan rakyat yang menuntut perubahan teritorial oleh aktor non-negara tidak dianggap sebagai iredentist dalam arti sempit.
Terlepas dari banyaknya kasus iredentisme di dunia serta sejarah panjang mengenai berbagai klaim yang memicu terjadinya konflik bersenjata, tetap saja tidak ada kesepakatan pasti mengenai penyebab, dinamika, maupun penyelesaiannya.
Meski demikian, terdapat 5 konsep penjelas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena iredentisme, yakni struktural, realis, pilihan rasional, domestik, dan konstruktivisme.
Konsep struktural berpendapat bahwa, baik secara internasional maupun regional, negara yang berpotensi melakukan tindakan irredentist cenderung memiliki peran besar dalam menentukan kapan, di mana dan mengapa iredentisme harus dimulai dan diakhiri. Dalam kebanyakan kasus, tindakan irredentist lebih berfokus pada dukungan relatif secara internasional guna menjaga kedaulatan negara atau penentuan nasib negara.
Apabila negara lebih menekankan pada penentuan nasib negara, maka klaim secara nasional akan diizinkan untuk mengesampingkan kedaulatan negara yang mana daerah perbatasannya tidak dapat diganggu gugat. Namun, apabila iredentisme dilakukan guna menjaga kedaulatan, maka legitimasi klaim irredentist akan ditolak secara luas atau internasional.
Kaum realis memandang iredentisme sebagai keseimbangan kekuatan relatif antara negara pelaku irredentist dan negara sasarannya. Dalam beberapa kasus, kelemahan militer vis a vis negara sasaran akan memaksa negara pelaku irredentist untuk melepaskan klaimnya. Namun, dalam keseimbangan kekuatan relatif pada militer akan memicu timbulnya konflik iredentisme.
Pendapat lain dari konsep realis adalah kemampuan dalam membawa keseimbangan kekuatan ke tingkat yang lebih tinggi dengan memeriksa sejauh mana aktor internasional yang relevan (negara atau organisasi internasional) setuju atau mentolerir kebijakan tertentu dari negara-negara pelaku iredentis.
Pilihan rasional digunakan untuk mengatur proses pengambilan keputusan penting di awal timbulnya konflik iredentisme untuk mencapai tujuan instrumental. Ada 2 pandangan dalam rubrik ini, yaitu konflik elit dan teori pengalihan.
Pandangan pertama menyatakan bahwa para pemimpin akan selalu berusaha menggunakan fenomena iredentisme sebagai alat untuk melawan tantangan elit atau pemimpin lain dengan menarik sentimen nasionalis rakyat.
Pandangan kedua tentang teori pengalihan, yakni proses pengambil keputusan akan memicu terjadinya konflik iredentisme yang nantinya akan mengalihkan perhatian warganya dari masalah domestik (rumah tangga). Seperti yang terjadi pada invasi Argentina ke Kepulauan Falkland untuk menopang junta militer yang sering dianggap sebagai kasus klasik teori perang pengalih perhatian.
Pada tingkat domestik, iredentisme dapat muncul dalam 2 bentuk, yaitu demografi dan jenis rezim. Pandangan pertama menyatakan bahwa negara-negara homogen lebih mungkin menjadi pelaku irredentist, sedangkan negara-negara yang heterogen secara etnis tidak akan mau mendukung iredentisme yang nantinya hanya akan menguntungkan satu kelompok dan mungkin memiliki efek mengubah keseimbangan etnis negara jika berhasil dilakukan.
Pandangan kedua meyakini bahwa negara-negara demokratis cenderung tidak memiliki konflik iredentisme karena beberapa hal, seperti pengekangan institusional dalam meluncurkan tindakan irredentist, perlindungan terhadap kelompok minoritas dengan alasan melindungi diaspora seseorang, kemungkinan status keanggotaan dalam organisasi internasional yang melarang klaim tersebut, dan dinamika perdamaian teori demokrasi yang mengatur cara penyelesaian konflik negara-negara demokratis secara damai.
Apabila konstruktivisme diterapkan pada fenomena iredentisme, akan muncul dua pandangan. Pandangan pertama, identitas nasional (etnis) paling dominan di negara bagian atau negara tertentu akan memengaruhi sejauh mana ia akan menjadi irredentist di negara sasaran.
Identitas etnis menekankan pada kesatuan negara berbasis budaya yang melintasi batas-batas politik sehingga cocok digunakan sebagai alat promosi untuk mewujudkan kesatuan fisik negara, seperti identitas kewarganegaraan sipil yang bersifat politis, biasanya terkait dengan negara yang sudah ada sebelumnya karena dianggap lebih mudah dibatasi pada batas status quo.
Pandangan kedua yakni lebih berfokus pada cara-cara bagaimana klaim irredentist dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat luas. Pembenaran ini mencakup berbagai argumen yang menegaskan tentang hak dan kewajiban kelompok sasaran guna menyatukan negara dan cara yang tepat untuk mencapai tujuan ini.
Definisi mengenai iredentisme berusaha memaparkan apa yang menjadi penyebab dan penyelesaiannya secara baik dan damai. Bahkan beberapa hipotesis juga telah diajukan namun konsensus tentang penjelasan bagaimana iredentisme terjadi masih sangat minim dan sedikit, meski pre-valensi dan sejarah panjangnya sering kali memprovokasi terjadinya konflik bersenjata.
Banyak negara yang memiliki kerabat etnis di luar perbatasan mereka, namun hanya sedikit yang mau terlibat dalam konflik pencaplokan wilayah asing dalam upaya penyatuan kekerabatan mereka.
Kasus iredentisme berbasis etnis seringkali dilakukan oleh negara-negara dengan populasi etnis yang homogen. Para ahli menjelaskan bahwa jika suatu negara terdiri dari berbagai kelompok etnis berbeda, kemudian mencaplok wilayah yang sebagian besar dihuni oleh salah satu kelompok itu akan terjadi pergeseran keseimbangan kekuatan sehingga akan menguntungkan kelompok tersebut.
Karena alasan inilah kelompok etnis lain di negara tersebut kemungkinan besar secara internal akan menolak klaim irredentist tersebut. Faktor lain yang sering memicu konflik iredentisme adalah diskriminasi terhadap kelompok etnis utama di daerah target.
Dalam konsep konstruktivisme, identitas nasional yang dominan menjadi salah satu faktor sentral dibalik terjadinya konflik iredentisme. Identitas nasional di sini mencakup kesamaan etnis, budaya dan sejarah yang dapat digunakan untuk memperbesar atau memperluas batas-batas wilayah negara tertentu.
Sedangkan untuk identitas nasional kewarganegaraan yang berfokus pada sifat politik, lebih erat kaitannya dengan batas-batas negara yang sudah ada sebelumnya.
Pertimbangan ekonomi dan kekuasaan menjadi alasan atau faktor paling banyak digunakan dalam konflik iredentisme. Dalam konsep realis disebutkan bahwa semakin besar keseimbangan kekuatan mengarah ke negara irredentist, maka semakin besar pula kemungkinan konflik kekerasan dan bersenjata terjadi. Selain itu, konflik iredentisme juga dapat digunakan sebagai alat atau dalih untuk meningkatkan kekuasaan negara induk (pelaku iredentisme).
Dalam ranah pertimbangan ekonomi, iredentisme dapat menyebabkan negara irredentist menikmati keuntungan tertentu, seperti peningkatan pasar dan penurunan biaya pertahanan per kapita. Di sisi lain, negara irredentist juga akan mengalami kerugian tertentu, seperti kesulitan dalam mengakomodasi preferensi warga negara secara lebih luas.
Para pengamat berpendapat bahwa sebagian besar konflik iredentisme dimulai oleh negara dengan rezim otoriter, sedangkan negara-negara yang menganut sistem demokrasi cenderung menghindari konflik iredentisme.
Salah satu alasannya adalah adanya aturan inklusif mengenai semua jenis kelompok etnis yang ada di negara tersebut. Alasan lainnya adalah teori perdamaian demokratik yang mengklaim bahwa negara demokrasi berupaya menghindari konflik bersenjata dengan negara lain.
Meski pun demikian, iredentisme merupakan paradoks bagi sistem demokrasi di mana sejak adanya cita-cita negara demokrasi tentang penyatuan suatu etnis, dan sering kali digunakan untuk membenarkan klaimnya tersebut.
Menurut David S. Siroky dan Christopher W. Hale, rezim anokratis lebih berpeluang besar terlibat dalam konflik iredentisme namun sebagai korban. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa mereka berbagi cita-cita demokrasi tertentu yang mendukung timbulnya iredentisme, namun karena kurangnya stabilitas dan akuntabilitas kelembagaan menyebabkan mereka menjadi korban.
Meski tidak semua sengketa teritorial bersifat irredentist, namun sebagian pihak mengemas suatu konflik dalam retorika irredentist guna membenarkan dan melegitimasi klaim semacam itu, baik secara internasional mapun di dalam negeri. Berikut ini beberapa contoh kasus iredentisme yang pernah terjadi pada negara-negara di dunia.
Israel merupakan ekspresi dari berbagai makna al-kitab dan politik yang berbeda dari waktu ke waktu. Konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel sering disebut dengan iredentisme guna merujuk pada perbatasan yang menurut Israel bersejarah dan diinginkan.
Namun, saat ini negara-negara di dunia, khususnya Amerika dan Uni Eropa, mendefinisikan tanah sengketa tersebut sebagai wilayah Negara Israel dengan wilayah Palestina di dalamnya. Sebelumnya banyak yang menggunakan istilah Zionisme Revisionis, termasuk wilayah bekas Emirat Transyordania di dalamnya.
Indonesia telah melakukan klaim terhadap seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Rencana pemerintah Inggris untuk mengelompokkan Malaya-Inggris dan Pulau Kalimantan ke dalam suatu federasi baru, yaitu Federasi Malaysia yang merdeka dianggap sebagai ancaman terhadap tujuan rakyat bekas jajahan pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk negara kesatuan yang disebut Indonesia Raya. Pada 1963, oposisi Indonesia terhadap formasi Malaysia menyebabkan terjadinya konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Pada 1975 hingga 2002, Indonesia juga melakukan klaim irredentist terhadap Timor Timur yang menyebabkan terjadinya gencatan senjata dari kedua belah pihak. Gagasan untuk menyatukan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda dan Inggris di Asia Tenggara sebenarnya berakar dari terciptanya konsep Melayu Raya pada awal abad ke-20 yang diciptakan di Malaya Inggris dan dianut oleh para mahasiswa dan lulusan Sekolah Tinggi Pelatihan Sultan Idris. Pada 1950-an, Mohammad Yamin dan Soekarno kembali menghidupkan gagasan tersebut dan menanamkan kesatuan politik sebagai Indonesia Raya.
Argentina melakukan klaim terhadap wilayah yang dulunya memiliki kaitan dengan wilayah kerajaan Spanyol dari kekerabatan Rio de la Plata. Pada awal abad ke-19, Veceroyalty mulai membubarkan diri menjadi negara-negara terpisah yang merdeka, salah satunya kemudian menjadi Argentina. Klaim yang dilakukan Argentina tersebut mencakup antara lain bagian yang pada 2019 merupakan negara Chili, Paraguay, Uruguay, Brasil, dan Bolivia.
Klaim tersebut sebagian telah diselesaikan, dan sebagian lainnya masih aktif, sebagai contohnya perbatasan darat dengan Chili, bagian dari benua Antartika, serta kepulauan Atlantik Selatan Inggris dan Falklands.
Secara berkala, Argentina terus memperbarui klaim tersebut, seperti bangsa Argentina yang meratifikasi kedaulatannya terhadap kepemilikan Kepulauan Malvinas, Georgias del Sur dan Sandwich del Sur beserta zona laut dan pulau-pulau yang sesuai karena merupakan bagian integral dari wilayah nasional Argentina.