Justice Collaborator: Pengertian – Dasar Hukum dan Syaratnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bersedia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dalam upaya membongkar kasus tindak pidana tertentu yang sifatnya terorganisir hingga menimbulkan ancaman serius.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud tersebut antara lain seperti kasus korupsi, terorisme, money laundry (pencucian uang), narkotika, human trafficking (perdagangan orang), dan tindak pidana terorganisisr lainnya.

Dalam suatu tindak pidana, Justice collaborator memiliki peran penting dalam membongkar suatu kejahatan dengan menyediakan keterangan dan bukti guna menjerat pelaku utama dan tersangka lainnya di dalam suatu perkara. 

Peran Justice Collaborator

Seorang justice collaborator berperan sebagai kunci yang di antaranya:

  • Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara.
  • Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
  • Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Namun demikian, apabila seorang justice collaborator melakukan sebuah kebohongan dalam keterangannya, maka berbagai haknya sebagai justice collaborator akan dicabut dan bahkan ia bisa dituntut karena telah memberikan keterangan palsu.

Syarat Menjadi Justice Collaborator

Dalam memutuskan layak atau tidaknya seseorang menjadi justice collaborator, seorang hakim akan menggunakan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Angka (9a) dan (b) beserta keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai pedoman. Kedua hal tersebut digunakan dalam rangka mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisir.

Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang bisa menjadi justice collaborator, diantaranya:

  • Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu namun bukan pelaku utama, mengakui kejahatannya, dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut.
  • Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan, relevan, dan andal, sehingga dapat digunakan untuk mengungkap tindak pidana tersebut.
  • Ada kekhawatiran atau bahkan telah terjadi ancaman nyata, serta tekanan secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama dan/atau keluarganya.
  • Adanya kesediaan untuk mengembalikan sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang bersangkutan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis.

Dalam prosesnya, seorang justice collaborator sudah dipastikan akan mengalami berbagai ancaman. Sebab, secara tidak langsung ia telah membantu membongkar fakta dan keadilan. Maka dari itu, seorang justice collaborator berhak mendapatkan perlindungan baik secara fisik maupun psikis, perlindungan hukum penanganan secara khusus dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam sidang putusan terakhir, apabila Justice collaborator jujur dengan semua keterangan dan bukti yang diberikan, hakim memberikan penghargaan berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, perlakuan khusus, dan lainnya.

Dasar Hukum Justice Collaborator

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, pengaturan tentang justice collaborator merupakan hal baru jika dibandingkan dengan praktik hukum yang sudah terjadi dan berjalan. Hal ini karena dalam KUHAP maupun peraturan lain, secara eksplisit tidak mengatur adanya justice collaborator dalam peradilan pidana. Meski pun demikian, eksistensi justice collaborator di Indonesia didasari oleh beberapa ketentuan hukum, diantaranya:

  • Pasal 37 ayat (2) UNCAC Tahun 2003, berbunyi: “…mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
  • Pasal 37 ayat (3) UNCAC Tahun 2003, berbunyi: “… sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan penuntutan’  bagi pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan…”
  • Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yaitu, ayat (1) Saksi korban dan Pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya, dan ayat (2) Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
  • Pasal 197 angka (1) huruf F KUHAP, yaitu tentang surat putusan pidana di mana salah satu bagiannya membahas mengenai ‘keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa’. Dalam hal ini, keadaan yang meringankan tersebut meliputi pemebrian keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum pidana sebelumnya, berusia muda, bersikap baik/sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.
  • Pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime Tahun 2000, yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009, yaitu tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana uang Terorganisasi.
  • Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK mengenai upaya perlindungan terhadap pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator.
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, yaitu mengenai Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Keberadaan justice collaborator diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lembaga Perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama.

Perbedaan Justice Collaborator dan Saksi Mahkota

Saksi mahkota adalah saksi yang juga merupakan tersangka atau terdakwa yang keberadaannya diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan guna memberikan keterangan terhadap tersangka dan terdakwa lain, dengan cara memisahkan berkas perkara.

Dalam peradilan tindak pidana, kemunculan saksi mahkota akibat dari keterbatasan alat bukti yang dimiliki jaksa penuntut umum dalam upaya pembuktian perkara pidana yang dilakukan dalam bentuk penyertaan.

Bentuk penyertaan tersebut meliputi dari segala bentuk keterlibatan orang, baik secara fisik maupun psikis, dengan melakukan perbuatan berbeda-beda.

Namun, dari semua perbuatan tersebut memiliki keterkaitan dan saling menunjang hingga terjadi sebuah tindak pidana. Agar mempermudah dalam membedakan antara justice collaborator dan saksi mahkota, dapat kita lihat dari beberapa poin berikut ini:

Justice collaborator hanya muncul dalam pengungkapan kasus-kasus tindak pidana yang sifatnya terorganisir. Sedangkan saksi mahkota muncul dalam pembuktian semua jenis kasus tindak pidana (tidak ada batasan), dengan cara memisahkan berkas perkara semua tersangka atau terdakwa.

  • Keterangan yang Diberikan

Justice collaborator hanya memberikan keterangan mengenai tindak pidana yang berasal dari tersangka atau terdakwa yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

Sementara saksi mahkota memberikan kesaksian tentang tindak pidana dalam bentuk penyertaan, di mana biasanya gagasan untuk memberikan keterangan berasal dari aparat penegak hukum.

  • Peranan dalam Tindak Pidana

Justice collaborator muncul dengan peran yang besar karena suatu keadaan di mana aparat penegak hukum merasa kesulitan dalam mengungkap suatu tindak pidana terorganisir.

Sedangkan saksi mahkota, muncul sebab memiliki peranan paling ringan dalam tindak pidana, dan dibentuk oleh aparat penegak hukum karena keterbatasan alat bukti.

  • Motivasi

Justice collaborator ada karena tersangka atau terdakwa memilih untuk mengajukan diri guna mendapatkan keuntungan pribadi, seperti penghargaan dan keringanan hukuman. Sementara itu, saksi mahkota ada karena mutlak keputusan atau kehendak dari jaksa penuntut hukum.

fbWhatsappTwitterLinkedIn