Daftar isi
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam yang didirikan di provinsi Aceh pada akhir abad ke-14 Masehi dan ter masuk dalam Kerajaan di Indonesia yang pernah Berjaya. Dalam sejarahnya, Kerajaan Aceh mengembangkan pola sistem yang teratur dari sistem Pendidikan hingga ke sistem pemerintahan.
Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan bercita-cita menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar dan kuat.
Pada periode tersebut, Aceh menjadi pusat pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan, salah satunya adalah kemajuan kesusastraan. Naskah-naskah yang dilahirkan dalam berbagai keilmuaan lebih didominasi dalam Bahasa Jawi (Mekayu/Indonesia) daripada Bahasa Aceh. Hal ini tidak berlaku pada penulisan hikayat.
Kerajaan Aceh memiliki beberapa peninggalan karya sastra yang sampai saat ini masih terus dijaga eksistensinya. Diantaranya yang paling banyak peninggalan karya sastranya adalah Hikayat Aceh dan Bustanul Saladin.
1. Hikayat Aceh
Naskah Hikayat Aceh merupakan karya sastra langka yang ditulis pada abad ke-17 Masehi. Hikayat dalam sastra Aceh adalah sebuah bentuk karya tulis dalam bentuk puisi. Di Aceh, hikayat dikenal sebagai sebuah katya sastra berbentuk syair dan prosa.
Isi dari hikayat beraneka ragam seperti dongeng, cerita, sejarah, nasehat, kisah, sirat, nizam, dan lain sebagainya. Hikayat Aceh pada awalnya dikembangkan hanya melalui lisan, disampaikan turun temurun dari generasi ke generasi. Hikayat Aceh mengutamakan hafalan atau tradisi tutur dari generasi ke generasi.
Karya sastra kuno ini berkisah tentang perjalanan Sultan Iskandar Muda sebagai sultan paling kuat dan besar dalam Kerajaan Aceh. Hikayat Aceh ini berkisah tentang masa kejayaan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, berisi juga mengenai tradisi, tolesansi yang dibangun oleh tokoh utama Sultan Iskandar Muda. Toleransi dibangun oleh beberapa unsur, diantaranya sultan/pejabat negara, ulama, rakyat, adat, dan agama.
Hikayat Aceh menanamkan pola hidup dan budaya multikulturan dan berinteraksi antara satu dengan lainnya antara Sultan dengan rakyat dan antara pendatang dengan pribumi. Naskah Hikayat Aceh ini menggunakan aksara Jawi berbahasa Melayu.
Hikayat Aceh sebuah karya sastra dalam naskah klasik yang ditulis untuk memuji Sultan Iskandar Muda. Pujian tersebut telah dimulai sejak sebelum kelahiran Sultan Iskandar Muda hingga meninggal sultan yang banyak pengaruhnya di beberapa kerajaan di Nusantara. Teks tersebut ditulis pada periode tahun 1606 – 1636.
Naskah Hikayat Aceh merupakan kitab sastra yang istimewa karena mewakili tradisi penulisan sejarah yang ditulis atas dasar genre sastra Islam.
2. Bustanus Salatin
Dalam karya sastra ini atau yang disebut dengan kitab Bustanul Salatin terdapat kisah-kisah sejarah yang dibungkus dengan Agama Islam yang dijadikan pedoman oleh para raja-raja sebagai panduan dalam memimpin Kerajaan Aceh. Diharapkan agar para Sultan yang memerintah memahami bagaimana pedihnya perasaan teraniaya sehingga diharapkan dapat memerintah dengan adil.
Bustan al-Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin atau yang lazim dibaca Bustanus Salatin jika diterjemahkan ke Bahasa Melayu berarti ‘taman para raja’ adalah sebuah karya besar yang dibagi menjadi tujuh jilid. Setiap jilid dibagi menjadi beberapa pasal atau sub-bagian.
Kitab ini ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry pada rentang tahun 1634 – 1644 Masehi. Nuruddin ar-Raniry adalah seorang ulama dari Gujarat India yang tiba di Aceh pada sekitar tahun 1637 Masehi.
Bustanus Salatin adalah sebuah kitab yang mengulas sejarah dan mengandung panduan untuk para raja, pembesar, dan rakyat jelata. Berisi tentang sejarah dunia yang dimulai dengan penciptaan langit dan bumi dan diakhiri dengan sejarah Aceh dengan masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani sebagai penutup.
Ia menceritakan semua itu sebagai bagian pelajaran agama. Antara lain, yairu kisah tentang raja yang adil dan tidak adil, menteri-menteri bijaksana dan menteri-menteri celaka, dan sampai kisah-kisah orang Budiman. Ditulis dengan menyertakan penjelsan logis dan menjadi pengetahuan berdasarkan prinsip dan ajaran Islam.
Bustanus Salatin menjadi panduan berkuasa bagi Sultan Aceh bahkan secara universal sebagai pegangan bagi seluruh penguasa untuk menghindari diri dari perbuatan zalim dan tercela Ketika hidup atau memerintah.
3. Hikayat Hang Tuah
Tema cerita rakyat Hang Tuah adalah tentang kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Hang Tuah. Laksamana ini mengabdikan dirinya untuk melayani negeri, Kerajaan Melaka, hingga tutup usia.
Terdapat beberapa tokoh yang berperan penting dalam kisang Hang Tuah, diantaranya adalah Hang Tuah, Raja Alam Syah, Tuan Bendahara, dan Hang Jebat. Hang Tuah memiliki karakter yang setia, yidak mudah menyerah, dan ahli dalam berperang.
Raja Alam Syah digambarkan sebagai karakter yang berwibawa tapi mudah percaya dengan rumor. Meski begitu, baginda Raja merupakan sosok yang berhati lembut dan tidak menutupi emosinya.
Tuan Bendahara adalah tokoh yang bijaksana, loyal, dan bertanggungjawab. Ia tidak mudah percaya pada fitnah yang menuduh Hang Tuah.
Latar dari narasi perjuangan Hang Tuah terjadi di beberapa tempat. Diantaranya, Sungai Duyung, Indrapura, Kerajaan Melaka, Kerajaan Majapahit, Selat Singapura, Kerajaan Bijaya Nagaram, dan Kerajaan Cina.
Alur cerita Hikayat Hang Tuah termasuk dalam jenis alur maju atau progresif. Dimulai dari kelahiran Hang Tuah, sampai dengan Hang Tuah memutuskan untuk menyepi di atas bukit.
Pesan moral dari Hikayat Hang tuah diantaranya adalah untuk tidak mudah mempercayai rumor yang beredar sebelum membuktikan kebenarannya. Sementara itu, keberanian Hang Tuah juga dapat dijadikan inspirasi dalam menjalani hidup.
Hang Tuah juga mengajarkan untuk tetap setiap kepada orang yang menaruh kepercayaan pada diri kita. Berdasarkan isi legendanya, terdapat norma sosial, bidaya, dan moral yang berlaku di masyarakat setempat.
4. Hikayat Bayan Budiman
Inti cerita dari Hikayat Bayan Budiman adalah tentang kesetiaan seorang istri. Zainab tetap setia pada suaminya walaupun ia disukai oleh seorang putra raja. Semua itu berkat nasihat dari Bayan Budiman.
Tokoh utama dari cerita ini adalah Khoja Maimun, Zainab, dan Putra Raja. Khoja Maimun digambarkan sebagai sosok yang baik hati dan bijaksana. Zainab memiliki paras yang cantik yang setia dengan seseorang suami yang bekerja di tempat yang jauh. Putra raja digambarkan sebagai seorang yang keras kepala.
Sedangkan Bayan digambarkan sebagai seekor burung yang dapat berbicara. Sikapnya bijak dan suka menasehati orang.Latar yang digunakan pada hikayat ini adalah dirumah Khoja Maimun, pasar, istana, dan hutan.
Kisahnya bermula saat Khoja Maimun merawat burung Bayan Ajaib karena dapat berbicara. Kemudian ia harus meninggalkan istrinya untuk bekerja. Ia berpesan pada Bayan untuk menjaga istrinya. Konflik bermula saat seorang putra raja menukai istri Khoja Maimun. Pada akhirnya, sang putra raja ditolak karena istri Khoja Maimun memilih untuk setia.
Pesan moral dari hikayat ini adalah kita harus menjadi orang yang jujur dan setia pada pasangan, seperti halnya Zainab pada suaminya. Kedua, kita tidak boleh memaksa orang lain, apalagi jika itu merugikan.
5. Hikayat Raja – Raja Pasai
Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan tentang sultan penguasa Kerajaan Samudera Pasai yang berdiri anatara abad ke 13 hingga abad ke 16 Masehi.
Kisahnya bermula dari persahabatan dua orang raja, yaitu Ahmad dan Muhammad. Suatu Ketika, mereka berpisah dan Raja Muhammad bertemu dengan seorang putri yang kemudian diberi nama Putri Betung. Sedangkan Raja Ahmad bertemu dengan orang tua disebuah surau yang memberinya anak laki-laki yang diasuh oleh seekor gajah.
Anak itu kemudian diberi nama Merah Gajah yang setelah dewasa dinikahkan dengan Putri Betung. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua irang putra yang diberi nama Merah Silu dan Merah Hasun. Kelanjutan kisahnya adalah Merah Silu dan keturunannya inilah yang akhirnya menjadi sultan di Kerajaan Samudera Pasai.
Hikayat ini diakhiri dengan kisah penyerangan Kerajaan Majapahit atau Samudera Pasai dan kerajaan-kerajaan di Sumatera lainnya.
6. Hikayat Prang Sabi
Hikayat Prang sabi terdiri atas empat kisah, yaitu Kisal Ainul Mardhiah, Kisah Pahala Syahid, Kisah Said Salmi, dan Kisah Muda Bahlia. Hikayat ini ditulis oleh Tengku Haji Muhammad Pante Kulu atau yang lebih dikenal dengan nama Tengku Chik Pante Kulu. Ia merupakan pengarang sajak-sajak heroik perang tersebar di Aceh, sekaligus merupakan seorang pemimpin perang dan ulama karismatik Aceh.
Hikayat Prang Sabi merupakan manifestasi perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda 1873. Dalam setiap narasi Tengku Chik Pante Kulu selalu menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai landasan epistemologinya.
Semua kisah itu dikarang dalam konteks perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda, sehingga dapat membangkitkan semangat perlawanan masyarakat Aceh untuk terjun ke medan perang.
Tengku Chik Pante Hulu ingin memotivasi masyarakat Aceh bahwa Prang Sabi sangatlah indah di sisi Allah, karena Prang Sabi merupakan suruhan Tuhan, bukan orang lain.
7. Hikayat Teungku di Meukek
Hikayat Teungku di Meukek merupakan satu naskah sastra dalam bangun-bangun syair pantun lama di Aceh yang dotulis oleh Teungku Malem dan Leube Isa, yang Ketika penulisan naskah ini bedomisili di Kawasan Meulaboh. Naskah ini aslinya disalin oleh Panglima Nyak Amin yang mendapatkan naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, putra dari Lila Peukasa penguasa Meulaboh Ketika itu.
Hikayat ini ditulis antara tahun 1893 – 1894 dengan setting kisah pertikaian sela pejuang Aceh melawan penguasa Meulaboh yang bekerjasama dengan penjajah Belanda.
Hikayat ini merupakan hikayat lama yang ditulis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada masa itu di Aceh. Sedikit berlainan dengan beberapa naskah hikayat Aceh lainnya yang merupakan saduran dari karya asing. Hikayat ini pernah termasuk dibacakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya yang terkenal De Atjehers.