Daftar isi
Cirebon merupakan salah satu daerah yang ada di Jawa Barat. Cirebon kental dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Terlebih lagi ketika hari-hari tertentu atau pada perayaan hari besar daerah ini sangat kental melaksanakan adat istiadat.
Bahkan beberapa bangunan bersejarah masih berdiri kokoh di Cirebon. Hal ini dilatarbelakangi karena dulu Cirebon memiliki sebuah kerajaan islam yang terbilang cukup besar yakni Kerajaan Cirebon. Meskipun pada akhirnya, Kerajaan ini terbagi menjadi dua yakni Kerajaan Kasepuhan dan Kanoman.
Kerajaan Cirebon memiliki akar sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pendiri dari Kerajaan Cirebon merupakan salah satu anak dari Prabu Siliwangi. Ketika itu, salah satu anak dari Prabu Siliwangi memilih menetap di Cirebon yang dahulunya merupakan sebuah dukuh kecil yang didirikan oleh sang kakek.
Di bawah kepemimpinannya, ia mendirikan sebuah Kerajaan Islam bernama Kerajaan Cirebon. Ia juga aktif menyebarkan agama islam tidak hanya di wilayah Cirebon melainkan ke berbagai penjuru. Kerajaan Cirebon semakin berkembang pesat menjadi sebuah Kerajaan maritim yang memiliki angkatan armada yang kuat.
Bahkan pada periode selanjutnya Kerajaan Cirebon memiliki seorang raja yang merupakan salah satu dari wali Sanga. Di bawah kepemimpinannya inilah berhasil membawa Kerajaan Cirebon pada puncak kejayaan.
Berikut ini penjelasan mengenai Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan kerajaan islam yang terletak di antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurut Babad Tanah Jawa dan Atja, dahulunya Cirebon merupakan sebuah dukuh kecil yang bernama Caruban. Dukuh kecil ini dibangun oleh Ki Gedeng Tapa.
Setelah Ki Gedeng Tapa meninggal dunia, berdirilah sebuah pemerintahan. Pemerintahan ini didirikan oleh cucu Ki Gedeng Tapa yang bernama Walangsungsang. Sejak inilah Walangsungsang diberi nama Pangeran Cakrabuana yang merupakan pendiri dari Kerajaan Cirebon.
Kemudian Walangsungsang mendirikan Istana Pakungwati sebagai pusat pemerintahan. Walangsungsang masih berada dalam garis keturunan Kerajaan Pajajaran. Ia merupakan anak pertama dari prabu Siliwangi dengan Subanglarang.
Subanglarang merupakan anak dari Ki Ageng Tapa yang mendirikan dukuh kecil atau Cirebon. Walangsungsang memiliki dua orang saudara yang bernama Raden Kian Santang dan Nyai Rara Santang.
Sebagai anak tertua, Walangsungsang menjadi penerus Kerajaan Pajajaran. Namun, dikarenakan ia memeluk agama islam, maka ia tidak bisa meneruskan tahta Kerajaan Pajajaran. Tahta tersebut kemudian diberikan kepada Raden Surawisesa.
Raden Surawisesa adalah anak dari Istri kedua Prabu Siliwangi yang bernama Nyai Cantring Manikmayang. Pada saat itu, masyarakat di Kerajaan Pajajaran menganut agama Hindu, Buddha serta sunda wiwitan. Di mana hal ini berlainan dengan agama Walangsungsang.
Walangsungsang menganut agama seperti ibunya yakni agama islam. Walangsungsang keluar dari Kerajaan karena sikap yang dilakukan oleh ayahnya yakni Prabu Siliwangi kepada ibunya. Bersama dengan adiknya ia pergi ke Cirebon dan mendirikan Kerajaan.
Menurut sumber lain, dijelaskan bahwa Walangsungsa menikah dengan dua orang perempuan. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai 10 orang anak. Di mana salah satu anaknya yakni Putri Pakung wati menikah dengan salah seorang wali songo yang bernama Sunan Gunung Djati.
Namun, ada yang menyebutkan bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati merupakan anak dari Nyai Lara Santang. Ketika itu, keduanya berangkat ke mekah untuk menunaikan ibadah haji. Walangsungsang dan Nyai Lara Santang berangkat setelah mendapatkan petuah dari seorang Syekh bernama Syekh Datuk Khafi .
Ketika di Arab keduanya memiliki nama arab. Keduanya tinggal di Mekah selama tiga bulan dan mendapatkan bimbingan dari saudara Syekh Datuk Kahfi. Sang adik yakni Nyai Lara Santang kemudian menikah dengan seorang anak dari bangsawan Arab yang bernama Syarif Abdullah.
Ia kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Syarif Hidayatullah. Kelak anaknya inilah yang menjadi penerus dari tahta Kerajaan Cirebon. Seteleh dari Mekah, Walangsungsang begitu gencar menyebarkan agama islam. Hal inilah yang kemudian membuat Kerajaan Cirebon memiliki pemahaman islam yang begitu kuat. Walangsungsang akhirnya meninggal dunia pada tahun 1529.
Puncak kejayaan Kerajaan Cirebom terjadi pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Djati merupakan salah satu wali songo. Oleh karena itu, ia begitu gencar melakukan penyebaran agama islam. Selama ia berkuasa, Sunan Gunung Djati melakukan banyak invansi ke berbagai daerah. Bahkan ia melakukan perluasan sampai ke Banten dan Sunda Kelapa.
Penaklukkan ini bertujuan untuk memperluas wilayah dan menyebarkan agama islam. Tidak hanya cakap dalam perluasan wilayah. Sunan Gunung Djati juga pandai dalam bidang perekonomian. Ia memanfaatkan posisi strategis Kerajaan Cirebon yang berada di pesisir pantai. Ia melakukan hubungan diplomasi ke berbagai negara seperti Malaka, Campa hingga Arab.
Akibat dari adanya hubungan diplomatik ini membuat adanya keuntungan di bidang ekonomi khususnya di bidang ekspor dan impor. Sunan Gunung Djati membangun beberapa fasilitas seperti pelabuhan. Pelabuhan ini dibangun untuk melancarkan kegiatan ekonomi Kerajaan Cirebon. Untuk memperkuat posisi kerajaan maritim, Kerajaan Cirebon memiliki angkatan armada yang kuat.
Selain itu, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati juga dibangun jalan hingga masjid. Pembangunan ini tidak lain untuk melancarkan kegiatan dakwah atau penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati.
Salah satu peninggalan Kerajaan Cirebon adalah Keraton Kasepuhan Cirebon. Keraton Kasepuhan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana atau Raden Walangsungsang. Mulanya Keraton Kasepuhan Cirebon dibangun karena perluasan dari Keraton Pangkuwati.
Ketika itu, Pangeran Cakrabuna begitu menyayangi sang anak yang bernama Ratu Ayu Pangkuwati. Hal inilah yang membuat keraton tersebut diberi nama Keraton Pangkuwati. Namun, pada tahun 1529, Keraton Pangkuwati dikembangkan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin.
Dari sinilah, Keraton ini berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan Cirebon. Hingga saat ini, Keraton Kasepuhan Cirebon masih terjaga dengan baik. Keraton Kasepuhan Cirebon menghadap ke sebelah utara dan berdekatan dengan area masjid.
Keraton Kasepuhan Cirebon mempunyai dua pintu yakni pintu utama berada di sebelah utara sedangkan pintu belakang ada di bagian selatan Keraton. Pintu utama dari Keraton Kasepuhan Cirebon dinamakan dengan Kreteg Pangrawit yang memiliki arti jembatan kecil.
Sementara itu, pintu belakang kerap dinamakan dengan lawang sanga yang berarti pintu sembilan. Di bagian depan Keraton terdapat dua buah bangunan yang dinamakan dengan pancaniti dan pancaratna.
Peninggalan Kerajaan Cirebon selanjutnya adalah Keraton Kanoman. Keraton ini didirikan oleh Pengeran Muhamad Badrudin Kertawijaya. Keraton Kanoman dibangun pada tahun 1578 dan memiliki luas sekitar enam hektar. Keraton Kanoman berada tidak jauh dari Pasar Kanoman dan Keraton Kasepuhan atau lebih tepatnya ada di Kecamatan Lemangwungkuk, Cirebon.
Fungsi dari Keraton Kanoman sebagai tempat tinggal raja ke-12 dari Kerajaan Cirebon yakni Sultan Muhammad Emirudin. Tidak hanya raja saja, keluarga raja pun tinggal di keraton Kanoman. Di dalam keraton kanoman terdapat banyak beberapa benda bersejarah milik kerajaan Cirebon seperti dua kereta.
Hingga saat ini, Keraton Kanoman masih memegang teguh tradisi. Banyak tradisi yang masih dijalankan seperti grebeg syawal serta ziarah ke makam leluhur seperti Makam Sunan Gunung Djati. Benda-benda peninggalan yang terdapat di Keraton Kanoman masih ada kaitannya dengan penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati.
Keraton Kanoman ini dibangun di atas bangunan kuno. Di mana di Keraton ini terdapat saung yang dinamakan dengan Bangsal Witana. Bangsal Witana ini yang menjadi permulaan berdirinya Keraton Kanoman. Di mana luas dari bangunan ini setara dengan lima kali dari luas lapangan sepak bola.
Bangunan Mande Pengiring merupakan peninggalan kerajaan Cirebon. Bangunan Mande Pengiring berada di dalam Keraton Kasepuhan Cirebon yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah. Fungsi dari Bangunan Mande Pengiring sebagai tempat duduk para pengiring raja serta tempat ketika bersantai.
Selain bangunan mande pengiring terdapat 4 bangunan mande lainnya. Bangunan tersebut digunakan sesuai dengan fungsinya serta melambangkan kekuasaan kerajaan Cirebon.
Keraton Kacirebonan terletak di Pulasaren, Jalan Pulasaren, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon. Letak Keraton Kacirebonan tidak berada jauh dari Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Diperkirakan, Keraton Kacirebonan dibangun sekitar tahun 1800 an.
Seperti Keraton pada umumnya, Keraton Kacirebonan menjadi tempat tinggal bagi para raja serta menyimpan benda bersejarah. Adapun benda yang disimpan di Keraton Kacirebonan adalah keris, wayang hingga gamelan.
Keraton Kacirebonan memiliki luas sekitar 46.500 meter persegi. Di mana bangunan ini berbentuk memanjang dari sebelah utara hingga selatan. Bangunan Keraton Kacirebonan memiliki gaya arsitektur campuran dari berbagai negara dan menggabungkannya dengan tradisional seperti China dan Belanda.
Berdirinya Keraton Keprabonan dilatarbelakangi oleh perjanjian yang dilakukan oleh Belanda. Keraton Keprabon didirikan oleh Pangeran Adipati Keprabonan. Pangeran Adipati Keprabonan kelak akan menjadi putera mahkota dari Kesultanan Keprabon yang merupakan pecahan dari Kerajaan Cirebon. Didirikannya Keraton Keprabonan bertujuan sebagai tempat menimba ilmu agama islam.
Perjanjian persahabatan antara Belanda dengan Cirebon ini terjadi sekitar tahun 1681. Di mana pada saat itu, Kerajaan Cirebon telah menjadi dua yakni Kasepuhan dan Kanoman. Pada tanggal 7 Januari 1681 perjanjian persahabatan antara Belanda dan Cirebon pun ditandatangani. Sebenarnya perjanjian ini bertujuan untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon oleh Belanda.
Sultan Kanoman I ketika itu memiliki dua orang anak yang bernama Pangeran Adipati Kaprabon dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin. Setelah sang ayah meninggal dunia, keduanya sepakat untuk melakukan penyerangan secara diam-diam kepada Belanda.
Tak lama Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin resmi menjadi Sultan Anom II dari Kerajaan Anom. Sementara itu, Pangeran Adipati Kaprabon memilih untuk mendalami ilmu agama dan menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya.
Pada 1696, Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Keraton Keprabonan yang berfungsi sebagai tempat menimba ilmu agama islam. Ketika itu serangan serta gejolak politik terhadap Belanda masih terus berlangsung. Melihat hal itu, Pangeran Adipati Kaprabon berniat untuk memisahkan diri dengan mempelajari ilmu agama islam secara mendalam.
Pangeran Adipati Kaprabon kemudian diberikan gelar Sultan Prabu. Pada tahun 1690, Pangeran Adipati Kaprabon diangkat menjadi Putera Mahkota Kesultanan Kanoman tepat setelah sang ibu meninggal dunia. Setelah menjadi putera mahkota, dirinya kemudian diberi gelar Sultan Pandita Agama Islam. Ia juga dipakaikan busana Kaprabon yang merupakan pakaian perang Kerajaan wali.
Peninggalan dari Kerajaan Cirebon selanjutnya adalah Kereta Singa Barong Kasepuhan. Kereta Singa Barong Kasepuhan ini dibuat sekitar tahun 1549 yang dibuat oleh cucu dari Sunan Gunung Djati yang bernama Panembahan Losari. Bagian depan dari Kereta Singa Barong Kasepuhan memiliki bentuk seperti belalai gajah. Hal ini menandakan persahabatan yang terjalin antara Kerajaan Cirebon dengan India.
Sementara itu, terdapat pula kepala naga yang melambangkan persahabatan yang terjalin dengan China ketika itu. Pada bagian badan mirip seperti burok yang menandakan persahabatan Kerajaan Cirebon dengan Mesir. Di bagian belalai gajah terdapat pula senjata trisula yang melambangkan cipta rasa serta karya manusia.
Setiap tanggal 1 Muharam biasanya dilakukan kirab dan Kereta Singa Barong Kasepuhan akan digunakan pada saat kirab berlangsung. Pada tahun kemerdekaan Indonesia, benda bersejarah peninggalan Kerajaan Cirebon ini dimasukkan ke dalam museum. Hal ini dikarenakan usia dari Kereta Singa Barong Kasepuhan. Namun, kemudian dibuatlah duplikat dari Kereta Singa Barong Kasepuhan.
Sunan Gunung Djati merupakan salah satu raja dari Kerajaan Cirebon. Bahkan pada saat pemerintahannya, Kerajaan Cirebon mencapai puncak kejayaan. Selain itu, ia juga merupakan salah satu dari wali sanga, sosok yang berperan menyebarkan agama islam di Nusantara.
Makam Sunan Gunung Djati berada di alun-alun Desa Astana, Gunung Djati, Cirebon. Makam ini terletak di sebuah bukit kecil yang kerap dinamakan dengan Gunung Sembung. Kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati tertelak di antara jalur Cirebon dan Indramayu.
Makam Sunan Gunung Djati hingga saat ini banyak dikunjungi oleh para peziarah. Bahkan menjadi salah satu destinasi wisata religi di Cirebon. Hal ini dikarenakan peran Sunan Gunung Djati yang aktif menyebarkan agama islam di wilayah Jawa Barat khususnya Cirebon.