Daftar isi
Pemberontakan terhadap penjajah bukan hanya dilakukan oleh penduduk pribumi saja. Semua lapisan masyarakat baik itu yang berbeda ras, etnis, suku hingga agama turut bersatu melawan penjajah. Saat itu, semua orang tidak menganggal bahwa perbedaan adalah jurang pemisah untuk bersatu.
Justru, dengan perbedaan itulah yang kemudian melahirkan keragaman dan persatuan. Di bawah visi misi yang sama, semua elemen masyarakat bergerak melawan penjajah termasuk etnis Tionghoa. Meskipun jumlah mereka sedikit, namun keberadaan mereka turut memberi arti bagi perjuangan negara ini.
Dari merekalah lahir para pahlawan hebat yang gagah dan berani. Siapa saja mereka? Selengkapnya di bawah ini.
1. John Lie
John Lie merupakan sosok pejuang tanah air keturunan Tionghoa. Ia lahir pada tanggal 9 Maret 1911 di Manado. Sosok laki-laki yang kerap disapa Daniel Dharma ini merupakan seorang perwira Angkatan Laut RI pada masa penjajahan Jepang.
John Lie pernah mengenyam pendidikan di Hollands Chinese School dan Christelijke Lagere School yang ada di Manado. Kedua sekolah tersebut menggunakan bahasa Belanda untuk kesehariannya. Namun, saat dirinya menginjak remaja, John Lie nekat pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan militer.
Meskipun, John Lie memiliki keturunan tionghoa, namun rasa nasionalisme pada tanah air tak diragukan lagi. Hal ini terbukti pada perjuangannya melawan penjajah. Adapun kontribusi seorang John Lie yakni ia mampu menembus blokade yang dibuat oleh Belanda di Sumatra dan menukar komoditas Indonesia dengan senjata.
Bahkan kapal yang dipimpin oleh John Lie samg laksamada muda ini begitu linca. Kapalnya selalu lolos dari bidikan musuh. Tidak hanya itu saja, pada tahun 1950, John Lie aktif dalam menumpaskan gerakan pecah belah yang dilakukan oleh para pemberontak seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan pemberontakan PRRI.
Sebenarnya masih banyak lagi kontribusi John Lie bagi tanah air, namun hanya sedikit sumber yang menuliskan hal tersebut. Berkat jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada tahun 2009.
2. Lie Eng Hok
Lie Eng Hok lahir pada tanggal 7 Februari 1893 di Balaraja, Tangerang. Ia merupakan salah satu tokoh yang berasal dari etnis Tionghoa yang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Awal mula kariernya sebagai seorang jurnalis yang ada di surat kabar Tionghoa bernama Sin Po pada tahun 1910-an. Kemudian, namanya mulai dikenal setelah mempelopori gerakan pemberontakan di Banten terhadap pemerintah Belanda.
Pada peristiwa itu, massa pribumi bergerak untuk melakukan perusakan pada fasilitas publik seperti merusak jalan, rel kereta api, instalasi listrik, serta semua benda milik Belanda.
Dalam pemberontakan ini, Lie Eng Hok diam-diam melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik pasukan Belanda lalu mengirimkan informasi-informasi tersebut kepada para pejuang. Namun, karena hal inilah, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua selama lima tahun.
Selama dalam masa pengasingan, Lie Eng Hok menolak untuk bersikap.kooperatif dengan pemerintah Belanda meskipun telah diiming-imingi sesuatu. Ia lebih memilih hidup serba kekurangan dengan membuka kios tambal sepatu.
Atas semua jasa yang dilakukan oleh Lie Eng Hok, pemerintah Indonwsia mengapresiasinya dengan memberikan penghargaan. Pada tahun 1959, dua tahun sebelum dirinya meninggal, pejuang dari etnis Tionghoa itu diangkat menjadi Perintis Kemerdekaan RI. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
3. Sho Bun Seng
Sho Bun Seng merupakan salah seorang penggiat seni di era penjajahan Belanda. Pada tahun 1920-an, ia aktif dalam kelompok sandiwara bernama Dardanela di Aceh. Dari sinilah, ketidaksukaannya pada Belanda dan rasa cintanya terhadap Tanah Air tumbuh.
Kemudian, sekitar tahun 1926, ia pindah ke Padang, Sumatra Barat. Di Padang, ia bergabung ke dalam kelompok gerilya yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ismail Lengah. Kepandaiannya dalam bersendiwara rupanya dapat terpakai dalam gerilya ini.
Ia mendapatkan tugas untuk melakukan mata-mata terhadap Pao An Tui. Pao An Tui merupakan sebutan untuk kelompok Tionghoa yang mendukung Belanda. Perjuangan Bun Seng untuk membela tanah air terus dilakukan bahkan setelah kemerdekaan. Ia bergabung bersama Batalyon Pagarruyung.
Keterlibatan Bun Seng ini bertujuan untuk menumpaskan pemberontakan DI/TII serta berbagai kegiatan berbahaya lain untuk mencapai Indonesia yang benar-benar merdeka tanpa ada gangguan baik dari internal maupun eksternal.
Pada tahun 1958, ia pun memutuskan untuk hengkang dari dunia militer. Kemudian, ia kembali pada dunia lamanya yakni menggeluti seni. Sho Bun Seng meninggal dunia pada usia 89 tahun di tahun 2000.
Atas semua jasa yang telah dilakukannya, jenazah Bun Seng dijemput oleh pasukan kehormatan kemudian dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
4. Tjia Giok Thwam
Tjia Giok Thwam atau yang lebih dikenal sebagai Basuki Hidayat merupakan pejuang keturunan Tionghoa. Ia berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Sosok laki-laki yang lahir di era 1927-an ini, sejak remaja telah terlibat dalam pertempuran melawan Belanda. Saat itu ia bergabung dalam Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT).
Perjuangan Basuki Hidayat terus berlanjut hingga tahun 1950. Ia melaksanakan tugas terakhirnya sebagai pasukan gerilya CMDT. Setelah penugasan terakhirnya, ia mengundurkan diri dari dunia militer.
Saat keluar dari dunia militer, ia memiliki pangkat Letnan Dua (Letda). Setelah pengunduran diri tersebut, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Atas jasa-jasanya, pada tahun 1958, Tjia Giok Thwam menerima sejumlah tanda kehormatan sebagai pejuang kemerdekaan. Adapun penghargaan tersebut berupa Satyalencana Perang Kemerdekaan Kedua, anggota Veteran RI, serta Satyalencana Peristiwa Gerakan Operasi Militer Kesatu.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang, Jawa Timur bahkan peti jenazahnya berhiaskan bendera merah putih.
5. Ferry Sie King Lien
Ferry SIe King Lien merupakan sosok yang lahir tahun 1933. Ia dibesarkan di keluarga yang mapan sebab memiliki pabrik gelas di Karditopuran, Surakarta, Jawa Tengah. Walaupun masa depannya bisa dibilang terjamin, Sie King Lien dengan berani mengambil risiko sebagai pejuang kemerdekaan.
Saat berusia remaja, ia ikut terlibat dalam pertempuran di Solo tahun 1949. Ia bersama empat rekannya, yaitu Tjiptardjie, Salamoen, Semedi, dan Seohandi mendapatkan mandat khusus langsung dari pimpinan. Mereka harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk ikut berjuang melawan penjajah.
Kelima orang itu pun mulai bergerak untuk mendorong rakyat dengan cara membuat berbagai coretan di tembok, membagikan selebaran, dan menepis berbagai propaganda pemecah belah yang dilancarkan oleh Belanda.
Selain bertugas mendorong semangat, mereka juga bertugas melakukan penembakan pada markas pasukan Belanda di malam hari secara gerilya. Sayangnya, Sie King Lien serta keempat temannya diserang oleh tentara Belanda di tengah pertempuran.
Sejumlah peluru hinggap di tubuh Sie King Lien dan Soehandi. Oleh karena itulah, keduanya gugur seketika sedangkan tiga kawan lainnya berhasil meloloskan diri. Sie King Lien menghembuskan nafas terakhirnya di usia muda.
Namun, meskipun meninggal di usia remaja, jasa-jasanya sangat berarti bagi Indonesia. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jurug, Solo, Jawa Tengah. Makamnya merupakan satu-satunya makam dari keturunan Tionghoa.
6. Ong Tjong Bing
Pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa selanjutnya adalah Ong Tjong Bing atau yang dikenal juga sebagai Daya Sabdo Kasworo. Ia merupakan seorang dokter yang bertugas merawat korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur.
Setelah menempuh pendidikan sebagai dokter gigi di tahun 1953, Ong Tjong Bing masuk ke dalam dunia militer sebagai pegawai sipil. Singkatnya, dua tahun kemudian, ia mendapatkan gelar kapten di bawah Resimen Infanteri RI-18 di Jawa Timur.
Selama bergabung di bidang militer, ia aktif menumpas beberapa gerakan pemberontakan, seperti DI/TII, operasi PRRI-Permesta, hingga Mandala-Trikora. Oleh karena latar belakangnha seorang dokter, Ong Tjong Bing juga diminta untuk mendirikan rumah sakit militer di Jayapura.
Tidak hanya itu, ia dipercayai menjadi Kepala Kesehatan Kodam Cendrawasih pertama di sana. Ong Tjong Bing pensiun pada tahun 1976 dengan menyandang pangkat Letnan Kolonel.
7. Soe Hok Gie
Kiranya, nama Soe Hok Gie sudah tak asing lagi di telinga. Pemuda yang berasal dari etnis Tionghoa ini lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Ia adalah aktivis reformasi yang menentang kediktatoran pemerintahan Indonesia saat itu.
Ia sangat gencar menyuarakan pemikirannya melalui tulisan yang dipublikasikan di berbagai media cetak. Soe Hok Gie bisa dikatakan merupakan sosok yang mempelopori gerakan mengkritisi pemerintah. Ia begitu berani menyuarakan keresahannya pada pemerintah.
Ia bahkan diduga menjadi salah satu tokoh yang berhasil menumbangkan presiden Soekarno pada kursi kekuasaannya. Sayangnya, perjuangan Gie relatif singkat karena dia meninggal dunia. Gie meninggal di usia yang sangat muda pada tahun 1969, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
Ia meninggal saat sedang mendaki Gunung Semeru bersama dengan teman-temannya. Kisah perjuangan Gie memang begitu inspiratif. Hal inilah yang kemudian membuat catatan-catatan harian Soe Hok Gie dicetak menjadi buku dan difilmkan dengan judul Gie pada tahun 2005.