Saat ini ada banyak orang yang heboh membahas tentang redenominasi mata uang. Semua ini berawal sejak kementerian keuangan mengusulkan rancangan undang-undang redenominasi di program legislasi nasinoal tahun 2020-2024.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya rencana redenominasi dibahas. Tahun 2011, Darmin Nasution, Gubernur BI (Bank Indonesia) saat itu pernah merencanakan redenominasi. Gubernur BI selanjutnya, Agus Martowardjojo juga pernah mengajukan RUU redenominasi.
Pengertian Redenominasi
Singkatnya, redenominasi adalah menyederhanakan nominal mata uang dengan cara mengurangi digit angka nol di mata uang yang bersangkutan. Namun redenominasi ini tidak mengurangi daya beli uang itu sendiri.
Misalnya Indonesia melakukan redenominasi tiga digit angka nol, artinya uang Rp1000 akan menjadi Rp1, Rp10.000 akan menjadi Rp10, Rp100.000 akan menjadi Rp100 dan seterusnya.
Kalau sekarang uang Rp10.000 bisa dipakai untuk membeli semangkuk bakso, maka setelah Rp10.000 tersebut diredonominasi menjadi Rp10, uang Rp10 tersebut juga akan tetap bisa dipakai untuk membeli semangkuk bakso.
Redenominasi ini sudah banyak dilakukan di negara-negara lain, nulai dari Turki dan Romania di tahun 2005, Rusia di tahun 1998, sampai Brazil yang melakukan redenominasi sebanyak enam kali di tahun 1960-an sampai 1990-an.
Bahkan Indonesia sendiri juga pernah melakukan redenominasi di tahun 1965, jadi ini bukan pertama kalinya Indonesia meredenominasi mata uangnya.
Tujuan dan manfaat Redenominasi
Tujuan dari redenominasi sendiri bermacam-macam, tergantung dari negara yang melakukan redenominasi tersebut. Misalnya, redenominasi di Rusia tahun 1998 bertujuan untuk meyakinkan publik kalau krisis ekonomi di Rusia telah selesai.
Moslet (2005) mencatat kalau 38 dari 60 negara yang melakukan redenominasi di tahun 1966 sampai 2003, bertujuan untuk menyederhanakan digit mata uang mereka setelah hiperinflasi.
Jadi, jumlah digit angka pada mata uang adalah akumulasi dari krisis ekonomi dan inflasi yang terjadi di masa lalu. Semakin tinggi inflasi, jumlah digit angka pada mata uang jua akan terus bertambah. Dan semakin banyak digitnya pula, maka akan muncul kebutuhan untuk menyederhanakan nominalnya dengan redenominasi.
Selain karena hiperinflasi, tujuan dan manfaat redenominasi adalah :
- Untuk meningkatkan kredibilitas dan kesetaraan mata uang
Secara nominal, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar sangat berbeda jauh, yakni $1 setara dengan Rp14.000. Sedangkan di negara tetangga, $1 setara dengan 31,3 Baht Thailand dan 4,27 Ringgit Malaysia, sangat berbeda jauh dengan Indonesia.
Dengan melakukan redenominasi, bisa memberi kesan kalau nilai tukar Rupiah sejajar dengan mata uang negara lain. Hal ini sangat memiliki dampak positif jika dilihat dari kacamata psikologi market dan perdagangan.
Contohnya bisa kita lihat dari negara Turki. Sebelum redenominasi, $1 setara dengan 1,8 juta Lira. Namun setelah redenominasi, $1 setara dengan 1,8 Lira. Ini membuat mata uang Lira bisa disejajarkan dengan mata uang lainnya, dan tentu saja hal tersebut bisa meningkatkan kredibilitas dan daya saing mata uang Lira di perdagangan Intenasional.
Di sisi lain, pecahan uang Rp100.000 adalah pecahan terbesar kedua di ASEAN setelah pecahan 500.000 Dong Vietnam. Di Indoensia, pecahan Rp100.00 memiliki daya beli yang sangat kecil, hanya cukup untuk beberapa kali makan saja. Sedangkan 100.00 Dolar Singapura sudah cukup untuk biaya makan selama setahun penuh
- Efisiensi pencacatan, baik dalam akuntansi/kegiatan sehari-hari
Dengan memangkas tiga angka terakhir dalam nominal rupiah, semua pencacatan keuangan akan lebih sederhana dan juga bisa meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pencacatan.
Dampak Redenominasi
Namun dibalik tujuan dan dampak positifnya, pelaksanaan redenominasi juga mempunyai konsekuensinya sendiri. Dan jika konsekuensi itu tidak dimitigasi dengan baik, hal tersebut akan berdampak buruk bagi kondisi pereknomian Indonesia. Apa sajakah konsekuensi tersebut?
- Pembulatan harga yang berlebihan berujung pada inflasi tinggi
Redenominasi dapat menimbulkan efek money illusion. Money illusion terjadi ketika orang-orang hanya melihat angka pada uang saja, bukan pada daya beli uang itu sendiri.
Saat ini, mungkin kita menganggap biaya makan sebesar 25.000 adalah hal yang biasa dan kita juga sudah terbiasa dengan uang puluhan ribu untuk biaya makan.
Ketika redenominasi, uang Rp25.000 itu akan berubah menjadi Rp25. Disinilah akan terjadi money illusion tersebut. Orang-orang akan melihat nominal Rp25 itu sangat kecil dan tidak berharga. Padahal secara daya beli, Rp25 setara dengan Rp25.000.
Karena hal tersebut, mungkin kita akan cuek dan menganggap remeh kalau makanan yang kita beli naik jadi Rp30 . Kalau ilusi ini terjadi dalam skala besar, tentu saja akan menaikkan angka inflasi yang tinggi.
- Pengeluaran biaya yang besar oleh pemerintah
Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas. Ada yang tinggal di kota, ada juga yang tinggal di desa bahkan di kaki gunung. Ada yang sudah terfasilitasi dengan gadget dan internet namun ada juga daerah yang belum dijangkau dengan internet. Secara latar belakang pendidikan pun berbeda-beda, ada yang menempuh pendidikan tinggi dan ada juga yang masih buta huruf.
Tugas pemerintah adalah mengawal proses redenominasi dan melakukan sosialisasi ke 267 juta masyarakat Indonesia yang terpencar-pencar di berbagai pulau dan dengan latar belakang kondisi yang berbeda-beda. Padahal pemberlakuan redenominasi ini membutuhkan partisipasi seluruh masyrakat sebagai pelaku ekonomi.
Proses sosialisasi ini tidak sesederhana memangkas tiga angka nol saja. Karena untuk merealisasikan ini, membutuhkan waktu, tenaga, dan juga uang yang tidak sedikit.
Disisi lain, pemerintah juga perlu menggelontarkan banyak uang untuk kegiatan implementasi redenominasi. Contohnya, terkait kebutuhan untuk mencetak uang baru, sosialisasi, belum lagi juga diperlukan adendum dalam berbagai perjanjian legal yang menyebutkan nominal uang dan lain-lain.
Tidak hanya itu saja, redenominasi akan mengubah semua pencatatan uang digital dan aset digital kita seperti bank, saham, dan semua instrumen lain yang berkaitan dengan pencatatan keuangan.
Dengan melihat konsekuensi yang ada, redenominasi ini jelas tidak bisa dilakukan sembarangan. Dibutuhkan kesiapan, persiapan, dan rencana yang matang sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan redenominasi. Kondisi ekonomi negara juga harus dalam kondisi yang mendukung agar redenominasinya dapat berjaln dengan lancar.
Kondisi yang mendukung itu dapat dilihat dari :
- Kondisi fundamental kuat, pertumbuhan ekonomi naik
- Inflasi stabil
- Stabilitas nilai tukar
- Defisit anggaran ada di angka yang wajar