Daftar isi
Sistem politik menurut Gabriel Almond, merupakan sebuah sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka, di mana mereka menjalankan dua fungsi, yaitu integrasi dan adaptasi.
Fungsi integrasi merupakan tugas yang dijalankan oleh sistem politik guna mencapai kesatuan dan persatuan masyarakat di negara yang bersangkutan. Sedangkan pada fungsi adaptasi, merupakan suatu fungsi di mana sistem politik melakukan penyesuaian terhadap lingkungan.
Samuel P. Huntington memiliki definisi lebih kompleks tentang sistem politik. Menurutnya, sistem politik bisa dibedakan dalam beberapa cara pandang dengan lima komponen berbeda. Berikut ini merupakan 5 komponen sistem politik menurut Sameul P. Huntington:
Singkatnya, sistem politik dapat diartikan sebagai sebuah organisasi politik dalam pemerintahan yang berisikan seperangkat fungsi, seperti mengamati, membuat, merumuskan, mengatur dan menjalankan kebijakan dalam struktur politik, di mana hal tersebut berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langgeng guna mencapai tujuan pemerintahan yang telah disepakati sebelumnya.
Menurut David Easton, sebuah sistem politik memiliki setidaknya empat ciri umum yang jelas dapat dilihat dan dirasakan oleh rakyat maupun pelaksana pemerintahannya. Dari keempat ciri umum tersebut, antara lain:
Dalam prakteknya, sistem politik negara di dunia banyak bentuknya. Namun, jika berdasarkan sistem klasifikasi modern, sistem monarki menjadi sistem politik yang berdiri sendiri, meskipun masih ada beberapa negara yang menggunakan sisitem politik ini.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, rakyat memiliki wewenang untuk dalam perundingan, perumusan, dan pembuatan undang-undang, serta memilih kepala pemerintahan secara langsung melalui pemilihan umum.
Semua keputusan pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan umum (rakyat). Adanya sistem pertanggungjawaban oleh lembaga eksekutif/pelaksana pemerintahan kepada rajyat, serta terdapat pemisahan atau pembagian kekuasaan yang jelas merupakan ciri dari sistem politik demokrasi.
Sistem politik ini memiliki dicirikan dengan adanya penolakan terhadap pluralitas, kekuasaan terpusat guna mempertahankan status quo politik, lemahnya masyarakat sipil, dan keterbatasan stabilitas politik.
Pemimpin yang otoriter memegang kendali penuh atas urusan politik, sosial, dan ekonomi. Hingga tidak adanya kebebasan untuk membetuk berbagai kelompok organisasi atau partai politik demi merebut kekuasaan atau sebatas mempertanyakan keputusan penguasa.
Dalam sistem politik atau bentuk pemerintahan totaliter, kekuasaan tertinggi sepenuhnya berada di tangan pemerintah, di mana dalam institusi negaranya diisi oleh sekelompok orang yang berkewajiban menjalankan kontrol dan regulasi tingkat tinggi atas kehidupan publik maupu pribadi.
Di negara-negara totaliter, seorang otokrat memegang kekuasaan politik secara penuh, seperti diktator dan raja absolut. Propaganda-propaganda banyak didengungkan untuk mengontrol warganya agar.
Kerajaan atau monarki merupakan bentuk pemerintahan di mana suatu negara dipimpin atau kepala negaranya adalah seorang raja, atau bisa juga ratu, yang mana masa pemerintahannya seumur hidup atau turn tahta. Penobatan sebagai raja atau ratu dilakukan secara turun temurun, seringnya dalam bentuk dinasti.
Otoritas politik seorang raja atau bervariasi, ada yang hanya bersifat simbolis (monarki konstitusional), otokrasi penuh (monarki absolut), dan bisa juga meluas secara menyeluruh pada domain legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sudut pandang kita dalam mengamati suatu kegiatan politik, akan mempengaruhi penilaian kita terhadap berhasil atau tidaknya output yang dihasilkan dalam sistem politik tertentu. Dalam buku Political Science: A Philosophical Analysis (1960), Vernon van Dyke mendefinisikan pendekatan sebagai suatu “kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan” (Vernon van Dyke, 1960: 114).
Merujuk definisi pendekatan dari Vernon tersebut, jika kita ingin mengkaji suatu masalah dalam sebuah sistem politik, kita bisa menjadikan berbagai pendekatan kelembagaan seperti lembaga legislatif dan eksekutif. Sehingga kita akan tahu bagian mana yang menyebabkan kesalahan atau kegagalan dari sistem politik.
Pada 1968, David Apter dan Charles F. Andrain membuat tiga pengelompokkan besar tentang pendekatan dalam ilmu politik. Ketiga pendekatan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Pendekatan Normatif
Fokus kajian dalam pendekatan ini adalah mengenai nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat. Masyarakat dijadikan sebagai unit analisis. Norma-norma dipelajari dalam bentuk aturan-aturan, hak-hak, dan kewajiban.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perubahan pada masyarakat terjadi akibat konsekuiensi dari adanya konflik dialektis terhadap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang ada dalam masyarakat.
2. Pendekatan Struktural
Pendekatan stuktural memiliki lima penekanan dalam kajiannya. Kelima penekanan tersebut antara lain:
Pendekatan ini berasumsi mengenai pembangunan dengan “range” di antara pemisahan kekuasaan antara institusi-istitusi pemerintahan dan dominasi masyarakat ekonomi kelas atas. Fokus analisisnya tertuju pada isu pemeliharaan sistem dan stabilitas sistem. Sedangkan unit analisisnya adalh masyarakat secara keseluruhan, bangsa, dan unit-unit mikro.
3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini berfokus pada kajian mengenai problema terkait proses pembelajaran dan sosialisasi, persepsi, motivasi, sikap terhadap otoritas, dan berbagai pertimbangan lain. Individu dan kelompok kecil menjadi unit analisis dari pendekatan perilaku.
4. Pendekatan Legal/Institusional
Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan tradisional karena muncul paling awal. Kajian dari pendekatan antara lain tentang unsur-unsur legal dan institusionalnya. Jadi, jika ingin menganalisis sebuah sistem politik, maka akan membahas tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hubungan satu sama lain dari lembaga-lembaga institusi secara umum.
Pendekatan yang terlalu normatif serta sulitnya membedakan fakta dan norma merupakan beberapa kritik yang ditujukan untuk pendekatan ini.
5. Pendekatan Perilaku dan Pasca-Perilaku
Pendekatan perilaku muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan lega yang dinilai terlalu kaku, formal, dan bias terhadap bangsa Barat. Pendekatan ini menjadikan lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau aktor independen.
Pengamatannya tidak hanya terbatas padaperilaku perorangan, tapi juga pada unit-unit pengamatan yang lebih tinggi , seperti organisasi pemerintahan, dan masyarakat politik.
Pendekatan ini juga tidak lepas dari kritik, khususnya dari berbagai kalangan. Kalangan Tradisionalis menganggap pendekatan perilaku tidak memiliki relevansi dengan realitas politik, serta bersifat terlalu steril karena menolak nilai dan norma dalam penilaian politik. Selain itu, pendekatan perilaku dinilai banyak memiliki masalah pada diskriminasi ras, seperti adanya keterlibatan Amerika serikat dalam perang Vietnam (1960-an)
6. Pendekatan Neo-Marxis
Kelompok Neo-Marxis dalam pendekatan ini berbeda dengan kelompok Marxis klasik yang kehidupannya dekat dengan komunisme. Kebalikannya, kelompok Neo-Marxis mengecam keras tindakan komunisme seperti yang banyak dilakukan Uni Soviet dulu.
Mereka banyak melakukan transformasi, seperti menghapuskan ketidakadilan dan membentuk tatanan masyarakat baru guna memenuhi kepentingan seluruh rakyat. Dalam bidang politik, desentralisasi kekuasaan dilakukan dan pembukaan partai politik bagi senua kalangan.
Meskipun kaum Neo-Marxis banyak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, banyak kritikan yang dilontarkan kepada mereka. Mereka dinilai kurang melakukan penelitian yang sifatnya empirik karena tidak adanya bukti dan fakta terhadap paham mereka. Selain itu, para pengikut Neo-Marxis dianggap kurang bersahabat karena sering mengecam pendapat-pendapat para “borjuis” tanpa adanya dasar teori baru.
7. Pendekatan Pilihan Rasional
Para penganut pendekatan ini memilih untuk memperlihatkan adanya kaitan antara ekonomi dan politik. Manusia digambarkan sebagai makhluk rasional yang bersifat egois karena selalu mengejar kepentingan pribadi dan selalu mencari cara yang efisien untuk mencapai tujuannya.
Hal ini tentu saja didasarkan pada keuntungan semaksimal mungkin bagi dirinya. Namun, pendekatan ini menuai berbagai kritik, seperti sifat dasar manusia yang tidak selalu rasional karena seringnya berdasarkan referensi, serta tentang karakter individualistik dan materialistik manusia yang masih mendominasi.
Pendekatan ini muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan-pendekatan sebelumnya. Fokus utamanya adalah negara beserta institusi-institusinya sebagai unsur utama yang menetukan dan membatasi.
Menurut pendekatan ini, negara adalah institusi yang menjadi aktor dan bersifat independen dengan tidak mempresentasikan kelas dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pada intinya, sistem politik merupakan rules of the game yang dapat dilihat dari berbagai sudut, baik formal dan formal, maupun tertulis atau tidak tertulis.
Melalui pendekatan ini, ilmu politik kembali memfokuskan perhatiannya pada negara, termasuk pada aspek legal institusionalnya. Dengan demikian, institusi mempunyai kekuasaan yang relatif otonom, sehingga tidak dapat diubah semaunya sendiri. Namun, tetap berfokus pada jaminan kepastian serta rasa aman terhadap rakyat-rakyatnya.