Teori Kelompok Bungkam: Pengertian – Komposisi dan Konsep

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam kehidupan bermasyarakat, akan terlihat adanya suatu kelompok yang berkuasa dan terpinggirkan. Dari masing-masing kelompok tersebut, kelompok yang berkuasa cenderung memiliki dominasi lebih terhadap kelompok marginal yang sering terbungkam oleh berbagai kenyataan yang ada.

Seringnya, hal ini bersinggungan dengan masalah gender, ras, strata sosial, dan masih banyak lagi. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.

Pengertian

Teori Kelompok Bungkam atau Muted Group Theory merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang berfokus pada bagaimana suatu kelompok yang terpinggirkan dibungkam dan dikucilkan melalui penggunaan bahasa tertentu. Gagasan utama Muted Group Theory adalah suatu bahasa memberikan penghormatan dan nilai diri yang lebih kepada penutur aslinya dibanding kelompok lain di luar bahasa tersebut.

Teori ini diciptakan oleh Ardener bersaudara, yakni Edwin Ardener dan Shirley Ardener pada 1975 dengan menggunakan istilah “kebungkaman” atau “kebisuan” yang mengacu pada ketidakmampuan suatu kelompok untuk mengekspresikan diri mereka karena suatu ketidakadilan, yaitu sistem komunikasi.

Dari proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya distorsi informasi karena kelompok marginal tidak dapat mengekspresikan gagasan mereka dengan jelas. Sehingga kelompok dominan memiliki kecenderungan untuk mengabaikan suara dari kelompok bawahan. Hingga pada akhirnya akan berimplikasi pada bungkamnya kelompok marginal.

Komposisi Teori Kelompok Bungkam

Mark Orbe (1998), ahli dalam bidang ilmu komunikasi, menyatakan bahwa di Amerika Serikat dan beberapa budaya lainnya, masyarakat memberikan penghargaan terhadap mereka yang memiliki karakteristik dan perspektif tertentu, seperti laki-laki berkulit putih, heteroseksual, keturunan Eropa, muda, tidak memiliki cacat tubuh, dan beragama Kristen. Orang-orang dengan karakteristik tersebut membentuk kelompok dominan atau pemegang kekuasaan di suatu budaya.

Sedangkan kelompok lain yang memiliki karakteristik berbeda, biasanya merupakan bawahan dari kelompok tersebut. Dalam konteks bahwa mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan sebanyak yang dimiliki kelompok anggota dominan. Karena itu, ras Afrika, LGBT, kelas sosial bawah, kaum lanjut usia, orang dengan cacat tubuh dan non-Kristen dapat menjadi anggota dari kelompok bungkam, sama halnya dengan wanita.

Asumsi Teori Kelompok Bungkam

Dalam Muted Group Theory, Cheris Kramarae membangun teori ini dengan berfokus pada tidak komunikasi. Selain itu, tujuan yang dibuat oleh Kramarae bisa dikatakan lebih terbatas dibanding dengan tujuan milik Ardener, yaitu ketertarikan Ardener untuk menerapkan Muted Group Theory melintasi banyak budaya. Sementara Kramarae hanya terbatas pada pola-pola komunikasi di kalangan pria dan wanita Inggris dan Amerika Serikat.

Jadi, untuk mencapai tujuannya tersebut, Kramarae membuat tiga asumsi yang ia yakini begitu sentral bagi teori kelompok bungkam, di antaranya:

Kramarae percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pandangan berbeda mengenai dunia karena laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah dan bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang. Sementara perempuan lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus keluarga. Dengan demikian, laki-laki cenderung lebih berdaya dibanding wanita, baik secara mental maupun pola pikir.

  • Wanita Sulit untuk Mengekspresikan Ide Mereka

Menurut Kramarae, bahasa Inggris adalah bahasa buatan manusia yang mewujudkan perspektif maskulinitas dibanding feminitas, laki-laki di sini merupakan laki-laki berkulit putih. Dengan kata lain, laki-laki menggunakan bahasa untuk mendominasi perempuan, sehingga suara perempuan menjadi terbungkam.

Kramarae juga menyebutkan bahwa kontrol laki-laki terhadap bahasa banyak menghasilkan kata-kata yang cenderung merendahkan perempuan, seperti ‘wanita jalang’, ‘pelacur’, dan masih banyak lagi.

  • Wanita Harus Menyesuaikan dengan Sistem Ekspresi Pria yang Diterima

Kramarae menyebut bahwa wanita harus memilih kosa kata mereka secara hati-hati ketika berada di depan umum. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara hal apa yang paling ingin mereka sampaikan dengan hal apa yang hanya bisa dikatakan oleh wanita namun tidak dapat diutarakan karena adanya perbedaan pola bahasan antara laki-laki dan perempuan.

Konsep Teori Kelompok Bungkam

Kebisuan

Suatu kebisuan terjadi akibat ketidakmampuan untuk mengartikulasikan apa yang menjadi ide-ide mereka, terlepas dari ruang dan waktu yang menyertai, serta tanpa mengubah bahasa yang biasa mereka gunakan hanya karena ingin memenuhi apa yang menjadi kehendak kelompok dominan.

Kebisuan merupakan hasil dari kurangnya daya yang mengakibatkan sebuah pengabaian, teredam, hingga akhirnya tidak terlihat. Seperti pernyataan Cheris Kramarae, bahwa interaksi sosial dan komunikasi menciptakan sebuah struktur bahasa.

Karena sebagian besar struktut bahasa dan sistem komunikasi dibangun oleh laki-laki, maka laki-laki memiliki keunggulan dibandingkan perempuan. Sebagai konsekuensinya, perempuan sulit untuk mengutarakan pikiran mereka bahkan melalui kata-kata mereka sendiri karena telah dibatasi oleh aturan bahasa laki-laki. 

Kelompok Bungkam

Kelompok bungkam sifatnya nisbi terhadap kelompok dominan. Premis dari Muted Group Theory adalah anggota dari kelompok marginal akan membisukan diri mereka sendiri tanpa paksaan. Hal ini didasarkan pada pendapat Gerdrin, yaitu pembungkaman merupakan suatu fenomena sosial berdasarkan pemahaman bahwa dalam suatu masyarakat terdapat kelompok dominan dan non-dominan. 

Dengan demikian, proses pembungkaman memberikan pemahaman kolektif tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak. Perbedaan kekuasaan tersebut melahirkan kasta ‘penindas’ dan ‘yang tertindas’. 

Kramarae menyebutkan bahwa kelompok bungkam sebagai ‘yang tertindas’ diartikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki ‘kata-kata yang diakui publik’ untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Kegagalan dalam mengartikulasikan berbagai ide yang mereka miliki menyebabkan timbulnya keraguan terhadap validitas dan keabsahan perasaan mereka sendiri.

Proses Pembungkaman

Pemikiran utama mengenai teori ini adalah anggota kelompok marginal akan dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih, di mana proses pembungkaman tergantung pada pemaksaan eksplisit dan koersi.

Dari sini kita akan paham bahwa penyebab terjadinya pembungkaman adalah adanya konsekuensi baik dari indeks distribusi maupun tidak meratanya suatu kekuasaan. Oleh karenanya, pemahaman terhadap pembungkaman hanya dapat dicapai melalui pemahaman sosial dengan mengenal siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak.

Menurut West dan Turner (2019), ada empat metode yang bisa digunakan untuk mencapai distribusi kekuasaan yang berdampak pada suatu kebungkaman, di antaranya:

  • Ejekan

Pada tahapan ini, pria akan memberikan label kepada wanita dengan berbagai leksikon, seperti wanita adalah seorang penggosip, suka mengomel, suka merengek, merongrong dan lain sebagainya. Pria juga sering berkata bahwa wanita tidak memiliki selera humor dan suka membicarakan hal-hal tidak penting. Pria sering meremehkan berbagai pembahasan wanita, namun di sisi lain pria ingin wanita menjadi sosok pendengar yang baik dan selalu mendukung pria.

  • Ritual atau Upacara

Beberapa orang menyatakan bahwa terdapat banyak upacara atau ritual sosial yang memiliki dampak pembungkaman terhadap wanita, atau menyatakan kedudukan wanita lebih rendah dari pria. Sebagai contoh, dalam upacara pernikahan ketika seorang ayah memberikan tangan putrinya yang awalnya berada di lengannya kepada pria yang akan menjadi suaminya. Selain itu, perubahan nama belakang wanita setelah menikah akan dirubah mengikuti nama keluarga suaminya.

  • Kontrol

Banyak ahli menunjukkan bahwa pria lebih banyak mengendalikan keputusan, termasuk dalam sejarah masa lalu, media arus utama, praktik komunikasi, dan masih banyak lagi. Perilaku komunikasi yang menjaga pria tetap memegang suatu kendali disebut interupsi.

Ketika pria menginterupsi wanita, sering kali wanita akan beralih ke topik apa pun yang pria ingin bicarakan. Namun, ketika wanita melakukan interupsi, keadaan tidak akan sama seperti ketika pria menginterupsi wanita.

  • Pelecehan

Tindakan pelecehan bisa terjadi di mana saja, seperti di ruang publik atau jalan, tempat kerja, bahkan dalam konteks pendidikan. Hal ini biasanya akan dinaturalisasikan oleh pria, sedangkan pengalaman dan kekhawatiran wanita terkait pelecehan akan diabaikan atau diremehkan, bahkan akan diberi label sebagai seseorang yang mudah histeris, tukang ribut, dan terlalu sensitif. Berbagai respon tersebut membuat wanita enggan melapor atau sekadar bercerita tentang hal yang telah dialaminya.

Strategi Perlawanan

Tujuan yang ingin dicapai Teori Kelompok Bungkam sejatinya lebih dari sekadar menjelaskan fenomena pembungkaman terhadap wanita, yakni ingin menyuarakan perubahan dalam status quo yang ada.

Seperti yang diungkapakan oleh Houston & Kramarae (1991) dan Ezster Hargittai & Aaron Shaw (2015), wanita atau seorang individu dapat menggunakan beberapa strategi berikut ini guna menghindari proses ‘muting’, antara lain:

  • Berani menyebutkan faktor penyebab proses pembungkaman.
  • Mengambil kembali, serta mengangkat dan mementingkan wacana wacana yang dianggap ‘remeh’.
  • Buat kata-kata baru untuk membentuk sistem bahasa baru yang lebih representatif untuk menceritakan pengalaman mereka (kelompok marginal dan pengalaman gender).
  • Manfaatkan platform media, baik tradisional dan baru, untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok ini.
fbWhatsappTwitterLinkedIn