3 Teori Konflik dalam Sosiologi Hukum

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perubahan sosial merupakan salah satu bagian kajian ilmu sosiologi di mana hal ini terkait dengan teori konflik. Teori konflik yang kemunculannya adalah pada sekitar abad ke-18 dan 19 dan mulai dikenal luas tahun 1950-1960an ini merupakan teori yang menganggap adanya serangkaian kompromi untuk mengembalikan atau memperbaiki kondisi awal dikarenakan konflik.

Satu hal yang akan tetap terjadi bagaimanapun juga berbagai pihak ingin mencegahnya adalah konflik. Kehidupan sosial atau bermasyarakat rentan terhadap konflik karena masyarakat terdiri dari berbagai macam individu dengan karakter, pikiran, opini, kehendak, sikap, tindakan, dan perilaku yang berbeda-beda.

Teori konflik dalam sosiologi menunjukkan bahwa satu-satunya yang bersifat konstan adalam kehidupan masyarakat adalah konflik sosial. Sementara itu, perubahan sosial dianggap sebagai dampak atau akibat dari timbulnya konflik tersebut karena berbagai pihak mengalami pembentukan karena konflik.

Teori konflik mencakup banyak hal di dalam ilmu sosiologi, dapat berkaitan dengan keluarga, pendidikan, maupun hukum. Berikut ini adalah sederet teori konflik dalam sosiologi hukum yang dapat diketahui.

1. Karl Marx

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Karl Marx adalah sistem hukum terbentuk sebagai pelindung bagi kaum elit. Konflik sosial umumnya terjadi antara orang-orang dari kaum yang berkuasa dengan orang-orang yang berasal dari kaum tertindas atau setidaknya orang-orang yang tidak memiliki kuasa.

Menurut Karl Marx, terjadi pembentukan struktur masyarakat, tradisi, hingga sistem hukum yang biasanya tidak menguntungkan secara adil bagi kedua pihak (pihak penguasa dan pihak tertindas). Alih-alih penyamarataan hak dan kesetaraan, ketiganya adalah faktor yang mendukung kaum penguasa atau kaum elit untuk lebih berkuasa dan mendominasi.

Pihak tertindas umumnya berasal dari kaum buruh atau pekerja dan cenderung merupakan kaum miskin. Ketika yang kaya dan berkuasa semakin tinggi, terutama dibalik perlindungan hukum, kesenjangan sosial semakin melebar dan konflik berupa pemberontakan berisiko terjadi.

Pemberontakan maupun bentuk lain dari konflik yang terjadi tidak akan begitu mengusik keberadaan kaum elit. Ketika sistem hukum berpihak kepada pihak yang berkuasa, maka kaum mereka akan semakin mendominasi.

2. Ralp Dahrendorf

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Dahrendorf merujuk pada kelompok kepentingan menjadi fokus dan sumber dari keberadaan konflik sosial. Ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan wewenang yang menunjukkan adanya perbedaan posisi dan wewenang antar individu di dalam masyarakat adalah utamanya.

Individu maupun kelompok yang berada di posisi bawah dan tidak tunduk terhadap aturan yang berlaku akan memperoleh sanksi. Demikian bagaimana sistem hukum bekerja, dan pihak yang berwenang atau berada di posisi atas memiliki kuasa untuk menentukan sanksi tersebut.

Menurut Dahrendorf, konflik secara hukum melibatkan dua tipe kelompok yang ia bagi menjadi dua, yakni kelompok kepentingan (Interest Group) dan kelompok semu (Quasi Group). Kelompok kepentingan merupakan kelompok dengan kekuatan karena memiliki berbagai aspek dalam pembentukannya.

Yang dimaksud dengan berbagai aspek dalam sebuah kelompok kepentingan adalah adanya organisasi dengan anggota serta struktur yang jelas. Mereka pun biasanya memiliki program serta tujuan sehingga cenderung menjadi sumber kemunculan konflik sosial.

Sementara itu, kelompok semu adalah kelompok yang terbentuk dari gabungan antar penguasa dan pejabat yang disebabkan oleh eksistensi kelompok kepentingan. Namun, bukan tidak mungkin kelompok semu kemudian terbentuk menjadi kelompok kepentingan, terutama bila penentuan pembentukan kelompok semu adalah secara struktural.

3. Jean Bodin

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Jean Bodin adalah bahwa hukum dianggap sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi. Titah kedaulatan adalah istilah yang digunakan Jean Bodin untuk menggambarkan sistem hukum.

Kedaulatan sendiri merupakan kekuasaan tertinggi dan karena alasan tersebut ada wewenang yang bersifat tidak terbatas pada kedaulatan. Kedaulatan yang juga ada dibalik hukum adat akan membuatnya mudah dianggap sah sehingga dengan kewenangan tak terbatas bisa membentuk hukum.

fbWhatsappTwitterLinkedIn