4 Teori Sosiologi Feminisme

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Istilah feminisme sangat identik dengan girl power atau kekuatan perempuan yang dianggap kesetaraan gender oleh para perempuan namun juga dianggap sebagai ketidakadilan oleh banyak pria. Feminisme sendiri adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Prancis, yakni feminin dan memiliki arti “bersifat kewanitaan/perempuan”.

Memperjuangkan segala hak perempuan adalah tujuan utama dari gerakan feminisme, entah dalam hal ideologi, bidang sosial,kehidupan ekonomi, maupun hal-hal berbau politik. Perjuangan tersebut merupakan bentuk penuntutan para perempuan agar mencapai emansipasi.

Adanya emansipasi membuat para perempuan dianggap sama, setara dan adil dengan hak-hak yang para pria miliki. Dengan adanya gerakan ini, pandangan serta perlakuan tidak adil dari para laki-laki terhadap perempuan diharapkan dapat memudar.

Oleh sebab itu, timbul kemudian beberapa teori sosiologis feminisme seperti :

1. Teori Fungsionalisme Sosial-Makro

Seperti namanya, teori ini tidak berfokus pada hal-hal kecil dan terlalu detail pada kehidupan sosial masyarakat, tapi melihat pada skala lebih besar dengan pembagian individu-individu menjadi banyak kelompok.

Sosial makro berkonsentrasi pada kajian level struktur dalam masyarakat alih-alih membahas peran dan perilaku individu atau kelompok kecil; terkait feminisme, teori ini berlaku untuk melihat sisi perempuan secara kelompok besar.

2. Teori Analisis Konflik

Teori analisis konflik mengedepankan kajian konflik nyata yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat baik dalam kelompok kecil maupun besar. Tidak hanya melihat dan membahas, teori analisis konflik juga mencoba memahami menggunakan berbagai sudut pandang terhadap konflik-konflik tersebut untuk kemudian memutuskan sebuah tindakan pemecahan masalah.

Terkait feminisme, teori analisis konflik menyatakan adanya ketidakadilan antara perempuan dan pria. Penyebab utama ketidakadilan adalah penindasan kaum perempuan oleh kaum pria di mana kaum perempuan diposisikan sebagai kelas yang lebih rendah dan kaum pria adalah kaum yang lebih dominan dan berkuasa terkait hal produksi.

Bukan disebabkan oleh faktor biologis, ketidakadilan gender terjadi ketika kaum perempuan direndahkan dan selalu berada di posisi kurang menyenangkan. Contohnya, hubungan suami istri yang tidak menerapkan kerja sama dalam hubungan, tapi lebih kepada pemeras dan yang diperas atau tuan dan hambanya.

3. Teori Sistem Dunia Neo-Marxian

Teori Neo-Marxian atau Neo-Marxisme dalam kaitannya dengan feminisme memandang dari sisi produksi, di mana kaum perempuan tertindas karena diskriminasi, eksploitasi, dan opresi (melalui keberadaan kapitalisme) yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa.

Menurut Sharon Smith di tahun 2013 sebagai salah seorang penganut feminisme Marxis, kaum perempuan perlu terlibat produktif dalam kegiatan ekonomi yang sistemnya terencana secara matang agar bebas dari ketertindasan.

4. Teori Interaksionisme Simbolik dan Etnometodologi

Keduanya merupakan teori sosial mikro di mana teori interaksionisme simbolik memandang gender sebagai peran penting untuk kehidupan sosial sehari-hari. Teori ini menggambarkan interaksi antar individu melalui simbol-simbol yang memanifestasikan gender.

Simbol-simbol yang dimaksud dapat memandu interaksi sehari-hari adalah gaya bicara, gestur tubuh, model pakaian, dan aroma tubuh. Sementara itu, etnometodologi lebih kepada pembahasan yang tidak hanya berfokus pada interaksi sosial, tapi juga realita sosial yang ada dan nampak sehari-hari di tengah masyarakat.

Etnometodologi melihat bagaimana individu atau suatu kelompok bertindak untuk mengungkapkan dan memberi penjelasan mengenai kehidupan mereka secara nyata. Teori ini kerap digunakan untuk mendukung penelitian tentang perubahan perilaku terkait gender, khususnya perlakuan terhadap perempuan dalam kehidupan sosial.

Feminisme diperkenalkan pertama kali oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony di tahun 1848 sebagai sebuah gerakan sosial. Gerakan ini terjadi di Seneca Falls, New York dengan tujuan menuntut hak-hak perempuan yang kala itu masih sangat sulit diperoleh karena ketidakadilan dan ketiadaan penyamarataan hak antara perempuan dan pria.

Dari sejak itu, teori feminisme terus berkembang hingga dibagi menjadi beberapa jenis seiring pula dengan kemunculan para ahli yang mengamati sekaligus terlibat dalam gerakan ini. Teori feminis bersifat mendasar karena meliputi pengamatan peran sosial para perempuan saja.

Namun kemudian teori tersebut semakin berkembang dengan teori berbagai disiplin ilmu yang juga terkait dengan teori sosiologi feminisme. Meski masyarakat awam memahami feminisme sebagai bentuk upaya penyamarataan peran dan hak antara perempuan dan laki-laki serta menghapus diskriminasi antar kedua gender.

Dalam ilmu sosiologi, feminisme pun tidak lepas dari pengkajian. Teori sosiologi feminisme dapat dikatakan sebagai hasil dari berkembangnya teori feminis berdasarkan pengalaman dan sudut pandang perempuan mengenai sistem patriarki (dominasi pria), khususnya tentang objektifikasi perempuan (peran perempuan baik sebagai objek maupun subjek).

Selama ini, perempuan memiliki posisi di bawah atau lebih rendah daripada pria, dominasi pria seperti ini nyatanya berlaku dan cenderung berpengaruh lebih besar dalam kehidupan sosial. Teori sosiologi feminisme merupakan teori pada cabang ilmu baru.

Teori tersebut menjadi wadah bagi perempuan untuk memberi dan menyuarakan gagasannya tentang peran perempuan di masyarakat, baik sebagai objek maupun subjek, sebagai pelaku maupun yang mengetahui, terutama bila dikaitkan dengan posisi pria.

Seiring gerakan feminis yang semakin berkembang hingga menjadi gerakan feminis kontemporer, ilmu sosiologi mendapat pengaruh dari paham ini. Sosiologi yang semula memelajari masyarakat dan perilaku sosial kini merambah pembahasan kehidupan perempuan hingga kaitannya dengan gender.

fbWhatsappTwitterLinkedIn