Sistem ekonomi liberal merupakan sistem ekonomi yang digunakan pertama kali di Indonesia. Sistem ini digunakan setelah beberapa tahun Indonesia mendapatkan kemerdekaan. Lebih tepatnya mulai tahun 1950 hingga 1957.
Pada masa ini dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Penerapan sistem demokrasi liberal sendiri dimulai setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan. Setelah dibubarkan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan diberlakukannya sistem ekonomi liberal, maka secara otomatis perekonomian Indonesia menjadi liberal. Sayangnya, penerapan sistem liberal ini menimbulkan banyak masalah. Bahkan sistem liberal dinilai tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pada masa ekonomi liberal. Hal ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Terdapat sejumlah tokoh yang menjadi pendorong sistem liberal. Berikut ini tokoh-tokoh yang berpengaruh pada sistem ekonomi liberal di Indonesia.
Mr Iskak Tjokroadisurjo merupakan seorang pakar hukum serta politisi. Laki-laki kelahiran 11 Juli 1896 ini merupakan salah satu pendiri dari Partai Nasional Indonesia atau PNI di Bandung. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo, ia pernah menjabat sebagai Menteri Perekonomian.
Ia mencetuskan ide sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem ekonomi Ali Baba. Ali Baba sendiri merupakan sistem ekonomi yang berusaha untuk membangkitkan wiraswasta lokal Indonesia.
Ali sendiri digambarkan sebagai pengusaha pribumi Nusantara sementara itu, baba digambarkan sebagai sosok pengusaha luar atau asing yang dalam hal ini adalah pengusaha Tionghoa. Tujuan diadakan sistem yakni untuk memprioritaskan kebijakan ekonomi nasional guna menggantikan sistem ekonomi warisan kolonial Belanda.
Pelaksanaan dari sistem ekonomi Ali Baba adalah bagaimana cara pemerintah meningkatkan kemampuan ekonomi nasional melalui kerja sama antara pengusaha pribumi dam pengusaha non pribumi melalui program Ali Baba dalam program kerja sama ini.
Pengusaha lokal diberikan kesempatan untuk bekerja di perusahaan miliki Pengusaha non pribumi sampai menduduki jabatan minimal menjadi staff. Selain mengeluarkan kebijakan Ali Baba, Mr Iskak Tjokroadisurjo juga membuat kebijakan proteksi untuk pengusaha lokal.
Sistem perekonomian Ali Baba merupakan langkah pemerintah untuk mengatasi keadaan ekonomi yang carut marut pada masa demokrasi liberal. Ketika setelah adanya pengakuan dari Belanda, Indonesia menanggung beban utang sebagaimana yang disebutkan dalam konferensi meja bundar.
Jumlah utang luar negara Indonesia mencapai 1,5 triliun dan utang dalam negerinya mencapai 2,5 triliun rupiah. Selain itu, banyak pula muncul gerakan di beberapa wilayah Indonesia menggangu keamanan negara dan membuat negara mengeluarkan banyak pengeluaran untuk operasi militer memberantas pemberontakan.
Terjadinya pergantian kabinet semakin memperparah keadaan ekonomi Indonesia ditambah lagi Indonesia belum memiliki tatanan ekonomi yang baik. Apalagi kegiatan ekspor yang hanya bertumpu pada dua sektor yakni pertanian dan perkebunan.
Sistem ekonomi Ali Baba bertujuan agar pengusaha pribumi dapat bersaing dengan pengusaha asing. Selain itu, dengan mendorong pengusaha pribumi untuk berkembang, nantinya pengusaha pribumi akan memberikan dampak bagi kemajuan ekonomi nasional.
Untuk memajukan pengusaha pribumi pemerintah mengadakan berbagai macam pelatihan. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan berupa kredit lunak yang diberikan kepada pengusaha pribumi. Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Dengan adanya sistem ekonomi Ali Baba para pengusaha mulai berkembang. Selain itu bank swasta dan perusahaan perkapalan swasta nasional ikut berkembang karena kredit yang diberikan oleh pemerintah. Sistem ekonomi ini juga memberikan dampak yang negatif seperti munculnya penjualan lisensi secara ilegal.
Tidak hanya itu, beberapa hal lain juga membuat sistem ekonomi ini menjadi gagal seperti para pengusaha pribumi yang putar arah dengan mengalihkan usahanya menjadi non pribumi. Kredit yang diberikan pemerintah tidak dimanfaatkan dengan baik.
Kredit yang semula ditujukan untuk mendorong kegiatan produksi justru digunakan untuk konsumsi. Para pengusaha lokal yang gagal memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga pengaruh sistem ekonomi ini tidak begitu terasa bagi perekonomian Indonesia.
Maka dari itu, untuk mengeluhkan keadaan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan lain di antaranya sebagai berikut.
Kebijakan Gunting Syarifuddin adalah pemotongan nilai mata uang atau sanering. Kebijakan ini digagas oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat yakni Syarifuddin Prawiranegara. Tujuan adanya gunting Syarifuddin untuk menanggulangi defisit anggaran sebanyak 5,1 miliar rupiah dan mengatasi masalah jangka pendek.
Tindakan Gunting Syarifuddin ini dilakukan dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga bernilai setengahnya. Dengan pemotongan ini tidak akan berdampak bagi rakyat kecil. Sebab, uang senilai Rp 2,50 hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.
Nasionalisasi De Javasche Bank merupakan proses pemindahan hak kepemilikan badan usaha Belanda yang ada di Indonesia ke pemerintahan Indonesia. Adanya Nasionalisasi De Javasche Bank dikarenakan bank sirkulasi yang ada di Indonesia dikelola oleh orang Belanda.
Dan adanya aturan mengenai pemberian kredit yang harus didiskusikan dengan pemerintah Belanda. Hal inilah yang kemudian akan menghambat kebijakan ekonomi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Perundingan masalah finansial ekonomi yang ada di antara Indonesia dengan Belanda berusaha dituntaskan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Pada kabinet ini mengirimkan seorang delegasi ke Jenewa, Swiss. Delegasi dari Indonesia sendiri dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung.
Pada tanggal 7 Januari dicapai rencana persetujuan Finek. Sayangnya, pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan tersebut. Kemudian Indonesia mengambil langkah secara sepihak dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 1956.
Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo merupakan seorang ekonom sekaligus politikus Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keuangan serta Menteri Riset pada era Orde Lama dan Orde Baru. Soemitro termasuk golongan orang yang mendukung adanya modal dan investor asing ke Indonesia.
Pada masa kabinet Natsir, ia diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri. Programnya berfokus kepada industrialisasi yang berlawanan dengan arah kebijakan menteri Keuangan saat itu yakni Syafruddin Prawiranegara. Di mana Syafruddin Prawiranegara kebijakannya lebih mengarah kepada pengembangan pertanian.
Soemitro menyusun Rencana Urgensi Perekonomian atau Sumitro Plan yang diterbitkan pada tahun 1951. Rencana ini meliputi penggunaan uang negara guna membangun sejumlah fasilitas industri di pulau Jawa dan Sumatra dalam dua tahun. Selama masa kabinet Natsir, Soemitro melakukan penarikan investasi asing dalam mendirikan pabrik di Indonesia.
Hal ini dilakukan Soemitro dengan cara berkeliling ke luar negeri terutama Belanda. Salah satu program yang dicetuskan oleh Soemitro yakni program benteng. Program ini mengatur lisensi impor barang tertentu yang harus dimiliki oleh pengusaha pribumi. Sebenarnya Soemitro lebih menyukai konsep pasar bebas sebagaimana dalam sistem liberal.
Soemitro merupakan penggagas dari sistem ekonomi gerakan benteng. Sistem ekonomi gerakan benteng adalah usaha pemerintah Indonesia untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional sehingga dapat memperbaiki perekonomian Indonesia. Sistem ekonomi ini digagas ketika masa kabinet Natsir. Sistem ekonomi ini meliputi beberapa hal sebagai berikut.
Pelaksanaan gerakan benteng ini berlangsung sejak bulan April 1950. Selama tiga tahun, terdapat kurang lebih 700 perusahaan pribumi yang mendapatkan bantuan kredit dari program gerakan benteng ini. Sayangnya, tujuan dari adanya program ini tidak berjalan dengan baik karena beberapa faktor.
Faktor tersebut yakni :
Pada tahun 1952, Soemitro ditunjuk sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo. Selama masa kabinet Wilopo, proses nasionalisasi terhadap bank Indonesia selesai dilakukan. Ia mewajibkan semua direksi bank Indonesia harus berkebangsaan Indonesia. Selain itu, ia juga melakukan perluasan cakupan program Benteng yang semula 10 persen produk impor menjadi lebih dari 50 persen.
Pada tahun 1953 kabinet Wilopo jatuh dan beberapa tokoh gagal membentuk kabinet setelahnya. Kemudian ia ditunjuk oleh Burhanuddin Harahap sebagai menteri keuangan namun penunjukan ini ditentang oleh Partai Nasional Indonesia sehingga mandat tersebut dikembalikan oleh Burhanuddin. Pada akhirnya posisi Soemitro digantikan oleh Ong Eng Die saat Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Selama masa kabinet ini, Soemitro menjadi sosok yang gemar mengkritisi pemerintah. Ia juga melemparkan tuduhan bahwa kebijakan kabinet saat itu bertujuan untuk mengusir modal asing dari Indonesia khususnya Belanda.
Saat kabinet Burhanuddin Harahap, Soemitro kembali ditunjuk menjadi Menteri Keuangan pada tahun 1955. Pada saat itu ia memutuskan untuk mengakhiri program benteng karena inflasi yang merajalela sehingga merusak stabilitas ekonomi.
Pada masa kabinet ini, Soemitro memiliki beberapa program yakni pengurangan belanja pemerintah yang mengurangi defisit anggaran sehingga secara perlahan inflasi dapat terkendali. Beberapa bulan sebelum kabinet Burhanuddin jatuh, Soemitro meminjamkan dana pemerintah ke sejumlah perusahaan-perusahaan yang terkait partai-partai politik.
Tindakan yang dilakukan Soemitro ini ternyata memicu partai-partai oposisi menuntut pembubaran kabinet Burhanuddin lebih cepat dari jadwalnya. Pada akhirnya kabinet Burhanuddin jatuh dan para menteri di kabinet ini termasuk Soemitro tidak dimasukkan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Pada masa Demokrasi Liberal, Soemitro dianggap menjadi menteri yang paling berkuasa dari Partai Nasional Indonesia. Beberapa program yang diajukannya berhasil membuat keadaan ekonomi menjadi lebih baik. Tujuan kebijakan yang dikeluarkan Soemitro yakni untuk meningkatkan konsumsi dan investasi dalam negeri seraya memperbaiki neraca perdagangan.
Soemitro juga menjadi sosok yang mendukung iklim investasi asing. Ia pernah mengatakan bahwa mengusir invetasi asing sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Ia sangat percaya bahwa invetasi asing akan berdampak bagi perkembangan ekonomi Indonesian.
Oleh sebab itu, ia melakukan lobi kepada beberapa investor asing guna mengembangkan sumber daya Indonesia. Ia melakukan lobi kepada investor asing dengan iming-iming keringanan pajak.