Daftar isi
Ir. Raden Haji Djoenda Kartawidjaja adalah seorang Perdana Menteri ke-10 Indonesia sekaligus terakhir. Beliau menjabat sebagai Perdana Menteri dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Kemudian beliau menjabat menjadi beberapa menteri seperti Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I, perhubungan dan lainnya.
Sumbangan yang telah beliau berikan dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia termasuk laut sekitar, diantara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal sebagai negara kepulau dalam konvensi hukum laut Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Masa Remaja dan Pendidikan Djuanda Kartawidjaja
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja lahir pada 14 Januari 1911 di Tasikmalaya. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat. Ayahnya, Raden Kartawidjaja adalah seorang Mantri Guru di Hollandsch Inlansdsch School (HIS).
Djuanda Kartawidjaja memulai pendidikannya di sekolah dasar Hollandsch Inlansdsch School (HIS), kemudian beliau pindah ke sekolah Eropa Eurpapesche Lagere School (ELS).
Pada tahun 1924, Djuanda lulus dari ELS dan melanjutkan sekolahnya di sekolah menengah yang dimasukkan oleh ayahnya, yaitu sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, yang sekarang di tempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung).
Beliau lulus pada tahun 1929, pada tahun yang sama beliau melanjutkan pendidikannya ke jenjang tinggi yaitu masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, dan mengambil jurusan teknik sipil. Kemudian beliau lulus dari THS pada tahun 1933. Djuanda juga aktif dalam organisasi non politik, seperti Pergerakan Pasundan dan menjadi anggota Muhammadiyah.
Peran dan Perjuangan Djuanda Kartawidjaja
Setelah lulus dari THS Bandung pada tahun 1933, beliau memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji yang seadanya.
Padahal saat itu beliau mendapatkan tawaran menjadi asisten dosen di tempatnya berkuliah, yaitu THS Bandung dengan gaji yang lumayan besar.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin pemuda-pemuda untuk mengambil alih Jawatan Kereta Api dari Jepang dan juga mengambil alih Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung dari tangan Jepang.
Setelah itu, pemerintah Indonesia mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura.
Pemerintah juga mengangkat Djuanda sebagai Menteri Perhubungan, dan beliau juga diangkat menjabat sebagai Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan.
Djuanda Kartawidjaja juga beberapa kali memimpin perundingan dengan Belanda. Salah satunya perundingan KMB, pada perundingan ini Djuanda bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia.
Perundingan KMB ini berlangsung dari 28 Oktober-2 November 1949. Konferensi Meja Bundar berakhir saat Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan Republik Indonesia.
Beliau sangat berjasa bagi Indonesia, salah satu jasanya yang beliau berikan untuk Indonesia adalah mencetus Deklarasi Djuanda.
Deklarasi Djuanda dibentuk pada 13 Desember 1957 oleh Djuanda Kartawijaya saat beliau masih menjadi Perdana Menteri Indonesia.
Deklarasi Djuanda adalah suatu deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum adanya Deklarasi Djuanda tersebut, wilayah NKRI mengaju pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 atau TZMKO 1939.
Di mana dalam peraturan tersebut Belanda menyatakan bahwa pulau-pulau Indonesia di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut yang berada di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai.
Hal tersebut menyatakan bahwa kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dan pada Deklarasi Djuanda ini menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan.
Sehingga pada saat itu, prinsip tersebut mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, dimana laut-laut antarpulau merupakan wilayah NKRI dan bukan kawasan bebas.
Pada tahun 1982, akhirnya Deklarasi Djuanda dapat diterima setelah melalui perjuangan yang panjang.
Deklarasi Djuanda diresmikan menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia dan juga ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III tahun 1982.
Deklarasi Djuanda ini kembali dipertegas dengan menetapkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1946, Djuanda sudah menjabat sebagai Menteri Muda Perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan tahun 1957-1959, dan lanjut menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1963.
Wafatnya Djuanda Kartawidjaja
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja wafat pada 7 November 1963 di Jakarta akibat serangan Jantung. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawijaya diangkat sebagai tokoh nasional atau Pahlawan Kemerdekaan Indonesia atas jasa-jasanya kepada Negara Indonesia
Sebagai jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang yang berada di Jawa Timur sampai terlaksana, akhirnya namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda
Tidak hanya itu, namanya juga diabadikan sebagai nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dan di dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Pada 19 Desember 2016, pemerintah Republik Indonesia mengabadikan Djuanda dalam pecahan uang kertas rupiah baru Rp 50.000 sebagai penghargaan atas jasa-jasanya kepada Indonesia.