Biografi Saddam Hussein: Pendidikan – Karier Politik dan Eksekusi

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Saddam Hussein lahir pada 28 April 1937 di Awja, sebuah desa kecil dan miskin dekat kota Tikrit, Irak. Ia merupakan politikus Irak yang menjabat sebagai presiden kelima Irak dari 16 Juli 1979 hingga eksekusi kematiannya pada 30 Desember 2006.

Meski setelah kematiannya, tidak pernah ditemukan bukti mengenai senjata pemusnah massal di Irak seperti yang telah dituduhkan pihak Barat.

Sebelum kenaikannya, ia adalah salah satu anggota terkemuka Partai Ba’ath. Saddam Hussein memainkan perang kunci dalam kudeta 1968 yang kemudian mampu membawa partai tersebut berkuasa di Irak.

Masa Muda dan Pendidikan

Pada 1959, ia bergabung dengan Partai Ba’ath, dan berpartisipasi dalam upaya penggulingan perdana menteri Irak, Abd al-Karim Qasim. Dalam upaya tersebut, Saddam terluka lalu melarikan diri ke Suriah dan kemudian ke Mesir. Selama di Mesir ia bersekolah di Sekolah Hukum Kairo (1962-1963), lalu melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Hukum Baghdad setelah Partai Ba’ath mengambil alih kekuasaan di Irak pada 1963.

Kebangkitan Gamal Abdel Nasser membangkitkan gelombang revolusi di seluruh Timur Tengah dari 1950-an hingga 1960-an, ditandai dengan runtuhnya monarki Mesir, Irak, dan Libya. Ia menginspirasi kaum nasionalis Timur Tengah untuk memodernisasi Mesir, menyatukan dunia Arab secara politik, dan memerangi Inggris dan Prancis selama Krisis Seuz 1956.

Namun, kaum Ba’ath kalah dan mampu digulingkan, yang menyebabkan Saddam beberapa tahun mendekam di penjara Irak. Saddam Hussein yang berhasil melarikan diri, menjabat sebagai pemimpin Partai Ba’ath. Ia berperan penting dalam kudeta yang yang membawa partai tersebut kembali berkuasa di Irak pada 1968.

Karier Politik

Setelah Partai Ba’ath mengambil alih kekuasaan pemerintah pada 1968, Saddam Hussein memusatkan perhatian pada pencapaian stabilitas negara dengan mendorong modernisasi ekonomi Irak, dengan membentuk aparat keamanan yang kuat guna mencegah kudeta dalam struktur kekuasaan dan pemberontakan di luarnya.

Inti dari strategi ini adalah keamanan dan ketersediaan minyak Irak. Krisis energi tahun 1973 menyebabkan harga minyak dunia naik secara dramatis, hal ini tentu saja memungkinkan Saddam memperluas agendanya. Hanya dalam beberapa tahun, perekonomian Irak mengalami kemajuan secara bertahap.

  • Menjadi Presiden Irak

Pada 1976, Saddam Hussein naik ke posisi jenderal di angkatan bersenjata Irak. Saddam Hussein semakin menonjol dan menjadi wajah pemerintah, baik secara internal maupun eksternal, menggantikan al-Bakr yang sudah tua dan sering sakit.

Pada 1979, Al-Bakr yang masih menjabat presiden Irak, mulai membuat perjanjian dengan Suriah untuk menyatukan dua negara menjadi satu kesatuan. Namun, upaya ini digagalkan Saddam dengan memaksa al-Bakr yang sedang sakit untuk mundur dari jabatannya pada 16 Juli 1979.

Saddam Hussein secara resmi mulai menegaskan kontrol terbuka atas pemerintah Irak pada 16 Juli 1979, dan menjadi presiden setelah al-Bakr mengundurkan diri. Ia juga mengukuhkan dirinya di berbagai posisi, yakni ketua Dewan Komando Revolusi dan perdana menteri.

Saddam Hussein juga membentuk badan polisi rahasia yang bertugas untuk menekan setiap oposisi internal terhadap pemerintahannya. Ia menjadikan dirinya sebagai objek kultus bagi masyarakat Irak. Sementara tujuan lainnya selama menjadi presiden adalah menggantikan Mesir sebagai pemimpin dunia Arab dan mencapai hegemoni atas Teluk Persia.

  • Pembentukan Paramiliter dan Kepolisian

Sejak 1974, Saddam Hussein menunjuk Taha Yassin Ramadan (Kurdi Ba’athist) sebagai pemimpin Tentara Rakyat Irak, yang bertanggung jawab atas keamanan internal. Tentara Rakyat akan bertindak sebagai penyeimbang dari segala upaya kudeta oleh angkatan bersenjata reguler.

Selain itu, ada Departemen Intelijen Umum Mukhabarat yang dianggap sebagai sistem keamanan negara paling ditakuti karena menggunakan sistem penyiksaan dan pembunuhan. Lembaga ini dipimpin oleh adik tiri Saddam Hussein, BArzan Ibrahim al–Tikriti.

Kedua lembaga ini membuat para pengamat memandang Saddam sebagai diktator terbesar abad ke-20. Selama rezim Saddam Hussein, sedikitnya ada 250.000 warga Irak yang tewas akibat perang. Namun demikian, Saddam Hussein tetap memberikan ruang gerak dan kebebasan beragama bagi para warga Irak.

Citra Politik dan Budaya

Selama kepemimpinannya, Saddam menggaungkan gagasan nasionalisme ganda yang merupakan gabungan dari nasionalisme Irak dan nasionalisme Arab. Rezim Ba’athis juga memasukkan pemimpin Muslim Kurdi, Saladin, sebagai simbol patriotik Irak.

Selama Saddam memimpin, Irak memiliki hubungan yang cukup baik dengan Mesir setelah Mesir sepakat untuk mendukung pihak Irak dalam konfliknya dengan Iran. Saddam juga pernah mengirimkan sebuah Boeing 747 yang di dalamnya penuh dengan hadiah, seperti permadani, alat-alat elektronik, dan berbagai barang mahal  kepada Kenneth Kaunda, politisi Zambia.

Sejak 1960-an, Saddam juga memiliki hubungan dekat dengan Yevgeny Primakov, agen intelijen Rusia, karena telah membantunya tetap berkuasa di Irak pada 1991. Untuk negara Barat, Saddam hanya menugunjungi 2 negara. Kunjungan pertama dilakukan pada Desember 1974, ketika Caudillo dari Spanyol mengundangnya ke Madrid, dan ia mengunjungi Granada, Cordoba, dan Toledo.

Kedua terjadi pada September 1975, ketika ia bertemu dengan Perdana Menteri Prancis Jacques Chirac di Paris, Prancis. Sarkis Soghanalian, produsen senjata Lebanon, menyatakan bahwa Saddam Hussein juga membiayai partai Chirac. Setelah krisis minyak pada 1973, Prancis mengubah kebijakan negaranya menjadi pro-Arab, sejak saat itu hubungan Irak dan Prancis menjadi lebih dekat

Kampanye ini merupakan seruan dalam upaya genosida terhadap orang Kurdi di wilayah Irak yang dipimpin oleh Ali Hasan al-Majid. Peristiwa ini dilakukan antara tahun 1986 dan 1989, dan puncaknya terjadi pada 1989. Human Right Watch memperkirakan korban dari etnis Kurdi yang tewas sekitar antara 50.000 dan 100.000.

  • Perang Teluk I (1980-1988)

Perang diawali ketika pasukan Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein menginvasi bagian barat Iran, Khuzestan, yang kaya akan minyak. Hingga pada 1982, perang antara Irak dan Iran mengalami kebuntuan. Keduanya mampu menggagalkan serangan satu sama lain di wilayah perbatasan. Selain karena kepentingan minyak, Perang Teluk I juga disebabkan beberapa faktor, seperti konflik antara etnis Arab (Irak) dan Persia (Iran).

Konflik perbedaan antara mazhab Sunni (Irak) dan Syiah (Iran), penentangan Saddam Hussein terhadap Revolusi Islam di Iran karena dianggap menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik Irak, serta adanya keinginan antara Irak dan Iran untuk menguasai perairan Shatt Al-Arab juga menjadi faktor lain pencetus perang.

Selama berperang, Irak mendapatkan dukungan dari Arab Saudi, Kuwait, Amerika Serikat dan Eropa. Sementara Iran juga mendapatkan dukungan dari negara-negara Timur Tengah, seperti Suriah, Libia, dan Yaman Selatan.

  • Perang Teluk II (1990-1991)

Setelah delapan tahun berperang dengan Irak, Iran mengalami kemerosotan ekonomi. Irak juga terjerat utang dengan Arab Saudi dan Kuwait, dan Irak selalu berupaya agar kedua negara tersebut menghapuskan hutangnya namun selalu ditolak. Pada 2 Agustus 1990, Irak melakukan invasi terhadap Kuwait dengan membombardir Kuwait City lewat udara.

Upaya tersebut bermaksud untuk mendapatkan cadangan minyak Kuwait yang besar, penghapusan utang Irak kepada Kuwait, serta perluasan wilayah Irak. Hal ini juga merupakan ekspresi kekecewaan Saddam Hussein terhadap negara-negara Timur Tengah yang dahulu pernah beraliansi dengan Irak saat Perang Teluk I, khususnya Kuwait dan Uni Emirat Arab.

Karena Kuwait tidak memiliki persiapan sebelumnya, Kuwait berinisiatif meminta bantuan dari Arab Saudi, Mesir, dan Amerika Serikat untuk melawan Irak. Beberapa negara tersebut membekukan kekayaan Irak, embargo senjata internasional, pada Irak, dan pemutusan hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Irak.

  • Perang Teluk III (2003)

Perang Teluk II terjadi ketika Amerika Serikat menginvasi Irak selama kurang lebih satu bulan. Tragedi 11 September 2001 menjadi titik tolak upaya Amerika Serikat dalam menggulingkan Saddam Hussein. George W. Bush memvonis bahwa Irak berperan dalam serangan teroris pada 11 September 2001. Selain itu, AS mengklaim bahwa ini merupakan upaya pembebasan rakyat Irak dari rezim otoriter Saddam Hussein.

AS juga mengklaim bahwa mereka ingin melindungi Sekutu mereka yang berada di Timur Tengah, yaitu Israel. Irak yang merupakan wilayah casangan minyak terbesar kedua menjadikan AS ingin mengontrol wilayah tersebut. Meski pun AS banyak mendapat pertentangan dan protes dari dunia internasional, AS tetap pada pendiriannya untuk melakukan invasi pada Irak.

Runtuhnya Irak

Pada 2002, jaksa Austria menyelidiki transaksi antara Saddam dan Fritz Edlinger, Presiden Sekretaris Jenderal untuk hubungan Austro-Arab (GOAB), terkait dugaan pencucian uang dan embargo Austria. Di tahun yang sama, Uni Eropa dan Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa tidak ada perbaikan dalam krisis hak asasi manusia di Irak.

Kedua lembaga internasional tersebut mengecam pemerintahan Presiden Saddam Hussein atas pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang sistematis, meluas, dan sangat berat. Mereka menuntut agar Irak segera mengakhiri eksekusi sewenang-wenangnya, serta penggunaan kekerasan sebagai alat politik guna menghilangkan semua .

Negara-negara Barat, terutama AS, memandang Saddam sebagai tiran yang suka berperang dan mengancam stabilitas kawasan. Dalam pidato kenegaraannya pada Januari 2002, George W. Bush menyatakan bahwa ia akan menggulingkan pemerintahan Saddam karena ancaman terhadap senjata pemusnah massal miliknya.

Presiden Bush juga menyatakan bahwa Rezim Saddam Hussein telah mengembangkan antraks, gas saraf, dan senjata nuklir selama lebih dari satu dekade. Irak dikatakan terus memamerkan permusuhannya terhadap Amerika Serikat dengan melakukan berbagai teror.

Namun, dalam wawancaranya selama tiga jam dengan reporter CBS News, Daniel Rather, Saddam Hussein membantah memiliki senjata pemusnah massal atau senjata yang dilarang oleh PBB. Ia juga mengungkapkan ingin melakukan debat terbuka live dengan George W. Bush mengenai hal ini. Saddam tidak memungkiri bahwa ia berkeinginan memiliki senjata pemusnah massal agar bisa tampil kuat di hadapan Iran.

Invasi besar-besaran dari negara-negara Barat, di bawah pimpinan AS, ke Irak selama tiga minggu sejak 20 Maret 2002, menyebabkan runtuhnya pemerintahan dan militer Irak. Pada awal April, pasukan pimpinan AS berhasil menduduki sebagian besar wilayah Irak. Saddam Hussein yang telah kehilangan kendali atas Irak ikut menghilang.

Pada 9 April 2002, Baghdad jatuh ke tangan pasukan pimpinan AS yang secara simbolis ditandai dengan dirobohkannya patung Saddam Hussein.

Penangkapan dan Eksekusi

Selama berminggu-minggu sejak jatuhnya Baghdad dan berakhirnya invasi Irak pada April 2003, keberadaan Saddam Hussein masih menjadi misteri. Di berbagai kesempatan, ia merilis kaset audio yang menyatakan penolakan rakyat terhadap penggulingannya.

Saddam Hussein menjadi “Daftar Orang Irak Paling Dicari AS”. Sementara kedua putranya Uday dan Qusay, beserta cucunya Mustapha (14 tahun), tewas dalam baku tembak selama tiga jam dengan pasukan AS pada Juli 2003.

Pada 13 Desember 2003, Saddam Hussein ditemukan dan ditangkap oleh pasukan AS dalam Operasi Fajar Merah, di sebuah lubang di dalam tanah dekat sebuah rumah pertanian di ad-Dawr, dekat Tikrit. Pada 30 Juni 2004, Saddam Hussein bersama 11 pemimpin senior Ba’ath lainnya diserahkan kepada pemerintah Irak untuk diadili atas kejahatan dan pelanggaran yang telah mereka lakukan.

Beberapa minggu kemudian, Saddam didakwa oleh Pengadilan Khusus Irak atas kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap penduduk Dujail pada 1982, menyusul percobaan pembunuhan yang gagal terhadapnya. Termasuk tuduhan khusus pembunuhan 148 orang.

Pada 5 November 2006, Saddam Hussein dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dan dijatuhi hukuman mati dengan cara bergantung, meski ia ingin dieksekusi oleh regu tembak, sesuai hukum militer yang sah. Saudara tirinya, Barzan Ibrahim dan Awad Hamed al-Bander, dihukum atas tuduhan serupa.

Eksekusi gantung Saddam Hussein dilakukan pada 30 Desember 2006, yang bertepatan dengan hari Idul Adha. Eksekusi dilakukan di Camp Justice, pangkalan militer Irak di Kadhimiya, timur laut Baghdad. Saddam Hussein dimakamkan di tempat kelahirannya, al-Awja, pada 31 Desember 2006.

Bahkan setelah kematiannya, tidak pernah ditemukan bukti mengenai senjata pemusnah massal di Irak seperti yang telah dituduhkan oleh Amerika Serikat.

Kehidupan Pribadi

Saddam Hussein bertunangan dengan Sajida Talfah selama pengasingannya di Mesir, kemudian menikah pada 1963 di Irak. Sajida Talfah merupakan putri dari paman Saddam, Khairallah Talfah. Perjodohan keduanya telah diatur sejak Saddam berusia 5 tahun dan Sajida 7 tahun. Dari pernikahan tersebut, Saddam dan Sajida memiliki 5 anak

Saddam Hussein juga menikah dengan putri Izzat Ibrahim ad-Douri, namun hanya bertahan beberapa bulan lalu menceraikannya. Dari pernikahan tersebut, keduanya tidak memiliki anak.

Uday Hussein (1964-2003) adalah putra pertama Saddam, yang menjalankan Asosiasi Sepak Bola Irak, Fedayeen Saddam, dan beberapa perusahaan media Irak, seperti TV Irak dan surat kabar Babel. Awalnya, Uday merupakan putra kesayangan Saddam dan diharapkan mampu meneruskan kepemimpinannya, namun semua berubah ketika ia banyak terlibat dalam berbagai kasus.

Uday adalah pihak yang bertanggung jawab dalam banyak kasus kecelakaan mobil dan pemerkosaan di Baghdad, perseteruan dengan beberapa keluarganya, menjadi tersangka kasus pembunuhan pelayan dan pencicip makanan Saddam Hussein, Kamel Hana Gegeo, dan keterlibatannya dalam penjarahan emas, mobil, dan persediaan medis di Kuwait selama Perang Teluk.

Putra keduanya, Qusay Hussein (1966-2003), adalah orang penting kedua (di belakang ayahnya) dalam komando militer. Ia adalah pemimpin Iraqi Special Security Organization (SSO). Raghad Hussein (1968), putri sulung Saddam, melarikan diri ke Amman, Yordania setelah invasi Irak tahun 2003 dan mendapat perlindungan dari keluarga kerajaan di sana.

Putri kedua Saddam, Rana Hussein (1969), juga ikut melarikan diri ke Yordania. Tidak banyak yang media ketahui tentang Hala Hussein (1972), putri ketiga Saddam Hussein. Ia juga ikut melarikan diri ke Yordania bersama anak dan kedua saudaranya. Sedangkan suaminya, Jenderal Kamal Mustafa Abdallah Sultan al-Tikriti dipenjara dan baru dibebaskan pada Juni 2021.

Pada 1986, Hussein menikahi istri keduanya, Samira Shahbandar. Samira yang masih berstatus istri dari seorang eksekutif Iraqi Airways, lalu menceraikan suaminya agar bisa menikah dengan Saddam. Ia diyakini sebagai ibu dari anak ke-6 Saddam, dan setelah invasi Irak usai, Samira melarikan diri ke Beirut, Lebanon.

Saddam Hussein diduga juga menikah untuk ketiga kalinya dengan Nidal al-Hamdani, manajer umum Pusat Riset Energi Surya di Dewan Riset Ilmiah. Wafa Mullah Huwaysh, putri mantan menteri industri militer Irak Abd al-Tawab Mullah Huwaysh, dikabarkan menikah dengan Saddam pada 2002. Meski belum ada bukti tentang pernikahan tersebut.

fbWhatsappTwitterLinkedIn