Sejarah

2 Sosok Pahlawan Nasional dari Kalimantan Timur

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Setiap daerah tentunya memiliki tokoh pejuang masing-masing. Mereka yang memperjuangkan dan melawan para penjajah. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mengusir penjajah dari tanah mereka. Sayangnya, dari sekian banyak para pejuang, hanya beberapa persen yang diberi gelar Pahlawan Nasional.

Padahal, pada kenyataannya banyak sekali para pejuang pada saat masa penjajahan. Ada beberapa faktor tentunya yang menyebabkan masih banyak para pejuang yang belum digelar Pahlawan Nasional. Meskipun begitu, tetap saja mereka adalah para pahlawan yang harus kita hormati.

Kondisi seperti ini terjadi pada beberapa daerah. Bahkan di beberapa daerah baru satu orang tokoh yang diakui menjadi pahlawan Nasional. Seperti halnya Kalimantan Timur. Tokoh pahlawan yang sudah diberi gelar pahlawan Nasional di daerah ini hanya satu orang yakni Abdoel Moeis Hassan.

Untuk mengenal lebih lanjut sosok beliau, simak penjelasan mengenai biografi serta perjuangannya.

Haji Abdoel Moeis Hassan

Haji Abdoel Moeis Hassan merupakan tokoh pemuda pergerakan bangsa yang berasal dari Samarinda pada tahun 1940-1945. Ia pernah menjadi pemimpin Perjuangan diplomasi politik untuk kemerdekaan RI di wilayah Kalimantan Timur. Sejak remaja, ia sudah mengikuti berbagai aktivitas pergerakan dan belajar masalah politik.

Tidak hanya itu, ia tercatat menjadi pendiri sebuah organisasi kepemudaan seperti Roekoen Pemoeda Indoenesia dan menjabat sebagai ketua. Saat usianya menginjak 18 tahun, Abdoel Moeis juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan bersama A.M Sangadji pada tahun 1942. Lembaga pendidikan tersebut diberi nama Balai Pengajaran dan Pendidikan Ra’jat.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustusan 1945, saat itu Samarinda dan Kalimantan Timur belum tergabung ke dalam Republik Indonesia. Atas dasar inilah ia kemudian bergabung ke dalam gerakan Dr. Soewadji untuk merencanakan proklamasi kemerdekaan di Samarinda.

Abdoel Moeis kemudian bergabung dalam Panitia Persiapan Penyambutan Kemerdekaan RI untuk mewujudkan Proklamasi Negara Indonesia di Samarinda.

Untuk mencapai kemerdekaan, ia berjuang melalui jalur diplomasi dengan membentuk wadah partai politik bernama Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Koalisi Organisasi bernama Front Nasional. Kemudian, pada tahun 1946, ia mendirikan INI Cabang Samarinda. INI berdiri dengan tujuan untuk menentang kependudukan Belanda di Samarinda.

Pada tahun 1947, ia juga menjadi ketua Front Nasional sebagai koalisi organisasi yang mendukung RI dan menentang federasi yang dibentuk oleh Belanda. Kedua organisasi yang didirikan oleh Abdoel Moeis bermarkas di Gedung Nasional Samarinda dan siap mendukung NKRI serta menentang pendudukan Belanda. Tentunya, sikap ini amat bertolak belakang dengan 4 kesultanan yang ada di Kalimantan Timur.

Keempat kesultanan tersebut lebih memilih bergabung ke dalam pemerintah federasi Kalimantan Timur buatan Gubernur Hindia Belanda.

Federasi Kalimantan Timur pernah menawarkan kedudukan sebagai delegasi dalam Bandung Federale Conferentie (BFC). Namun, Abdoel Moeis menolak tawaran tersebut. Ia lebih memilih konsisten dengan sikap politik organisasi perjuangannya yang non kooperatif. Ia tidak mau bekerja sama dengan Belanda ataupun sekutunya.

Hasil konferensi Meja Bundar yang membentuk adanya Republik Indonesia Serikat membuat Kalimantan Timur tergabung ke dalam RIS. Hal ini tentunya tidak memuaskan Front Nasional. Maka dari itu, pada tahun 1949, ia menuntut pemerintah untuk keluar dari RIS dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tuntutannya pun dipenuhi dengan bersatunya keresidenan Kalimantan Timur ke wilayah RI. Satu waktu dengan tuntutan integrasi Kalimantan Timur, Abdoel Moeis gencar melakukan propaganda gagasan penghapusan swapraja (kesultanan). Menurutnya, sistem feodalisme tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang demokratis.

Ia pernah menyampaikan gagasan ini saat Sultan Aji Muhammad Parikesit menyatakan Kerajaan Kutai Kertanegara masuk ke dalam NKRI. Gagasan yang disampaikan kemudian terwujud dengan disahkannya UU No 27 tahun 1959 yang menghapuskan status Daerah Istimewa bagi beberapa kesultanan, salah satunya Kesultanan Kutai Kertanegara.

Pada awal tahun 1950, INI cabang Kalimantan Timur melebur ke dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Abdoel Moeis Hassan terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah PNI Cabang Kalimantan Timur. PNI adalah partai politik yang memiliki haluan nasionalis dan salah satu partai besar pada masa orde lama.

Sekitar tahun 1950-1959, karirnya di PNI semakin gemilang dengan menempati posisi pimpinan PNI Kaltim. Tidak hanya itu, bahkan diangkat menjadi anggota Dewan Partai PNI oleh Dewan Pimpinan Pusat PNI.

Pada tahun 1954, Abdoel Moeis melakukan mobilisasi masa PNI serta rakyat untuk melakukan kongres rakyat Kalimantan Timur. Di mana kongres ini bertujuan untuk menyuarakan tuntutan pemberian status provinsi bagi Kalimantan Timur. Sebab, saat itu Kalimantan Timur masih berstatus Kerasidenan.

Perjuangannya ini membuahkan hasil dengan diterbitkannya UU No 25 tahun 1956. Kemudian pada tanggal 9 Januari 1957, Kalimantan Timur resmi menjadi provinsi baru. Pada tahun 1960, ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menjabat Kepala Perwakilan Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan. Namun, di waktu yang bersamaan, ia juga diutus oleh PNI untuk mewakili Kaltim di gedung parlemen pusat.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, ia terpilih menjadi anggota DPR Gotong Royong dengan menduduki jabatan sebagai ketua komisi D. Kiprah di parlemen terus bersinar dengan diangkatnya sebagai Ketua Gabungan Komisi. Namun, kiprahnya menjadi anggota DPR RI Orde Lama hanya berlangsung dua tahun.

Sebab, pada pertengahan tahun 1962, dia ditugaskan sebagai Gubernur Kaltim. Ia dilantik sebagai Gubernur Kaltim pada tanggal 10 Agustus 1962. Pada tahun 1965, meskipun ia mengusulkan penghapusan sistem keraton, namun ia tidak membenarkan tindakan radikal yang akan penghancur keraton.

Ia bahkan memerintahkan kepala kejaksaan setempat untuk mengamankan bangunan peninggalan kesultanan Kutai itu. Tidak hanya itu, ia juga mengirimkan polisi untuk mencegah pembakaran keraton.

Pada tahun 1966, terdapat sekelompok masyarakat yang memintanya mundur dari Gubernur Kalimantan Timur. Mereka menuduh Abdoel Moeis Hassan sebagai pengurus partai Nasional Indonesia yang mendukung adanya Partai Komunis Indonesia.

Di mana saat itu tengah terjadi pembantaian yang sadis atau bisa dikenal dengan G30 SPKI. Tentu saja tuduhan itu tidak terbukti dan Abdoel Moeis Hassan kembali diminta menjadi Gubernur pada tahun 1967.

Sayangnya, ajakan tersebut ditolaknya, karena ia memilih berhenti menjadi Gubernur pada sidang Istimewa DPRD Kalimantan Timur yang diadakan pada tanggal 14 September 1966.

Ia menyerahkan jabatan tersebut kepada Mendagri. Setelah pengunduran dirinya, Mendagri kembali menawarkan tugas kepada Abdoel Moeis Hassan sebagai Pegawai Departemen Dalam Negeri di Ibu Kota Negara.

Abdoel Moeis Hassan merupakan salah satu tokoh yang memberikan banyak kontribusi. Ia kerap menduduki beberapa jabatan penting. Mulai dari menjadi pengurus partai politik hingga Gubernur Kalimantan Timur.

Hal itu tentunya tak lepas dari track record seorang Abdoel Moeis Hassan yang bagus. Bahkan saat masa pemerintahan Soeharto, Abdoel Moeis Hassan diangkat menjadi anggota MPR. Keanggotaannya di MPR menjadi bukti nyata dan seolah menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mendukung PKI.

Sultan Aji Muhammad Idris

Sultan Aji Muhammad Idris merupakan Sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Ia menjabat di kesultanan sejak tahun 1735 hingga tahun 1778. Sultan Aji Muhammad Idris merupakan cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng.

Berdasarkan riwayat perjalanan Kesultanan Kutai Kartanegara, Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan pertama yang menyandang nama dengan nuansa Islam.

Di Wajo, ia ikut bertempur dengan rakyat Bugis untuk melawan Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Dengan gagahnya, Sultan Aji Muhammad Idris terlibat dalam perlawanan VOC.

Naasnya, karena pertempuran itu, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan perang. Gugurnya Sultan Aji Muhammad Idris di Medan perang membuat pemerintahan kesultanan di Kutai Kartanegara menjadi kosong. Untuk mengisi roda pemerintahan, akan dkelola sementara oleh Dewan Perwalian.

Sultan Aji Muhammad yang tewas karena pertempuran melawan VOC dan merupakan Sultan dari Kesultanan Kartanegara.