Daftar isi
Apa itu Politik Bebas Aktif?
Politik luar negeri bebas aktif merupakan suatu cara bagi bangsa Indonesia untuk dapat menempatkan dirinya dalam kerja sama di kacah dunia internasional.
Indonesia sangat membutuhkan landasan yang kuat bagi pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini. Hal ini bertujuan agar dalam pelaksanaannya di Indonesia tidak melenceng dari tujuan awal yang telah disepakati bersama pendiri negara lainnya.
Selain itu, politik luar negeri Indonesia juga diperuntukkan agar bangsa Indonesia dapat berinteraksi dan berperan aktif dalam mengembangkan hubungannya dengan negara lain.
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia telah merumuskan landasan operasional politik luar negerinya.
Pada perkembangannya, bangsa Indonesia sudah menegaskan bahwa ia tidak akan memihak pada salah satu blok yang bersitegang. Penegasan tersebut telah diuraikan oleh Sutan Syahrir melalui pidatonya dalam acara Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada 23 Maret-2 April 1947.
Dalam pidato tersebut Sutan Syahrir mengajak negara-negara yang ada di Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama. Hal ini ditujukan untuk dapat mencapai perdamaian dunia yang semestinya. Dan berikut merupakan penerapan politik luar negeri Indonesia dari masa ke masa.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Liberal
Politik luar negeri Indonesia pada era demokrasi liberal sangat erat kaitannya dengan pihak-pihak yang berkuasa.
Setiap kabinet memiliki cara pandangnya sendiri terhadap prinsip politik ini. Sehingga penerapan di setiap kabinet memiliki perbedaan.
Adanya perbedaan tersebut seringkali menimbulkan perdebatan dalam parlemen, yang akhirnya justru akan berakhir dengan pembubaran kabinet iu sendiri.
Seperti yang kita tahu, era demokrasi liberal sangat kuat kaitannya dengan adanya mosi tidak percaya yang dapat sewaktu waktu menjatuhkan kabinet yang sedang berkuasa.
Namun, jatuhnya kabinet itu sendiri terjadi karena dalam pelaksanaan politik luar negeri ini tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Kondisi tersebut dapat dilihat pada kabinet Sukiman.
Kabinet Sukiman ini jatuh akibat kebijakan mengenai politik luar negeri yang coba diterapkan melanggar aturan yang ada. Ahmad Soebardjo yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri pada kabinet Sukiman menyepakati sebuah perjanjian bersama Duta Amerika Serikat.
Bantuan tersebut berupa pasokan senjata. Dengan adanya hal tersebut, kabinet Sukiman dianggap gagal dalam menerapkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini.
Berbeda dengan Kabinet Burhanudin Harahap, pemerintah pada masa ini berusaha untuk mengoptimakan diberlakukannya politik luar negeri bebas aktif ini. Namun, dalam penerapannya politik bebas aktif yang diterapkan justru malah mencondong pada blok barat.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, Ir. Soekarno mengambil alih semua kekuasan yang akhirnya hanya terpusat pada dirinya. Hal ini disebabkan karena ketidakpercayaannya lagi kepada kabinet-kabinet yang sebelumnya telah dibentuknya.
Dengan begitu, pada masa ini Soekarno sangat berperan penting dalam jalannya prinsip politik bebas aktif ini. Soekarno dirasa sangat tegas dalam memandang konfrontasi praktik imperialisme dan kolonialisme yang ada pada masa itu.
Presiden Soekarno berusaha keras dalam memperkenalkan Indonesia pada kacah internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis).
Dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dengan adanya slogan ini, terlihat pelaksanaan politik luar negeri yang dilakukan oleh Soekarno mulai condong pada blok komunis.
Hal ini juga dapat dibuktikan kembali bahwa politik Indonesia sudah tidak netral, melalui condongnya politik Indonesia pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, yang sebelumnya sudah diketahui bahwa mereka membawa aliran komunis.
Saat hubungan kedua negara tersebut renggang, terlihat Indonesia mendekatkan dirnya pada RRC. Dengan adanya proses tersebut lahir poros Jakarta – Peking – Pyongyang.
Dengan lahirnya poros Jakarta Peking, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
Pertama, Indonesia pada saat iu dilanda konfrontasi dengan Malaysia, yang menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan persenjataan dan kebutuhan logistik lainnya.
Dengan adanya hal itu Indonesia mendapatkan dukungan penuh dari Inggris. Namun, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar lainnya yang bersedia mendukungnya untuk melengkapi kebutuhan logistiknya saat itu dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China.
Kedua, Indonesia juga sedang dilanda krisis moneter yang menyebabkan ia kekurangan dana. Pada saat itu Indonesia membutuhkan bantuan dana dengan persyaratan yang mudah.
Dan negara yang mampu membantunya dengan persyaratan yang mudah disanggupi oleh Indonesia ialah Uni Soviet dan China. Selain itu konfrontasi Indonesia dengan Malaysia saat itu menyebabkan Indonesia memilih untuk mengundurkan dirinya dari PBB.
Mundurnya Indonesia dari PBB, seperti sebuah pernyataan bahwa Indonesia mulai menarik dirinya dari pergaulan kancah internasional. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu:
- Old Established Forces (Oldefo), adalah negara-negara imperialis/kolonialis/kapitalis dan negara negara sedang berkembang yang cenderung pada imperialisme/kolonialis.
- New Emerging Forces (Nefo), yaitu kelompok negara-negara sedang berkembang yang anti imperialis/kolonialis dan sosialis serta komunis. Indonesia temasuk dalam Nefo.
Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Orde Baru
Pada era orde baru terjadi perubahan pola hubungan luar negeri Indonesia. Hubungan Indonesia dengan Malaysia sudah mulai menemui titik temu.
Pada 11 Agustus 1966, pemerintah Indonesia bersedia untuk menandatangani sebuah perjanjian normalisasi hubungan antara Indonesia dengan Malaysia yang sebelumnya sempat memanas pada era Soekarno.
Indonesia telah mengakui Malaysia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka. Hingga pada satu tahun setelahnya, Indonesia dan Malaysia menjadi pemrakarsa terbentuknya organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara.
Dengan adanya hal tersebut menjadikan bukti bahwa pada masa orde baru, pemerintah berupaya mengoptimalkan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tersebut dengan sebenar-benarnya. Upaya tersebut pun mendapat tanggapan positif dari berbagi pihak, khususnya dunia internasional.
Kondisi tersebut menjadi faktor pendorong ditunjuknya Indonesia sebagai ketua dalam pertemuan organisasi kerja sama ekonomi di kawasan Asia Pasifik atau biasa dikenal dengan sebutan OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).
Dan tidak hanya itu, Indonesia juga ditunjuk untuk menjadi ketua dalam KTT Non-Blok pada tahun 1992. Dengan beberapa hal tersebut cukup membuktikan bahwa Indonesia sudah mulai memperbaiki hubungannya dengan masyarakat Internasional kembali.
Perbaikan hubungan tersebut pastinya juga dibuktikan dengan kembalinya Indonesia kepelukan PBB,organisasi internasional yang sangat berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia.
Namun, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada era orde baru tidak hanya dihiasi oleh kembalinya Indonesia saja pada dunia internasional.
Melainkan beberapa kali pelaksanaan politik ini menyebabkan adanya gesekan dengan negara lain seperti kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa Malapetaka Januari.
Peristiwa ini terjadi akibat adanya kebijakan antimodal asing. Penetapan kebijakan tersebut menuai kontra di kalangan mahasiswa, sehingga mahasiswa melakukan aksi demo turun ke jalan dengan tujuan mengkritik kebijakan ekonomi yang dianggap berpihak kepada investasi asing.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Reformasi
Masa reformasi dimulai saat Presiden B.J Habibie memulai kepemimpinannya. Kepemimpinan B.J Habibie ini dimulai dengan menghapuskan segala bentuk tuduhan mengenai kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Selain itu juga B.J Habibie melakukan referendum dengan masyarakat Timor Timur. Langkah tersebut dinilai sangat baik demi memperbaiki hubungan antara Indonesia dengan rakyat Timor Timur yang dinilai merenggang.
Permasalahan HAM yang terjadi Timor Timur itu sendiri lebih disebabkan oleh pelanggaran pada saat diberlakukannya penjajakan pendapat pada 8 Agustus 199 di Timor Timur. Pada peristiwa ini Indonesia bertanggung jawab akan dua hal, yaitu:
- Kesepakatan tentang modalitas pelaksanaan penentuan pendapat via jajak pendapat.
- Kesepakatan tentang Polri sebagai penanggung jawab keamananan.
Sebelumnya permasalahan yang ada di Timor Timur ini lebih disebabkan karena adanya 3 faktor, yaitu:
- Timor Timur menyatakan setuju dengan Indonesia apabila persyaratan khusus yang mereka ajukan dikabulkan.
- Mereka tetap menjadi negara bagian Portugal, layaknya Makau.
- Mereka ingin berdiri sendiri menjadi sebuah negara utuh.
Sebenarnya pengadaan referendum itu sendiri bertujuan untuk mengembalikan citra Indonesia di hadapan masyarakat dunia, namun usaha tersebut harus menela pil pahit karena Timor Timur lebih memilih untuk lepas dari NKRI.
Sedangkan hubungan luar negeri mengalami proses peningkatan pada era Abdurrahman Wahid dengan Megawati Soekarno Putri. Presiden Abdurrahman Wahid sangat aktif dalam mengadakan kunjungan ke luar negeri.
Pada setiap kunjungannya, beliau secara konsisten berusaha untuk mencari dukungan kepada setiap negara untuk dapat memulihkan ekonomi dalam negeri dan isu-isu yang nantinya menyebabkan disintegrasi bangsa.
Sementara itu pada masa Megawati Soekarno Putri sedikit mengalami penurunan kondisi, Indonesia mengakhiri kerja samanya dengan IMF yang disebabkan karena adanya pembengkakan utang piutang luar negeri yang ditanggung.
Pada masa masa selanjutnya sampai dengan saat ini, Indonesia semakin hari terlihat aktif dalam kegiatan internasional, baik dalam kunjungannya maupun ketergabungannya dengan organisasi dunia lainnya. Dan tetap, di masing-masing masa memiliki kelemahannya sendiri sendiri yang pastinya dapat ditutupi dengan usaha lainnya demi keterwujudannya Indonesia sejahtera.